PEKANBARU - Kejayaan dan keberagaman budaya Kerajaan Siak Sri Inderapura dapat terlihat dari ragam hias mahkota yang terinspirasi dari berbagai budaya.
Mahkota ini dahulu dikenakan oleh para sultan Kerajaan Siak, termasuk Sultan Syarif Kasim I yang diyakini sebagai pembuatnya.
Pusaka kerajaan kemudian menjadi bagian dari sejarah Indonesia ketika Sultan Syarif Kasim II menyatakan dukungannya terhadap Republik Indonesia pada 1945 dan menyerahkan mahkota sebagai bagian dari simbol penyerahan kedaulatan kepada negara.
Sejak 2014, Mahkota Kerajaan Siak telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Tak Benda Nasional.
Kini, mahkota tersebut dipamerkan secara terbuka kepada masyarakat Riau dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-68 Provinsi Riau.
"Sudah 80 tahun mahkota kerajaan Siak dimonumen negara, kini kembali karena ada moment pariwisata."
"Mahkota bukan hanya dipajang melainkan untuk menggugah genarasi muda, baik dalam kemerdekaan dan langkah langkah semangat genarasi jangan padam," kata Datuk H Raja Marjohan Yusuf, Ketua Umum (Ketum) Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (Ketum MKA LAMR) dalam tanggapannya tadi ini Jumat (8/8).
Marjohan Yusuf menyebutkan kehadiran dan sekembalinya Mahkota Kerajaan Siak di Pekanbaru sebagai momen bersejarah bagi Riau.
"Mahkota bukan sekadar benda pusaka, tetapi simbol kemuliaan dan perjuangan bangsa Melayu untuk Republik Indonesia," kata dia.
Menurutnya, mahkota Siak merepresentasikan lebih dari sekadar lambang kekuasaan. Mahkota itu merupakan simbol keikhlasan dan komitmen besar Sultan Syarif Kasim II terhadap kemerdekaan Indonesia.
“Yang diserahkan kepada Republik Indonesia bukan hanya kekuasaan, tetapi juga kemuliaan, keikhlasan, dan perjuangan. Bahkan Sultan Syarif Kasim II menyumbangkan satu juta Gulden untuk kemerdekaan bangsa ini,” diulang Marjohan Yusuf.
Marjohan Yusuf menilai kehadiran pusaka kerajaan sebagai sarana edukasi bagi generasi muda.
"Anak-anak muda Riau mengenal jati diri sejarahnya, serta memahami bahwa bangsa Melayu adalah bangsa besar, berdaulat, dan beradab," sebutnya.
“Kita ingin generasi muda tidak merasa asing dengan sejarahnya sendiri. Kita ingin mereka bangga, bahwa leluhurnya bukan hanya berbudaya tinggi, tapi juga rela berkorban demi persatuan bangsa,” ucapnya.
Ia juga menyinggung pesan simbolik dari mahkota yang diyakini bertuliskan kalimat bermakna spiritual, salah satunya dikenal sebagai “mahkota bulan purnama”.
Jadi menurut Marjohan Yusuf, mahkota itu melambangkan orang melayu dalam perjuangannya tetapi tetap dalam bingaki NKRI, tidak terpecah bersatu sesuai detail ornamen yang melekat padanya.
Sekilas sejarah Mahkota Kerajaan Siak Sri Inderapura diakui sebagai salah satu benda pusaka paling sakral dalam sejarah kerajaan Melayu, ternyata dibuat langsung di Siak atas perintah Sultan Syarif Kasim I.
Pembuatan mahkota tersebut tercatat dalam penelusuran sejarah yang dilakukan oleh sejarawan dan budayawan Dadang Irham, disebutkan bahwa Sultan Syarif Kasim I memerintahkan pembuatan mahkota kerajaan sekitar akhir abad ke-19, dengan mendatangkan seorang ahli perhiasan dari Jawa bernama Raden Mas Singo Sarwali.
Di lingkungan istana, pengrajin ini dikenal dengan nama Pangeran Ali.
Pangeran Ali termasuk golongan Hamba Raja Dalam yang diberi kepercayaan tinggi oleh Sultan. Ia kemudian dibantu anak-anaknya seperti Karto dan Saribun dalam proses pembuatan mahkota.
Mahkota dibuat dari emas seberat sekitar dua kilogram dan dihiasi dengan taburan batu mulia berupa intan dan rubi. Proses pembuatannya dilakukan di lingkungan istana Siak sendiri, menjadikan mahkota ini sebagai karya lokal yang memiliki nilai budaya tinggi.
Selain sebagai simbol kekuasaan, mahkota tersebut juga mengandung makna spiritual dan simbolis yang mendalam.
Dalam naskah kuno Ingatan Jabatan yang ditemukan oleh peneliti Universitas Nasional Singapura, Timothy P. Barnard, Mahkota Kerajaan Siak bahkan menempati posisi pertama dalam daftar 17 harta utama kerajaan.
Naskah yang merupakan turunan dari Bab al-Quwaid tahun 1901 ini juga mencatat bahwa mahkota terbuat dari emas dan berhiaskan satu butir intan utama.
Kitab Ingatan Jabatan menjadi dokumen penting bukan hanya karena memuat daftar kekayaan kerajaan, tetapi juga karena mencatat sistem kerja dan administrasi kerajaan yang lebih terperinci daripada Bab al-Quwaid.
Kitab ini kini diketahui hanya tersimpan di salah satu perpustakaan di Malaysia.
Sultan Syarif Kasim I yang memerintah sejak tahun 1864 dikenal sebagai tokoh pembaharu di Siak. Selain membuat mahkota, ia juga memerintahkan pembuatan kursi emas untuk keperluan istana.
Ketika wafat, beliau dianugerahi gelar kehormatan Marhum Mahkota sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya terhadap kerajaan, termasuk dalam pembuatan mahkota yang kini menjadi simbol kebesaran Kerajaan Siak.
Mahkota itu dahulu dikenakan oleh para sultan Kerajaan Siak, termasuk Sultan Syarif Kasim I yang diyakini sebagai pembuatnya. Pusaka kerajaan ini kemudian menjadi bagian dari sejarah Indonesia ketika Sultan Syarif Kasim II menyatakan dukungannya terhadap Republik Indonesia pada 1945 dan menyerahkan mahkota sebagai bagian dari simbol penyerahan kedaulatan kepada negara.
Sejak 2014, Mahkota Kerajaan Siak telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Tak Benda Nasional. Kini, mahkota tersebut dipamerkan secara terbuka kepada masyarakat Riau dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-68 Provinsi Riau. (*)
Tags : Mahkota Kerajaan Siak, Mahkota Kerajaan Kembali ke Riau, Lembaga Adat Melayu Riau, LAM Riau Menerima Mahkota Kerjaan Siak, Ketum MKA LAMR Marjohan Yusuf, Mahkota Bukan Hanya Dipajang Tapi Memaknai Perjuangannya,