JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait aturan ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam putusan yang diumumkan pada Selasa (20/8/2024), MK menyatakan bahwa Pasal 40 Undang-Undang Pilkada, yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya, tidak lagi relevan dan dinyatakan inkonstitusional.
Keputusan ini memiliki implikasi besar bagi partai politik tanpa kursi di DPRD, seperti Partai Buruh dan Gelora, yang sebelumnya terkendala dalam mengusung calon kepala daerah. Menurut MK, aturan yang berlaku saat ini justru berpotensi mengancam demokrasi yang sehat di Indonesia jika dibiarkan.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa norma dalam Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 harus diubah demi menjaga integritas proses demokrasi. "Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," ujar Enny saat membacakan putusan.
Putusan ini juga mencerminkan bahwa MK sejalan dengan argumentasi Partai Buruh dan Gelora mengenai pengabaian putusan MK terdahulu, yakni Putusan Nomor 005/PUU-III/2005. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap dapat mengusung calon kepala daerah asalkan memenuhi akumulasi suara sah di pemilu legislatif sebelumnya.
Namun, substansi putusan ini diabaikan dalam revisi UU Pilkada pada 2016, yang saat itu dibuat untuk mengakomodasi pilkada serentak.
Dalam putusan terbaru ini, MK menyamakan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dengan jalur independen. Ambang batas pencalonan kepala daerah diubah menjadi lebih fleksibel sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Dikutip dari Kompas, berikut rincian ambang batas baru yang diatur MK:
Untuk Gubernur-Wakil Gubernur:
- Provinsi dengan DPT hingga 2 juta jiwa: Dukungan minimal 10% suara sah.
- Provinsi dengan DPT 2-6 juta jiwa: Dukungan minimal 8,5% suara sah.
- Provinsi dengan DPT 6-12 juta jiwa: Dukungan minimal 7,5% suara sah.
- Provinsi dengan DPT lebih dari 12 juta jiwa: Dukungan minimal 6,5% suara sah.
Untuk Wali Kota/Bupati dan Wakilnya:
- Kabupaten/Kota dengan DPT hingga 250.000 jiwa: Dukungan minimal 10% suara sah.
- Kabupaten/Kota dengan DPT 250.000-500.000 jiwa: Dukungan minimal 8,5% suara sah.
- Kabupaten/Kota dengan DPT 500.000-1 juta jiwa: Dukungan minimal 7,5% suara sah.
- Kabupaten/Kota dengan DPT lebih dari 1 juta jiwa: Dukungan minimal 6,5% suara sah.
Namun, tidak semua hakim konstitusi sepakat dengan putusan ini. Hakim Daniel Yusmic menyatakan concurring opinion, sementara Guntur Hamzah mengungkapkan dissenting opinion, menunjukkan adanya perbedaan pandangan di antara para hakim mengenai isu ini.
Keputusan ini menjadi tonggak baru dalam dinamika politik Indonesia, terutama menjelang Pilkada serentak mendatang, dan dipastikan akan memengaruhi strategi partai politik dalam mengusung calon kepala daerah. (*)
Tags : mahkamah konstitusi, mk buat putusan terbaru, ambang batas pilkada dirombak,