ROKAN HILIR, RIAUPAGI.COM - Hutan Mangrove di Kabupaten Rohil Rusak. Pantauan pihak Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menduga masih terjadinya penebangan kayu bakau secara Ilegal.
"Pelaku pembabatan hutan mangrove dengan berbagai alasan jelas melanggar ketentuan undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, telah diatur larangan penebangan pohon diwilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi."
"Jadi pembabatan mangrove yang dilakukan oleh oknum dan masyarakat seperti di Pulau Barkey dan Sinaboi Kabupaten Rokan Hilir [Rohil] harus diusut dan dipidanakan," kata Ir Marganda Simamaora SH M.Si, Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba].
Sebelumnya, pihak Polisi Khusus [Polsus] Pengawasan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil [PWP3K] mengatakan, jejak pencurian dan pengrusakan mangrove di Pulau Barkey dan Sinaboi Kabupaten Rohil terlihat nyata.
"Sebagai warga hendaknya mengawasi dan menjaga kelestarian ekosistem perairan diwilayah pesisir, bukan malah melakukan pengrusakan dengan cara membabat secara liar," kata Zulkarnain, Sebagai Pelaksana pengendali kegiatan kerja pos pengawasan sumberdaya kelautan perikanan [SDKP] Wilayah 3 Dinas Perikanan dan kelautan Provinsi Riau kepada wartawan sepekan lalu.
"Pembabatan bakau untuk digunakan kayu bakar [arang] bahkan sampai dipasarkan langsung secara ilegal ke negara jiran Malaysia untuk digunakan sebagai kayu 'teki' [cerocok pondasi bangunan]," sambungnya.
"Kita telah melakukan pengawasan disepanjang dipesisir pantai hutan mangrove Pulau Barkey dan kawasan hutan mangrove Kecamatan Sinaboi," kata Zulkarnain lagi.
"Petugas pengawas pernah menemukan sepanjang pinggiran sungai terdapat tumpukan kayu jenis bakau ditebangi secara ilegal," sebutnya.
Informasi yang dihimpun oleh petugas PWP3K mengatakan, penebangan sudah tidak heran dan menjadi tradisi turun temurun oleh masyarakat setempat.
Kayu hasil penebangan ilegal dari hutan mangrove dinamakan kayu "teki" ini dijual kepada penampung [oknum] dengan harga Rp 3000 s/d Rp 5000 perbuatan [batang] tergantung ukuran besar kecilnya.
Dilokasi penumpukan kayu tersebut merupakan hasil tebangan secara ilegal dibeberapa tempat kawasan mangrove dan oknum memuat kayu tersebut mengunakan kapal yang lebih besar dan dijual keluar negeri jiran Malaysia dengan harga Rp 18.000 perbuatan, terangnya.
Mendengar hal itu, Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] lebih menyarankan Pemkab setempat untuk dapat melakukan upaya konservasi yang diperlukan untuk mencegah abrasi dan intrusi air laut di pesisir pulau.
"Terkadang memang upaya pelestarian mangrove di Provinsi Riau sendiri masih tersandera praktik penebangan liar dan alih fungsi lahan," kata Ganda Mora menilai.
"Kondisi ini membuat sejumlah daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir timur Sumatera, rawan mengalami abrasi dan intrusi air laut. Sejumlah intansi terkait hendaknya dapat melakukan upaya persiapan untuk mengantisipasi fenomena ini," sambungnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan perizinan HTI mangrove terhadap pengusaha arang dan penggunaan konsesi hutan mangrove.
Misalnya seluas 100 ha, menjadi tanggung jawab penanaman dan pemeliharaan, wajib punya perencanaan dan penanaman kembali.
Sehingga produksinya kontiniu dan kedepannya pemerintah tak perlu lagi menggelontorkan dana hingga triliunan rupiah untuk rehabilitasi mangrove.
Menurutnya, saat ini luas hutan mangrove di Riau mencapai 225.376 hektar.
Dengan luasan ini, Riau bertengger sebagai provinsi dengan mangrove terluas di Sumatera.
Dari luasan itu, 3.765 hektar di antaranya merupakan mangrove jarang, 2.537 hektar mangrove sedang, dan 219.074 hektar mangrove lebat.
Hamparan mangrove itu tersebar di tujuh kabupaten di Riau, yakni Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Kota Dumai, Pelalawan, Rokan Hilir, dan Siak.
”Kebanyakan mangrove di Riau memang terletak di pesisir timur Sumatera,” katanya.
Akan tetapi, menurut Ganda Mora lagi hutan mangrove di Riau terancam mengalami degradasi lahan.
Penyebabnya adalah munculnya beragam aktivitas ilegal, seperti penebangan liar dan alih fungsi lahan.
"Ya seperti di beberapa daerah yakni hutan mangrove di Pulau Barkey itu kan. Masih ada warga yang menebang pohon bakau untuk dijadikan bahan baku arang dan bahan dasar fondasi rumah panggung," sebutnya.
"Di sisi lain, praktik alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang atau lahan kelapa sawit juga masih terjadi di beberapa titik," sambungnya.
Menurutnya, situasi ini membuat potensi kerusakan alam seperti abrasi dan intrusi air laut terus terjadi.
"Jika situasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin ekosistem gambut yang berada dekat kawasan mangrove menjadi terancam," kata Ganda.
Ganda menjelaskan, secara keseluruhan, area terabrasi di Riau mencapai 618 hektar, lahan terbuka mencapai 5.795 hektar, dan tambak mencapai 827 hektar.
"Kawasan inilah yang berpotensi menjadi habitat mangrove dan perlu dikonservasi sesegera mungkin," ujarnya.
Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pemerintah terbentur sejumlah kendala, seperti kurangnya dana untuk biaya konservasi dan rehabilitasi. Selain itu, risiko gagal dalam penanaman mangrove terbilang sangat tinggi. Sebab, kondisi alam di lokasi penanaman sulit diprediksi.
"Bisa saja pohon bakau yang baru ditanam rusak karena diterjang gelombang tinggi," katanya.
Selain itu, masih ada warga yang merusak mangrove karena terdesak kebutuhan ekonomi kendati saat ini jumlahnya terus berkurang.
Agar upaya konservasi bisa optimal, kolaborasi sangat dibutuhkan.
Tak hanya pemerintah, keterlibatan swasta, lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat, dan akademisi sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini.
Sebagai tonggak awal, kata Ganda, sejak dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi Riau sudah membentuk Kelompok Kerja Mangrove Daerah [KKMD].
"Kelompok ini bertugas membuat perencanaan dalam upaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem mangrove.
Tim ini juga bertugas memperkuat kelembagaan tim kerja, mulai dari tingkat desa hingga provinsi," kata dia.
Tetapi Ganda balik menilai, tugas tim yang paling utama adalah mengonservasi kawasan yang sudah menjadi sasaran.
Dengan cara ini, konservasi serta rehabilitasi mangrove diharapkan bisa berjalan lebih sistematis dan terfokus.
Menurutnya, konservasi dan rehabilitasi lahan mangrove di Riau sangat mendesak mengingat dampak kerusakannya sudah sangat dirasakan.
”Yang paling terlihat adalah abrasi, terutama di tepi hutan mangrove yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka,” katanya.
Seperti di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis itu, ada sebuah obyek wisata andalan warga, yakni Pantai Sendekip.
Pantai itu dibuka pada 2017. Namun, akibat abrasi, pantai ini lenyap karena air laut sudah masuk ke darat.
Sejumlah sarana yang disiapkan pun seperti tempat bermain dan tempat bersantai, lenyap tersapu ombak.
Tingginya risiko abrasi ini dinilai tidak lepas dari penebangan liar yang masif sejak 10 tahun terakhr ini.
Tingginya aktivitas penebangan tak lepas dari permintaan pasar akan arang.
”Kayu bakau jadi bahan arang paling berkualitas. Itulah sebabnya banyak pemesannya, salah satunya dari Malaysia,” ujarnya.
Tingginya pasar membuat industri panglong kayu sempat tumbuh subur, terutama di tahun 2000-an.
Masifnya penebangan pohon bakau membuat ekosistem mangrove pun rusak. Selain itu, hasil tangkapan ikan dan hasil laut berkurang signifikan.
"Masifnya penebangan pohon bakau membuat ekosistem mangrove pun rusak."
Setelah ada penertiban sejak sekitar lima tahun lalu, termasuk pendampingan, penebangan pohon bakau berangsur turun.
”Banyak warga yang dulunya menebang, kini mulai beralih menjadi nelayan,” katanya.
Dari peralihan pekerjaan itu, warga mendapat hasil tangkapan yang melebihi hasil dari menebang. Ketika hutan mangrove direstorasi, hasil tangkapan nelayan naik sekitar 50 persen.
Sementara, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa [LPHD] Teluk Pambang, Bengkalis Indra Sukmawan mengatakan, sejak terbentuk pada 2023, anggota LPHD Teluk Pambang, rutin berpatroli mengelilingi hutan mangrove seluas hampir 1.000 hektar.
Menurutnya, ada sekitar enam anggota LPHD menyisir tepian hutan mangrove menggunakan perahu bermesin.
Dalam satu minggu, mereka bisa berpatroli hingga 5 kali. Dari patroli itu, tim sudah menangkap dua perambah.
Terbaru, yakni enam bulan lalu, seorang perambah tertangkap membawa kayu bakau ke sampannya untuk bahan baku arang.
Sanksinya, perambah itu diwajibkan mengganti satu batang yang ditebang dengan 50 bibit pohon bakau. Aturan ini ternyata efektif membuat perambah jera.
Ke depan, jika hutan mangrove kembali lebat, kawasan ini, menurut rencana, akan dikelola jadi tempat wisata.
”Setelah mangrove di kawasan ini pulih, ikan di sekitar hutan mangrove kembali meningkat. Jumlah pemancing yang berkunjung ke desa kian bertambah,” kata Indra.
Koordinator Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara [YKAN] Provinsi Riau, Fadil Nandila mengatakan, di wilayah Kabupaten Bengkalis, ada dua desa yang YKAN dampingi.
Selain Desa Teluk Pambang, ada Desa Kembung Luar. Kedua desa ini memiliki luas hutan mangrove sekitar 1.900 hektar.
Upaya rehabilitasi terus dilakukan termasuk melibatkan warga untuk menanam pohon bakau untuk mencegah terjadinya abrasi.
Oleh karena itu, pendampingan harus dilakukan menyeluruh. Tak sekadar membantu menanam mangrove, tetapi juga membantu dalam hal membuat regulasi, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Dengan pendampingan ini, warga hingga pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang bermuara pada pelestarian gambut.
Selain itu, sejumlah metode konservasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Misalnya dengan memperbaiki hidrologi mangrove agar ekosistemnya dapat pulih secara alami.
Di sisi lain, kata Fadil, warga dilibatkan agar secara sadar menjaga mangrove.
Oleh karena itu, pulihnya ekosistem mangrove diharapkan memberikan manfaat ekonomi ke warga setempat.
Ke depan, jika langkah konservasi dan rehabilitasi di dua desa ini berhasil, cara serupa akan ditularkan ke sejumlah wilayah di Riau.
”Dengan begitu, kerusakan mangrove tidak lagi meluas,” ujarnya. (*)
Tags : mangrove, riau, bengkalis, rohil, kerusakan alam, ykan, SDGs, Salamba, SDG13-Penanganan Perubahan Iklim,