LINGKUNGAN - Media sosial penuh dengan hoaks serta informasi yang tidak akurat atau menyesatkan tentang perubahan iklim.
"Membongkar hoaks soal perubahan iklim yang sering muncul di media sosial."
"Hal ini sebagai suatu masalah. Sebab, jika orang-orang percaya fakta-fakta palsu, maka tindakan penting yang harus diambil untuk mengatasi perubahan iklim menjadi tertunda," kata para pakar menanggapi.
Di TikTok, sebuah video berbahasa Spanyol yang berusaha menunjukkan bahwa perubahan iklim akibat ulah manusia sebenarnya tidak nyata telah ditonton ribuan kali.
Namun, pembuktian ilmiah menunjukkan realita yang berbeda dengan klaim tersebut.
Suhu global rata-rata di Bumi telah naik 1,1 derajat Celsius sejak akhir 1800-an.
Para ilmuwan telah mengaitkan peningkatan suhu Bumi dengan pembakaran bahan fosil (batubara, minyak, dan gas), yang melepaskan gas rumah kaca ke dalam atmosfer.
Gas seperti karbon dioksida atau metana menangkap energi berlebih di atmosfer Bumi dan membuat suhu planet lebih panas.
Pemanasan global sudah memiliki dampak yang meluas: lautan semakin panas dan permukaan laut naik, beberapa jenis hewan terancam punah dan cadangan makanan sudah menipis.
Tak hanya itu, perubahan cuaca yang ekstrem, seperti gelombang panas, lebih sering terjadi dan dengan intensitas yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
"Perubahan ini bukan konsep abstrak," kata Izidine Pinto, seorang ilmuwan iklim dari Mozambik yang bekerja di Institut Meteorologi Kerajaan Belanda.
"Perubahan-perubahan ini nyata dan para ilmuwan iklim sudah mengamati, mempelajari serta mendokumentasikannya secara ekstensif.”
Cuitan berikut, yang ditulis dalam bahasa Prancis, salah menjelaskan bahwa pemanasan global merupakan proses "alami" yang sama sekali atau hanya sedikit dipengaruhi oleh manusia.
Klaim ini sering dilontarkan oleh pengguna media sosial yang mempertanyakan kebenaran dari perubahan iklim buatan manusia.
Untuk menguatkan persepsi itu, mereka sering mengatakan bahwa dalam sejarah, planet kita mengalami banyak siklus pemanasan dan pendinginan.
Keberadaan siklus-siklus itu didokumentasikan dengan baik, namun mereka secara khusus dipicu oleh faktor-faktor alami, seperti perubahan pada orbit Bumi mengelilingi Matahari.
Para ilmuwan telah membuktikan secara pasti bahwa, tanpa manusia membakar bahan fosil, tren pemanasan global saat ini tidak mungkin bisa terjadi.
Laju terjadinya perubahan ini juga sangat signifikan.
Terakhir kali Bumi mengalami perubahan signifikan dalam suhu global rata-rata, suhu naik 5 derajat Ceksius dalam kurun waktu beberapa ribu tahun.
Tetapi tingkat pemanasan saat ini secara signifikan lebih cepat dari itu: dalam setidaknya 150 tahun atau lebih, suhu Bumi telah meningkat sebesar 1,1 derajat Celsius.
Dan para ilmuwan mengatakan bahwa, berdasarkan perjanjian iklim yang berjalan, kenaikan suhu dapat mencapai sekitar 2,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.
Seorang pengguna Nigeria mengunggah cuitan di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, bahwa perubahan iklim bukan masalah Afrika.
Pernyataan seperti itu sering muncul di kalangan pengguna media sosial di negara-negara berkembang, yang kadang menggambarkan perubahan iklim sebagai "masalah Barat" yang kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Sementara, pengguna-pengguna lain secara keliru memandang bahwa aksi iklim adalah bagian dari "rencana" negara kaya agar dapat menghentikan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Negara-negara kaya - seperti AS, Inggris, China, atau Uni Eropa - memang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca, yang mendorong pemanasan global.
Tetapi perubahan iklim tidak mengenal batas, dan konsekuensinya sudah dirasakan di seluruh dunia - terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
Banyak negara-negara berkembang yang kekurangan sumber daya untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan iklim.
Dalam beberapa bulan terakhir saja, sebagian Timur Tengah - Suriah, Irak, Iran - dilanda kekeringan, sementara wilayah Afrika Timur - Kenya, Ethiopia, Somalia - mengalami banjir mematikan.
"Perubahan iklim adalah masalah global, tetapi dampaknya tidak merata," kata Farhana Sultana dari Syracuse University di AS.
"Ini secara tidak adil mempengaruhi masyarakat akar rumput di negara-negara berkembang yang berkontribusi paling sedikit terhadap masalah itu."
Hal ini membuat beberapa aktivis iklim mendesak negara-negara kaya untuk memimpin pembiayaan tindakan untuk mencegah perubahan lanjut pada iklim (mitigasi) dan untuk membantu orang lain menangani kerusakan akibat perubahan iklim (adaptasi).
"Setiap negara perlu aktif menanggapi upaya mitigasi dan adaptasi dengan kemampuan terbaik mereka, dengan [negara-negara] penghasil emisi tertinggi melakukan lebih banyak untuk mengurangi kerusakan iklim lebih besar," kata Sultana.
Cuitan ini, yang ditulis dalam bahasa Portugis, secara keliru menunjukkan permukaan laut "masih sama" meskipun terjadi pemanasan global.
Klaim serupa sering diunggah bersama dengan foto-foto daerah pesisir, untuk menggambarkan bagaimana tidak ada kenaikan permukaan laut yang benar-benar terlihat secara kasat mata.
Ketika planet ini semakin panas, es yang terperangkap di gletser daratan dan lapisan es mulai mencair, sehingga total volume air di lautan meningkat.
Selain itu, air mengembang saat suhu semakin hangat - dan badan antariksa AS, NASA, mengatakan lautan telah menyerap 90% dari pemanasan Bumi. Jadi, ketika suhu naik, lautan juga ikut meluas.
Diperkirakan, hanya dalam waktu sekitar 100 tahun, permukaan laut global akan meningkat 160 mm hingga 210 mm.
Proses ini berlangsung semakin cepat dan sudah berdampak: permukaan laut yang lebih tinggi mempercepat erosi pantai, sehingga banjir lebih mungkin terjadi.
Para ilmuwan mengatakan jika tindakan tidak cepat diambil, permukaan laut bisa naik sebanyak 2 meter pada akhir 2100.
Artinya, jutaan orang yang saat ini tinggal di daerah pesisir dapat segera mengalami banjir atau bahkan daerahnya terendam oleh air.
"Bukti dari kenyataan ini sudah terjadi di banyak komunitas pesisir Afrika Barat," kata Ayoola Apolola, seorang mahasiswa doktoral asal Nigeria yang meneliti kenaikan permukaan laut ekstrem yang disebabkan oleh iklim.
Sebagai contoh, ia merujuk ke Ilaje, di barat daya Nigeria, di mana beberapa laporan mengatakan "lebih dari setengah populasi telah mengungsi" akibat kenaikan permukaan laut.
Klaim: 'Perubahan iklim bisa berdampak positif untuk kita'
Di negara-negara yang terpapar cuaca dingin yang berkelanjutan, gagasan tentang planet yang lebih hangat mungkin terdengar menarik di awal.
Di Facebook, seorang pengguna Rusia menganggap cuaca yang lebih hangat di musim gugur merupakan dampak positif dari pemanasan global.
Masalahnya setiap keuntungan kecil yang mungkin dihasilkan perubahan iklim, kalah dengan dampaknya yang lebih luas pada skala global.
PBB memperkirakan bahwa, jika suhu global rata-rata naik 1,5C pada akhir abad ini, maka perubahan iklim dapat merugikan dunia senilai US$54 trilliun.
Dampak dari perubahan iklim akan semakin meluas.
Negara-negara Timur Tengah dapat melihat lahan pertanian berubah menjadi gurun.
Negara-negara kepulauan Pasifik berpotensi hilang, tenggelam akibat kenaikan permukaan laut. Negara-negara Afrika dapat dilanda krisis pangan.
Dan bahkan di negara-negara dingin, seperti Rusia, kebakaran hutan akan lebih sering terjadi, karena cuaca menjadi lebih panas dan lebih kering.
"Faktanya, kita telah melihat banyak peristiwa ekstrem terjadi di seluruh dunia," kata Trang Duong, asisten profesor di Universitas Twente di Belanda.
"Gelombang panas terjadi di Amerika Utara, Eropa, dan China pada Juli 2023. Ada juga banjir yang lebih sering dan lebih intens terjadi di seluruh dunia.
“Semua bencana ini merupakan musibah besar bagi kehidupan manusia dan kerugian ekonomi," katanya. (*)
Tags : Media sosial, Perubahan iklim, Lingkungan, Alam, Sains,