Lalat tentara hitam atau black soldier fly [BSF] dengan nama latin hermetia illucens memiliki potensi dikembangkan bahkan bisa diekspor meningkatkan perekonomian, hewan ini juga bisa mengatasi sampah.
AKSIN [40] salah seorang warga Dusun Larangan, Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah Dusun Larangan mengungkapkan dirinya baru sebulan membudidayakan BSF. “Budidaya BSF itu tidak sulit. Kalau sudah jadi lalat, maka kita akan memanen telurnya. Meski baru sebulan, saya sudah bisa memanen telurnya. Harganya lumayan, Rp10 ribu per 1gram [gr]. Pada panenan perdana, saya bisa mengambil telur BSF 1 gram,” kata Aksin seperti ditulis Mongabay Indonesia.
Awalnya Aksin agak ragu ntuk melakukan pengembangbiakan BSF, karena membudidayakan lalat. Selama ini lalat identik dengan yang kotor-kotor. “Sesudah mendapat sosialisasi baru tahu kalau BSF itu berbeda dengan lalat-lalat lainnya. Setelah mencoba membudidayakan, ternyata cukup mudah dan menghasilkan,” kata Aksin.
Kini warga lainnya di Dusun Larangan, sudah ada 23 rumah yang ikut membudidayakan. Warga biasanya menempatkan kandang BSF di depan rumah mereka. Warga bersepakat untuk menjadikan Dusun Larangan sebagai Kampung Laler. Dinamakan Kampung Laler, karena bahasa Jawanya lalat adalah laler. Warga juga telah membentuk kelompok pembudidaya BSF yang masuk dalam wadah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia [Sarbumusi]. Selain membina warga, kelompok juga memiliki kandang yang dikelola oleh warga.
Harga jual telur dari pembudidaya pribadi Rp10 ribu per gram, begitu juga dengan kelompok yang menjualnya. Namun, kalau panen dari kandang kelompok, harga Rp10 ribu akan dibagi-bagi. “Untuk kelompok, nantinya hanya menerima 50%, sedangkan 30% untuk alokasi kuliah bagi warga tidak mampu dan 20% lainnya untuk mitra pembudidaya,” jelas Nasihin warga lainnya.
FOTO MONGABAY INDONESIA
Tidak hanya telur saja yang dipanen, melainkan juga maggot atau larva sebelum menjadi lalat tentara dewasa. “Jadi dalam budidaya ini, tidak hanya memanen telurnya saja, melainkan juga larva atau biasa disebut maggot. Untuk harga maggot yang hidup Rp7 ribu per kg di tingkat pembudidaya. Sedangkan kalau diproses dengan mengeringkan atau masuk dalam oven, harga larva kering mencapai Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per bungkus isi 100 gram. Kalau yang telah masuk oven, dikonsumsi pun bisa. Rasanya juga enak. Tetapi untuk yang basah, biasanya digunakan sebagai pakan ikan sebagai pengganti pelet yang mahal,” ujarnya.
Solusi Sampah
Satu kandang dapat menghasilkan 50 gram per hari. Kalau harga telur Rp10 ribu, berarti dapat menghasilkan Rp500 ribu. Belum lagi, larvanya. Bisa sampai 30 kg. “Jadi cukup lumayan bagi pembudidaya, ada tambahan pendapatan. Apalagi, kalau mereka membudidayakan secara pribadi di rumahnya masing-masing,” kata Mitra warga pembudidaya dari Nutrisi Fram, Akbar.
Menurut Akbar, siklus hidup BSF secara total hanya sekitar 45 hari, mulai dari telur sampai ke lalat dewasa. Seekor lalat betina biasanya menghasilkan 500-900 butir telur. Sedangkan untuk mendapatkan 1 gram telur, membutuhkan setidaknya 14-30 BSF. Untuk 1 gram telur, akan mampu menghasilkan 3-4 kg maggot atau larva. Fase paling lama adalah larva, sekitar 18 hari. “Pada fase inilah, larva mengurai bahan-bahan organik,” ujar Akbar.
Pendamping pembudidaya Muhammad Adib mengungkapkan pada masa larva BSF, manfaatnya sangat luar biasa. Sebab, larva tersebut mengurangi bahan-bahan organik. “Sudah dilakukan percobaan oleh warga Dusun Larangan, bahwa sampah-sampah organik dari rumah tangga, tidak lagi dibuang, melainkan sebagai “pakan” maggot. Larva tersebut melakukan penguraian bahan-bahan organik tanpa menimbulkan bau. Inilah hebatnya, karena biasanya sampah organik menimbulkan bau. Tetapi kalau diproses oleh maggot, tidak memunculkan bau yang tak sedap,” jelas Adib.
Ia membayangkan kalau setiap rumah warga di Banyumas membudidayakan BSF, tentu tidak akan kebingungan soal sampah organik. “Bahkan, berdasarkan riset yang pernah dilakukan 1 kg maggot mampu mengkonsumsi 1 kg sampah organik. Padahal, 1 kg maggot itu ukurannya tidak terlalu banyak. Namun mampu mengurai sampah 1 kg. Bahkan-bahan sampah yang terurai tersebut, tidak dibuang. Karena sudah menjadi pupuk yang dapat dipakai untuk tanaman. Pupuknya jelas organik yang sangat ramah lingkungan. Jadi budidaya BSF, tidakhanya mampu menghasilkan pendapatan, melainkan juga sebagai salah satu solusi untuk mengatasi sampah,” katanya.
Kalau nantinya maggot akan masuk ke fase pupa atau kepompong, bisa dipanen. “Jadi, panenan larva dilakukan setelah optimal mengurai sampah organik. Larva itu sangat bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan. Kebetulan kami juga membudidayakan sidat. Saat sekarang, pelet sidat harganya Rp25 ribu per kg. Kalau nantinya bisa digantikan dengan maggot, maka akan menghemat 60% hingga 70%. Karena harga larva hanya Rp7 ribu per kg. Mudah-mudahan ke depannya, segera ada teknologi pengolahan untuk memproduksi pelet pakan ikan dari bahan baku larva BSF,” jelas Adib.
Budidaya BSF tersebut juga memiliki nilai sosialnya. Sebab, bagi dirinya yang juga sebagai pengelola Sekolah Kader Brilian, sebagian hasil dari budidaya BSF mampu digunakan untuk biaya kuliah anak-anak kurang mampu. “Sudah ada tiga anak di Sokawera yang menggunaan sumber dana dari hasil budidaya BSF. Anggaran itu diambilkan dari budidaya komunal. Kalau budidaya pribadi kan keuntungannya untuk warga pembudidaya, tetapi jika panen dari kandang komunal, maka ada pembagian hasil. Sebanyak 50% untuk Kampung Laler, 30% dipakai untuk beasiswa kuliah dan 20% bagi mitra. Dengan skema ini, ada unsur sosial yang masuk, terutama pendidikan bagi anak-anak kurang mampu,” tandasnya.
Riau berpotensi kembangkan BSF
Seperti disebutkan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Syahrul Yasin Limpo, dalam kunjungannya ke Kampar, Riau untuk membuka acara ekspor komoditas, Jumat 4 Desember 2020 lalu mengakui riau banyak potensi pertanian yang bisa diolah selain kelapa dan kelapa sawit juga bisa berupa turunan seperti bungkil-bungkil pohon sawit yang bisa dibudidayakan sebagai Maggot atau Lalat Tentara Hitam [BSF] ini.
MAGGOT BSF
Maggot berasal dari larva lalat yang bisa dikembangkan sebagai pengganti palet pakan ikan alternatif. Medium budidaya Maggot bisa menggunakan bungkil kelapa sawit. "Permintaannya bahkan tanpa batasan dari beberapa negara. Hari ini saya datang tinjau karena ini akan jadi industri terbesar dunia," kata Limpo yang kehadirannya ke Riau dalam rangka ekspor komoditas Riau ke -18 negara khususnya Maggot sebagai pakan ikan ini. (*)
Tags : Maggot, Lalat Tentara Hitam, Berpotensi Diekspor, Bisa Penanganan Sampah,