ENAM RATUS tahun yang lalu, perempuan Asia Tenggara menciptakan masakan Peranakan - menu-menu khas dengan akar multikultural - dan turun-temurun melestarikannya hingga kini.
Ketika Elizabeth Ng berusia tujuh tahun, tempat bersembunyi favoritnya saat bermain petak umpet bukanlah taman bermain atau kamar tidurnya, melainkan di dapur umum yang terletak di belakang sebuah rumah kayu satu lantai di kampungnya yang menghadap Selat Malaka.
Ng tumbuh di Malaka, Malaysia, dan dibesarkan oleh nenek dari pihak ibunya. Ia tinggal bersama empat saudara kandung dan 15 sepupunya, sementara orang tuanya berkeliling Asia Tenggara sebagai pedagang.
Saban hari, sepulang sekolah, dia akan pulang dan menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Setelah itu, dia bergegas menuju dapur umum itu bersama teman-teman perempuan sebayanya.
Mereka akan diberi tugas remeh-temeh, namun semuanya harus dikerjakan dengan hati-hati. Dari mengiris tipis daun jeruk, hingga mengaduk kuah kari kental atau selai nanas di atas kompor.
Masakan Peranakan adalah hidangan khas di Asia Tenggara dengan akar multikultural yang dibuat dan dipopulerkan oleh para Nyonya - sebutan bagi para perempuan Peranakan. Itu sebabnya, masakan ini di Indonesia juga dikenal dengan 'Masakan Nyonya'.
Untuk membuat satu masakan kerap kali butuh banyak waktu dan tenaga. Terkadang dibutuhkan beberapa hari untuk menyiapkan satu hidangan.
Menu ayam buah keluak, misalnya. Buah keluak, yang merupakan kacang asli dari hutan mangrove yang ada di Malaysia dan Indonesia, harus direndam dalam air selama tiga sampai lima hari. Airnya harus diganti setiap hari, sebelum kacang siap ditiriskan dan pasta diekstrak dari dalamnya.
Para perempuan di keluarga Ng juga sering membersihkan dan memotong ayam segar utuh, lalu menggunakan lesung dan alu untuk menumbuk bahan-bahan seperti kunyit, serai dan bawang merah untuk membuat rempah.
Tapi, Ng menikmati pekerjaan itu, bahkan ketika neneknya menegurnya jika ada bau gosong dari panci.
"Saya belajar untuk teliti dan sabar," kata Ng.
Nenek Ng menguasai cara memasak berbagai hidangan Peranakan ini dari nenek buyut Ng, yang juga belajar dari nenek buyutnya.
"Selalu ibu yang menurunkan keahlian ini," kata Ng.
Ng yang sekarang tinggal di Singapura, juga mewariskan rahasia resep-resep ini kepada keluarganya.
"Setiap kali saya memasak, saya teringat kembali dengan kenangan menghabiskan waktu di dapur bersama nenek saya."
Pada akhir pekan, perempuan yang bekerja sebagai eksekutif di bidang jasa keuangan ini mengadakan kelas memasak di rumahnya. Ia mengajar orang dewasa yang bersemangat mempelajari cara membuat makanan pembuka, saus, cocolan, makanan penutup, dan makanan ringan.
Mulai dari nasi ulam aromatik hingga saus kueh salat - kue yang terbuat dari ketan dan saus pandan - yang meleleh di lidah.
Penuh warna dan bumbu
Makanan Peranakan dikenal penuh warna dan penuh dengan bumbu dari rempah-rempah lokal yang memberikan cita rasa kompleks pada hidangan yang menarik.
Rasanya bisa pedas, asin dan sedikit manis pada saat bersamaan, seperti babi pongteh (babi direbus dengan saus kedelai yang difermentasi); atau asam, pedas dan penuh dengan umami seperti ikan asam pedas.
Karena sebagian besar hidangan membutuhkan bahan untuk direbus dalam waktu lama, semua rasa dilepaskan ke dalam kuah, menciptakan campuran rasa nan lezat.
Anda kemudian bisa menuangkannya ke atas nasi atau mie, atau mencelupkan roti ke dalamnya.
Makanan penutup hadir dalam nuansa hijau, coklat, kuning, dan biru yang cerah - semuanya diwarnai secara alami menggunakan bahan-bahan seperti daun pandan, gula aren, kunyit, dan kacang polong.
Saat membuat apom berkuah (panekuk tepung beras), misalnya, beberapa tetes ekstrak bunga talang ditambahkan ke dalam adonan dan diaduk untuk memberikan rona biru yang cantik.
Makanan Peranakan yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia berasal dari sekitar abad ke-15. Hidangan ini sering dianggap sebagai salah satu masakan fusion pertama di Asia Tenggara, yang memadukan pengaruh Melayu, China, Eropa, dan India.
Laki-laki dari India Selatan, China dan Eropa - banyak dari mereka lajang - konon berlayar ke Asia Tenggara untuk mencari kekayaan dari perdagangan laut.
Beberapa dari mereka menetap di kota-kota pelabuhan Malaka, Penang dan Singapura, di sepanjang Kepulauan Melayu, dan memulai keluarga dengan perempuan-perempuan lokal Asia Tenggara.
Keturunan dari keluarga campuran ini disebut Peranakan, yang berarti "kelahiran lokal".
Di bawah sistem patriarki, perempuan bertanggung jawab atas rumah. Mereka memasak dengan gaya yang mereka pelajari dari ibu-ibu mereka yang Melayu dan Indonesia: banyak semur dan kari yang dimasak dengan banyak bumbu dan aroma lokal - seperti serai, jahe biru, daun pandan - yang membantu mengawetkan makanan di iklim tropis tanpa pendingin, kata Lee Geok Boi, penulis In A Straits-Born Kitchen dan buku masak lainnya.
Mereka kemudian memadukan makanan dan gaya memasak mereka dengan bahan-bahan yang diperkenalkan melalui perdagangan.
Pedagang dari India Selatan membawa rempah-rempah seperti ketumbar dan jinten; sementara cabai dibawa oleh Portugis setelah mereka merebut Malaka pada tahun 1511.
Dan beberapa hidangan dengan gaya Melayu diubah untuk memasukkan daging babi (yang tidak dimakan oleh Muslim) dan bahan-bahan China, seperti acar sayuran, jamur dan udang kering, taucho (pasta kedelai yang difermentasi), dan kecap.
"Para istri setempat mengubah hidangan [tradisional China] menjadi babi pongteh [sup babi rebus] dan mah mee [mie seafood tumis], yang citarasanya lebih kuat dan bervariasi daripada hidangan Fujian [provinsi di tenggara Cina] asli," ujar Violet Oon, koki Peranakan yang mengelola beberapa restoran ternama di Singapura seperti National Kitchen by Violet Oon Singapore dan Violet Oon Singapore at Jewel.
Budaya Peranakan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebelum Depresi Besar dan Perang Dunia 2.
Inggris telah menjajah apa yang dulu disebut Malaya, dan orang-orang Peranakan menjadi jembatan antara pemukim kolonial dan imigran baru dari negara-negara seperti China dan India.
Komunitas Peranakan belajar bahasa Inggris, memeluk agama Kristen dan mengumpulkan kekayaan sebagai birokrat dan pemilik bisnis.
Banyak keluarga elit Peranakan mempekerjakan pelayan. Dengan lebih banyak waktu luang, para istri bisa memasak dan bereksperimen di dapur.
"Kombinasi inovasi, kekayaan, dan keterbukaan yang menghasilkan masakan perpaduan yang luar biasa," kata Dr Lee Su Kim, seorang Nyonya generasi keenam yang telah menulis buku fiksi dan nonfiksi tentang budaya Peranakan.
Meskipun gadis-gadis Peranakan termasuk di antara kaum perempuan pertama yang mengenyam pendidikan selama periode ini, keterampilan rumah tangga seperti memasak masih merupakan bagian penting dari pendidikan mereka.
Merupakan kebanggaan tersendiri bahwa mereka belajar memasak sebagai bagian dari persiapan untuk pernikahan.
Oon mengatakan ibu-ibu dari pria muda di usia menikah akan mengunjungi teman-teman yang memiliki anak perempuan sekitar usia yang sama untuk mendengar suara gadis-gadis menumbuk rempah-rempah di dapur dengan lesung dan alu mereka.
Jika dentumannya terdengar benar, gadis itu diyakini bisa memasak dengan baik.
"Ini bukan hanya soal rasa, tapi juga warna, variasi dan kemahiran dalam penyajiannya," kata Lee Su Kim.
Kueh harus dipotong dengan hati-hati menjadi bentuk berlian kecil dengan pisau bergerigi, dipajang dengan rapi di atas porselen halus, ketika tamu datang, misalnya.
Setelah Perang Dunia 2, gagasan bahwa perempuan harus menjadi dewi rumah tangga berangsur-angsur memudar. Gerakan feminisme yang berkembang membuat sejumlah perempuan muda sengaja menghindari dapur.
Ibu Oon, misalnya, yang bekerja sebagai seorang sekretaris, tidak pernah belajar memasak sampai jauh di kemudian hari.
"Bagi ibu saya, mengatakan bahwa dia tidak bisa merebus telur adalah sebuah kebanggaan," sebut Oon.
Namun ketika ia remaja, Oon menjadi khawatir dia tidak akan bisa makan hidangan favoritnya ketika bibinya bertambah tua atau meninggal. Maka Oon memutuskan untuk belajar memasak hidangan Peranakan yang dia sukai sejak kecil.
Tapi tidak semua perempuan kemudian anti-memasak. Faktanya, kaum perempuan lah yang mempopulerkan masakan Peranakan ke massa yang lebih besar.
Beberapa perempuan Peranakan mengajar kelas memasak antara tahun 1950-an dan 1980-an untuk mendapatkan uang. Sebelum itu, pada 1930-an, resep Peranakan mulai muncul di buku masak, kata Geok Boi.
Pada tahun 1931, The YWCA of Malaya Cookery Book adalah buku masak lokal pertama yang diterbitkan dan menampilkan beberapa resep Peranakan seperti sambal babi, hati babi bungkus (bola hati babi) dan vindaloo (kari daging pedas), di antara resep-resep Peranakan lainnya.
Buku masak pertama yang melabeli diri Peranakan adalah Buku Masak Mrs Lee: Resep Nyonya dan Resep Favorit Lainnya. Buku ini diterbitkan sendiri pada tahun 1974 oleh Chua Jim Neo (juga dikenal sebagai Nyonya Lee Chin Koon setelah dia menikah), ibu dari perdana menteri pertama Singapura Lee Kuan Yew.
Buku masak lain yang mempopulerkan masakan Peranakan adalah Resep Favorit Saya oleh Ellice Handy, seorang guru sains yang menerbitkannya pada tahun 1952 untuk mengumpulkan dana bagi Methodist Girls' School di Singapura, tempat dia mengajar. Buku ini masih dicetak hingga kini.
Saat ini, perempuan di seluruh Kepulauan Melayu menunjukkan bakat dan keterampilan mereka di restoran Peranakan yang terkenal, mulai dari Nancy's Kitchen milik Nancy Goh yang berdiri di Malaka sejak 1999, hingga Annette Tan, yang mempelopori tempat makan pribadi Peranakan Fatfuku.
"Sebagai seorang Peranakan dan seorang perempuan, sangat menyenangkan bagi saya untuk tetap melakukan tugas memuaskan selera," kata Oon.
"Bagi seorang perempuan - memasak makanan bukan hanya tentang kelezatan... makanan adalah inti dari memberikan kehidupan."
Meski demikian, kemampuan memasak hidangan Peranakan tidak lagi menjadi penanda identitas bagi perempuan. Banyak baba, atau pria Peranakan, juga piawai memasak.
Beberapa dari mereka juga memiliki restoran sendiri, seperti Malcolm Lee dan salah satu restorannya yang berbintang Michelin, Candlenut di Singapura. Ada pula juri MasterChef Singapura Damian D'Silva, yang memiliki restoran Rempapa.
Enam ratus tahun berlalu, masakan Peranakan terus bertahan dan berkembang.
Baik disajikan di restoran atau di rumah, untuk Peranakan modern, resep-resep lezat yang diturunkan dari generasi ke generasi adalah pengingat akan warisan mereka yang kaya dan rumit.
"Ini adalah bagian dari budaya yang indah dan unik yang tidak ingin Anda hilangkan," kata Lee Su Kim. (*)
Tags : Makanan Menu Asia, Budaya Asia Tenggara, Makanan Sudah Berumur Ratusan Tahun,