Pendidikan   2021/09/10 16:27 WIB

Mahasiswa Malang Buat Minyak Goreng dari Ulat, Mengapa Ditanya Halal-Haram?

Mahasiswa Malang Buat Minyak Goreng dari Ulat, Mengapa Ditanya Halal-Haram?
Ulat-ulat dari telur kumbang.

PENDIDIKAN - Minyak goreng dari ulat Jerman yang dikembangkan para mahasiswa universitas di Malang direncanakan akan segera dikomersialkan dan perusahaan-perusahaan di Eropa sudah siap jadi pembeli. Namun sebagian pembaca mempertanyakan, apakah minyak itu tergolong haram atau halal.

Soal halal dan haram itulah sebagian dari sekitar 1.200 komentar terkait minyak yang dikembangkan tim mahasiswa Brawijaya, Malang. Tim mahasiswa dalam proyek Biteback, insect mineral oil, meraih juara dua dalam lomba Thought For Food, lomba teknologi ketersediaan pangan yang berkesinambungan, di Swiss tahun lalu. Proyek ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi minyak sawit yang sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan.

Salah seorang anggota tim, Mushab Nursantio mengatakan setelah menang lomba mereka melakukan pengembangan bisnis di Eropa dalam satu tahun terakhir dan telah ada enam perusahaan di Eropa yang siap bekerja sama. Mushab juga mengatakan "bulan depan akan memulai pembangunan pilot plant dan menyelesaikan kerja sama uji coba dengan beberapa perusahaan multi nasional yang juga konsumen terbesar minyak sawit."

Dan Mushab menjawab sebagian dari lebih 1.000 komentar. Bukannya semua serangga halal ya? Pertanyaan Hendri Desmans. Sejumlah pembaca yang dimuat BBC Indonesia melalui akun melalui Facebook termasuk Yance Tumundo mengusulkan "Kuncinya .. kalau usahanya ingin berhasil jalan yang harus ditempuh adalah kerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) apalagi usahanya bergerak dibidang makanan."

Pernyataan yang dijawab Hendri Desmans dengan "bukannya semua serangga halal ya". Pembaca lain, Rusli Alby juga mengangkat hal yang sama dan menulis, "Apapun ceritanya kita perlu tanya dulu MUI . Diperbolehkan atau sebaliknya. Jadi supaya tidak timbul was was dalam hukum agama."

Menjawab pertanyaan ini, Mushab mengatakan, "Serangga secara umum halal, dan tak perlu disembelih...ada contoh perwarna makanan warna merah alami dan bahan bakunya serangga sudah dinyatakan halal."

Anggota komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan untuk menentukan halal tidaknya "diperlukan fatwa MUI karena serangga jenisnya banyak sekali... dan perlu diteliti apakah ada daerah mengalir (dari ulat saat akan diproses)". Arwani juga mengatakan semut dan laron serta kutu kasur sudah dipastikan halal.

Ulat Jerman ini dikembangkan dari jenis kumbang mealworm dengan daur hidup cepat dan hanya perlu sekitar tiga puluh hari. Apa kandungannya? Pertanyaan dari Novida Wanty Panggabean. Mushab mengatakan minyak dari ulat Jerman ini, "kandungan lemaknya jauh lebih sehat karena lemaknya rendah dan mengandung omega tiga tinggi, juga rendah kolesterol."

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Nur Hidayat mengatakan, seperti dikutip dalam blog BiteBack di TFF, bahwa minyak ini memiliki kandungan tinggi asam lemak Polyunsaturated Fatty sehingga cocok untuk konsumsi minyak. "Produk ini juga merupakan solusi alternatif minyak masak yang berkelanjutan," tambahnya.

Inovasi keren di awal saja dan menghilang - Pertanyaan Firly Saputra. "Tergantung pendekatan inovator sendiri, di Indonesia. Kalau sebatas jadi inovator saja, tapi tak ada niat komersialiasi, ya mindsetnya seperti itu. Kami dari awal tujuannyanya komersialisasi."

"Punya inovasi dan langsung cari funding dan pasarnya, sekarang sih, sudah dapat akses," jawab Mushab.
Buka peluang usaha peternakan - Hasan Si Jalu Pangestu. Mushab mengatakan karena pengembangan ulat Jerman sangat murah, budidaya ini "membuka peluang bagi masyarakat menengah yang ingin berwira usaha dengan modal dan risiko yang rendah."

"Serangga ini sangat potensi yang besar bagi masyarakat yang misalnya tak punya lahan untuk berbinis. Dan bisa pakai untuk pakai ruang di rumah masing-masing...dengan satu kamar kosong (untuk mengembangkan kumbang) untuk dapat penghasilan tambahan misalnya."

"Budidaya ini juga sangat efisein, satu kumpang bisa menghasilkan 500 telur dan bisa jadi ulat tiap dua minggu...untuk pakan dikasih limbah organik dari pasar atau limbah industri sereal dari limbah penggilingan gandum," tambahnya.

"Untuk modalnya kira-kira tiap bulan, sekitar 500 kumbang, kurang dari Rp100.000 tapi bisa dijual antara Rp300.000 sampai Rp500.000," tambah Mushab. (*)

Tags : Media sosial, Lingkungan,