AJANG putri kecantikan kerap dianggap sebagai acara gemerlap dan glamor, di mana para perempuan muda yang memperebutkan mahkota berdandan dengan make up tebal.
Bahwa acara itu gemerlap dan glamor, mungkin benar adanya. Tapi Melisa Raouf sedang berusaha untuk mengubah pandangan orang tentang pernyataan kedua – soal make up.
Mahasiswi 20 tahun ini akan menjadi perempuan pertama yang bertarung di babak final kontes kecantikan Miss England tanpa make up, dalam sejarah acara ini sepanjang nyaris 100 tahun.
Dia ingin menunjukkan kepada para pemirsa muda, bahwa tak perlu riasan tebal untuk bisa merasa cantik.
Raouf, yang berasal dari London selatan, pekan lalu memenangi babak 'bare face' atau 'wajah tanpa riasan', yang mengamankan tiketnya ke babak final.
Namun jika sebelumnya para pemenang dari babak ini kemudian tampil di final dengan make up, dia tidak akan melakukannya.
Dan jika dia menang ajang Miss England, Raouf berkata dia juga tidak menggunakan riasan tebal saat berkompetisi di ajang Miss World, supaya dapat “menginspirasi dunia”.
“Saya ingin membuktikan, perempuan punya pilihan,” ujarnya kepada BBC News.
“Kita tidak harus memakai make up kalau kita tidak mau.”
Sama seperti kebanyakan teman-temannya, Raouf mulai memakai make up saat usianya belasan tahun.
Dia mengaku “sangat insecure” dan mulai membanding-bandingkan diri dengan “standar kecantikan tidak realistis” yang banyak ditemukannya di media sosial dan pada akhirnya berdampak negatif pada kesehatan mentalnya.
“Saya tidak pernah merasa nyaman dengan diri sendiri, tidak pernah nyaman dengan kulit saya sendiri,” tutur Raouf.
Namun beranjak dewasa, dia mulai percaya diri – dan dia berkata, mengikuti ajang kecantikan ini, meskipun pada awalnya “sangat menakutkan” tapi belakangn justru menambah rasa percaya dirinya.
“Saya berpikir, saya melakukan ini untuk kita semua.”
Sejak memenangi babak 'bare face' pada pekan lalu, Raouf berkata dia dihujani pesan-pesan positif di media sosial.
“Dari gadis-gadis remaja, perempuan usia 40-an dan 50-an, semua berkata mereka merasa nyaman dengan diri mereka,” kata dia.
Raouf bukannya menentang penggunaan make up secara umum, dan mengaku masih akan tetap menggunakan riasan di acara-acara tertentu. Dalam babak tanpa riasan, dia juga masih memakai produk kecantikan seperti toner, pelembab, dan lip balm – yang diperbolehkan.
“Saya menganggap make up sebagai seni dan kreativitas,” ujarnya.
“Tidak mengapa jika Anda memakai make up untuk tampil lebih cantik di acara-acara tertentu, tapi make up tidak seharusnya mendefinisikan diri kita. Ini tentang pilihan.
“Saya ingin membuktikan bahwa kita tidak harus memakai make up kalau kita tidak mau.”
Raouf juga mengatakan ingin para remaja untuk lebih menghargai “inner beauty” mereka, alih-alih membandingkan diri dengan orang lain.
“Ketika Anda memakai make up tebal, Anda menyembunyikan diri. Hapus lapisan make up itu dan Anda akan melihat diri Anda apa adanya,” imbuhnya.
Apa itu Miss England
Miss England, yang dimiliki oleh kompetisi Miss World, adalah satu dari empat ajang kecantikan di mana Inggris mengirim kontestan setiap tahun.
Miss World pertama kali diadakan di Inggris pada 1951 oleh pembawa acara televisi Eric Morley. Setelah Morley meninggal dunia pada 2000, jandanya Julia Morley menggantikan perannya menjadi CEO.
Acara ini telah menerima berbagai kritik yang menyebut mereka mengobjektifikasi perempuan, salah satu protes paling terkenal adalah pada 1970 ketika anggota kelompok bernama Women’s Liberation Movement menggunakan tepung untuk mengganggu acara final di Royal Albert Hall, London.
Saat final kompetisi ini diadakan di London pada 2011 dan 2014, protes juga muncul dari berbagai kelompok, termasuk London Feminist Network dan UK Feminista.
Beberapa aturan dalam kompetisi ini tidak pernah berubah sejak 1951.
Pemenang Miss World tidak boleh lebih tua dari 27 tahun pada saat pendaftaran, dan tidak boleh menikah atau telah melahirkan anak.
Pada 2018, Veronika Didusenko, yang memenangi gelar Miss Ukraina, menuntut aturan ini diubah setelah gelarnya dicabut ketika penyelenggara mengetahui dia telah punya anak.
Menanggapi itu, Julia Morley berkata sulit untuk mangubah aturan karena sudah ada banyak kompetitor lokal di negara-negara berbeda.
Tetapi, Raouf tetap merasa kompetisi ini membawa pengaruh “positif dan menginspirasi”.
“Para kontestan menggunakan platform mereka untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Raouf, yang saat ini mahasiswa tahun kedua dengan gelar politik di King’s College London mengaku ingin berkarier di bidang diplomasi setelah lulus.
Dia juga mengatakan para kontestan di ajang kecantikan ini ternyata berasal dari berbagai latar belakang, yang jarang terpotret media.
“Setiap orang punya kisahnya sendiri.”
Tags : Hak perempuan, Inggris raya, Perempuan,