DAIK LINGGA - Orang-orang di Daik Lingga sesungguhnya bisa saja bertahan hidup dengan berburu, berladang dan nelayan, namun demi masa depan lebih baik, anak-anak muda suku Melayu dikirim bersekolah di kota bahkan di luar provinsi dan semua ini butuh uang, sesuatu yang susah mereka dapatkan saat pandemi tak kunjung usai.
Tetapi hasil alam di Kabupaten Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau [Kepri] satu dari daerah kepulauan lainnya - tergantung di langit-langit rumah panggung, sebutan bagi rumah adat orang Melayu seperti di Dusun Cenut, Kecamatan Lingga, Daik Lingga.
Daerah ini masih terhampar hutan lebat, sekelilingnya masih tumbuh pohon yang hijau, menandakan keberadaannya di langit-langit itu masih alami. Tergantung di sekitarnya ada bermacam flora dan fauna, bahkan banyak ditumbuhi pohon-pohon obat yang berkhasiat bagi manusia.
"Kehidupan diperkotaan memang dicap enak dan menyenangkan karena fasilitasnya yang mudah di akses dan segalanya yang diinginkan gampang ditemui," kata Sariman (60) salah satu warga di Kampung Cenut dalam pembicaraanya tadi lewat ponselnya, Minggu (14/11).
Sariman yang masa mudanya bekerja di kapal laut luar negeri dan berbagai pengalaman yang dilihat, menggambarkan kehidupan di kota yang tingkat kejenuhannya juga sangatlah tinggi.
"Kota penuh sesak, kesibukan orang dan polusi membuat orang membutuhkan udara yang segar," sebutnya yang sudah berpergian melihat berbagai bentuk kota di tanah air hingga luar negeri.
"Beda halnya dengan di desa. Di desa kita akan mendengar suara jangkrik, kodok ataupun burung yang berkicau yang menjadi musik terbaik," sebutnya menggambarkan.
"Pada saat malam hari kita bisa melihat kunang-kunang yang akan menjadi pemandangan di malam hari. Di desa pun memang tak menawarkan kehidupan yang serba lengkap seperti di perkotaan, namun kehidupan yang asri ini membuat kita betah berada disini," ujarnya.
"Udara di desa sangatlah sejuk jauh dari polusi udara karena di desa kendaraan yang lalu lalang masih sedikit."
"Ketika pagi hari saat terbangun, kita akan menghirup udara segar yang hanya bisa dinikmati di desa, tidak ada yang namanya polusi. Dari jendela, udara yang segar bercampur dengan bau pepohonan dan tanah yang lembab akan tercium," sebutnya.
Hidup di perkotaan memang tak bisa mengelakkan kemacetan. Di desa kendaraan umum masih sangat jarang ditemukan. "Penduduk disini masih banyak menggunakan sepeda gayung dan juga sepeda motor untuk melakukan aktifitas," terangnya.
Mayoritas penduduk desa adalah nelayan dan berkebun. Mayoritas kerja petani hanya sampai pukul 10 saja. Setelah itu mereka akan berkumpul dengan keluarga atau berbincang-bincang dengan tetangga.
"Jadi waktu untuk berkumpul dengan keluarga cukup banyak. Namun ada juga yang bekerja sampai sore di ladang, namun hal itu sangat jarang sekali. Hal inilah yang menyebabkan tingkat stress penduduk desa sangat rendah dibanding penduduk kota," terangnya.
Ingin buah dan sayuran tinggal memetik.
"Jika ingin buah mangga, pisang, nangka cukup pergi ke kebun yang ada dibelakang rumah."
"Tak hanya buah berbagai macam sayuran juga ada dikebun belakang rumah, hanya tinggal memetiknya saja. Kebun belakang rumah seperti pasar mini di desa," ujar Sariman.
Di desa ini, kata Sariman, rasa solidaritasnya masi tinggi, warga saling bahu-membahu satu sama lain.
"Jika ada tetangga yang akan menggelar hajatan, mereka akan bergotong royong."
Jika di desa ada orang yang memiliki hajatan, mereka tidak pernah menutup jalan. Hal ini dikarenakan halaman mereka cukup luas digunakan untuk menggelar hajatan, sehingga tidak menganggu orang yang akan menggunakan jalan.
Jika di kota sudah pastinya susah dan hampir mustahil untuk mencari sungai bersih. Kebanyakan penduduk yang tinggal di kota akan pergi ke tempat-tempat yang memiliki kolam renang untuk berenang atau berekreasi di saat libur.
"Tentunya harus membayar untuk bisa mendapatkan akses ke kolam renang.
"Nah…bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan, mencari tempat untuk renang, mandi ataupun berekreasi sangatlah mudah karena masih banyak terdapat sungai dengan aliran air yang jernih dan segar alami," kata Sariman yang Ianya masih lekat dengan membuka usaha sampingan dengan memelihara ikan air tawar di depan rumah.
Penduduk pedesaan bisa menghabiskan waktu sepuasnya berenang secara gratis di tempat yang sudah disediakan alam. "Tinggal di desa meskipun ada kekurangan namun tetap menyenangkan," katanya menggambarkan.
Di hutan Lingga juga masih banyak di temukan berbagai jenis tanaman obat yang bernilai ekonomis.
"Seperti tanaman Akar Pajakah telah di budidayakan oleh warga bahkan masih banyak tumbuh liar di hutan-hutan," kata Sariman.
Akar bajakah memiliki kandungan antioksidan tinggi yang berperan penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah berbagai macam penyakit. Selain itu, kandungan antioksidan pada akar bajakah juga berfungsi efektif untuk menangkal radikal bebas yang menyerang tubuh.
"Ditengah pandemi sekarang ini, akar bajakh bisa diminum [setelah direbus] yang rasanya seperti teh," sebutnya.
Meski belum banyak penelitian guna mengungkap khasiat dari akar bajakah, beberapa sumber memperlihatkan manfaat yang telah diketahui untuk kesehatan diantaranya:
Tanaman ini juga banyak ditumbuhi di Kalimantan. Merupakan tumbuhan yang berkhasiat obat dan masih sedikit digunakan di manfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional, kosmetik atau jamu.
Tumbuhan obat, keanekaragaman jenis ini masih banyak ditemui di desa khususnya di Kabupaten Lingga terletak di lembah subur yang masyarakatnya masih mempertahankan budaya dan hidup selaras dengan alam. (*)
Tags : Masyarakat Lingga, Daik Lingga Kepulauan Riau, Daik Lingga Banyak Ditumbuhi Tanaman Obat, Tanaman Akar Pajakah, Obat Tradisional Bertahan dari Pandemi Covid-19,