LINGKUNGAN - Hanya ada satu tempat di dunia di mana orangutan, gajah dan harimau hidup berdampingan di alam liar. Aktivis lingkungan Aldo dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) terus berjuang melindungi 'surga terakhir dunia' bernama Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau.
Pada 2019, Jikalahari juga merespon temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait satu juta hektar sawit ilegal di Riau, Jikalahari membuat petisi di halaman Change.org mendesak agar Gubernur Riau Syamsuar segera tertibkan perusahaan sawit ilegal. Menuntut perusahaan minyak kelapa sawit yang melakukan pembalakan hutan secara ilegal. Aldo mengatakan motivasinya adalah rasa ketidakadilan karena tidak ada yang membela alam liar.
Petisi dimulai Jikalahari tersebut berjudul “Gubernur Riau Syamsuar, Dukung KPK RI Segera Tertibkan Perusahaan Sawit Ilegal” saat ini telah didukung lebih dari 45 ribu tanda tangan warga. Bunyi kutipan petisinya di www.change.org/mangkirpajak:
“Dalam catatan kami ada 1 juta hektar perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasai masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin,” kata Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata di Pekanbaru 2 April 2019.
Bukan hanya mengeruk kekayaan bumi dan menimbulkan banyak kerusakan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak pernah membayar pajak kepada negara selama menguasai hutan. Hal ini diketahui dari banyaknya perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Sebelumnya, Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau pernah laporkan 190 perusahaan kelapa sawit terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.
Kita semua pasti ingat betapa setiap tahunnya, masalah asap dari kebakaran hutan selalu menghantui warga masyarakat Riau. Kebun-kebun sawit yang dikuasai oleh perusahaan secara ilegal ini punya dampak yang sangat buruk terhadap upaya perbaikan tata kelola hutan.”
Jikalahari sangat mendukung inisiatif dari KPK dan DPRD yang mendesak agar Pemprov Riau segera menertibkan perusahaan sawit tanpa izin di Riau,” kata Aldo dari Jikalahari.
Menurutnya, upaya penertiban tersebut dapat dilakukan melalui pendataan ulang perusahaan tanpa izin yang menguasai lahan di Riau dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang terbukti membuka lahan sawit tanpa izin.
“Gubernur Riau, tidak perlu ragu karena upaya penertiban ini didukung oleh KPK, DPRD dan warga masyarakat, ini juga salah satu langkah pembenahan tata kelola sawit di Riau menuju Konsep Riau Hijau yang di gadangkan oleh Gubernur” jelas Aldo.
Aldo mengingatkan begitu indahnya alam liar jika tetap lestari. "Bayangkan berdiri di bawah kanopi pepohonan lebat dan coba lihat ke atas, kita bisa mendengar suara-suara hewan liar burung rangkong terbang melintas. Kemudian kita bisa melihat sekitar dan mendengar suara hewan-hewan lain bergaung di seluruh hutan, menandai wilayah mereka."
"Saat ini kita bisa melihat orangutan, ibu dan bayinya, bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya. Selain itu, kita juga bisa melihat kera ekor panjang yang berteriak-teriak. Tapi, dari momen ke momen, kita juga bisa menikmati kesunyian hutan, di mana tidak mendengar apapun, sebelum suara-suara itu kembali menghidupkan hutan," cerita Aldo.
Namun menurutnya bukan hanya soal keindahan hutan, Aldo juga mengisahkan aktivitas yang membuatnya patah hati. "Tapi di kejauhan, kita juga bisa mendengar suara gergaji mesin meraung, suara penghancuran yang terus mendekat. Ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mencegah, menghentikan gergaji mesin itu masuk lebih jauh ke dalam hutan," paparnya.
"Saya menjadi pegiat konservasi karena awalnya saya terlalu sering terjun ke alam liar. Saya jatuh cinta dengan lautan, dengan terumbu karang saat saya masih sangat belia, dan saya menetapkan bahwa inilah yang ingin saya lakukan dalam hidup saya."
"Jadi, dengan pikiran, saya akan mencoba melindungi hutan. Mungkin itu lebih mudah, saya bisa memasang pagar di sekeliling hutan dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi, tentu saja rasanya tidak mungkin dilakukan."
Ancaman bagi ekosistem Hutan
"Ancaman utama ekosistem hutan TNBT dan TNTN terus terjadi bahkan tekanan dari eksploitasi dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perusahaan besar yang ingin membuka perkebunan kelapa sawit - bisnis perkebunan yang paling menguntungkan di dunia - adalah ancaman yang bisa merusak ekosistem rawan ini.
"Ketika berkaitan dengan minyak kelapa sawit, itu menjadi masalah yang kompleks. Sulit untuk sekedar mengatakan, 'jangan beli kelapa sawit' atau 'belilah minyak kelapa sawit yang berkelanjutan' atau 'ayo boikot produk kelapa sawit'.
"Cara pandang kita terhadap kelapa sawit adalah, itu produk yang menguntungkan, dan bagaimana permintaan akan kelapa sawit terus mendorong ekspansi."
"Permasalahan utama dengan kelapa sawit adalah pengaturan oleh pemerintah, tentang bagaimana konsumen di dunia bisa mendorong produksi kelapa sawit bebas konflik, lewat cara konsumsi mereka. Karena kita sering kali mencari jalan pintas, kita menginginkan produk yang berkelanjutan, tapi tidak mau membayarnya."
"Kita hidup di era informasi. Di masa lalu, saya bisa bilang lebih banyak membaca atau cari lebih banyak informasi. Kini, saya menganjurkan orang-orang untuk mencari lebih banyak pengalaman dengan mengunjungi hutan yang terus menghilang."
"Pergi ke tempat seperti TNBT di Indragiri Hulu dan TNTN di Pelalawan. Tempat-tempat itu mendapat ancaman besar karena eksploitasi termasuk oleh perkebunan kelapa sawit.
"Jika kita datang ke tempat-tempat itu dan melihatnya langsung dan mendengar apa yang terjadi, kita akan punya rasa keterkaitan yang kuat untuk melakukan sesuatu terhadap kelapa sawit dan deforestasi," ujar Aldo. (*)
Tags : Membela Alam Liar, Hutan Riau, TNBT, TNTN, Serangan Kebun Sawit ,