Pendidikan   15-04-2025 11:55 WIB

Mendikdasmen akan Kembali Terapkan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA, 'Sepertinya Siswa Sudah jadi Kelinci Percobaan'

Mendikdasmen akan Kembali Terapkan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA, 'Sepertinya Siswa Sudah jadi Kelinci Percobaan'
Foto ilustrasi siswa SMA.

JAKARTA - Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti menerapkan kembali sistem penjurusan di tingkat sekolah menengah atas pada tahun ajaran 2025/2026 menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki peta jalan pendidikan, menurut sejumlah pakar.

Penerapan sistem yang dihapus pada era menteri pendidikan sebelumnya itu dituding tak disertai riset dan pertimbangan yang matang.

Dalam diskusi dengan pers di kantornya, Abdul Mu'ti membuat klaim rencana perubahan sistem itu tak didasari masalah personalnya dengan Menteri Pendidikan terdahulu, Nadiem Makarim.

Menurut Abdul, sistem ini berkaitan dengan aspek keberlanjutan di setiap jenjang pendidikan, yang berpengaruh pada masa depan murid.

Namun harus ada peningkatan kualitas guru serta sarana-prasarana sekolah, jika pemerintah "serius" hendak memberlakukan lagi sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa, kata Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib. 

"Jangan seperti dulu, hanya IPA yang punya laboratorium belajar, sedangkan IPS dan Bahasa tidak didukung," ujarnya.

"Selain itu dikotomi antara IPA dan IPS harus dihilangkan, jangan sampai ada anggapan anak-anak IPA lebih hebat, sementara anak-anak IPS bodoh," kata Fahmi.

Seorang siswa kelas X di sebuah SMA di Jakarta, Ryu, berharap setiap jurusan mendapatkan fasilitas pembelajaran yang setara.

Menurut Ryu, pemberlakuan sistem penjurusan semestinya juga diikuti pengurangan pelajaran yang terdapat dalam kurikulum merdeka. Alasannya, kata dia, agar pelajar dapat berkonsentrasi pada pelajaran yang mereka minati.

Apa alasan Mendikdasmen menerapkan lagi penjurusan di SMA?

Nadiem Makarim menghapus sistem penjurusan di jenjang SMA dan menggantinya dengan Kurikulum Merdeka pada tahun 2021.

Kala itu, Nadiem menyebut terdapat pelabelan kuat di masyarakat, termasuk orang tua murid, bahwa jurusan IPA lebih unggul ketimbang IPS dan Bahasa.

Menurut Nadiem, selama ini para orang tua cenderung memaksa anak memilih jurusan IPA, tanpa mempertimbangkan minat, bakat, dan rencana karier sang anak.

Pada tahun itu, kebijakan Nadiem juga disambut pro-kontra. Penghapusan sistem penjurusan dianggap sebagai kecenderungan "gonta-ganti kebijakan tanpa peningkatan mutu guru dan sarana-prasarana.

Penerapan sistem penjurusan di SMA bakal segera dilakukan melalui peraturan menteri, kata Mendikdasmen Abdul Mu'ti.

Regulasi tersebut nantinya akan menggugurkan aturan yang diteken Nadiem, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024.

Aturan yang disusun rezim Nadiem itu mengatur kurikulum pada pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan dasar, dan jenjang pendidikan menengah.

"Ini bocoran, jurusan akan kami hidupkan lagi, nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan bahasa," ujar Abdul Mu'ti saat diskusi dengan media di Kementerian.

Dengan pemberlakuan sistem penjurusan, siswa yang mengikuti tes kemampuan akademik (TKA)—pengganti ujian nasional—nantinya wajib mengikuti tes Bahasa Indonesia dan Matematika.

Selain itu, murid yang memilih jurusan IPA dan IPS akan dipersilakan memilih satu mata pelajaran dalam rumpun ilmu jurusan mereka untuk diujikan dalam TKA.

Sebagai contoh, murid jurusan IPA bisa memilih ujian pada mata pelajaran Biologi, Fisika, atau Kimia. Sedangkan murid jurusan IPS akan memilih tes mata pelajaran Ekonomi, Geografi, Sejarah, atau Sosiologi.

Abdul Mu'ti berkata, murid yang memilih TKA bisa menggunakan nilai ujian tersebut untuk mendaftar ke perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Untuk itu, TKA akan dimulai pada November 2025 untuk siswa kelas XII SMA/SMK.

Abdul Mu'ti juga mendasarkan kebijakan soal penjurusan ini pada pertemuannya di Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia.

Katanya, perguruan tinggi merasa banyak mahasiswa baru diterima di program studi yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya selama di SMA.

"Ada mahasiswa yang dia itu IPS, tetapi diterima di fakultas kedokteran. Wah, itu bisa jadi jeblok dia selama kuliah. Diterima sih diterima, tapi begitu kuliah akan jadi kesulitan tersendiri karena dasarnya tidak berbasis mata pelajaran yang selama ini dipakai dalam asesmen nasional yang diperlukan pada masa Mas Nadiem itu," kata Abdul Mu'ti.

Sejumlah pengamat pendidikan mengatakan gonta-ganti kebijakan yang terbilang cepat dan tanpa ada kajian ilmiah menunjukkan Indonesia tidak punya peta jalan pendidikan jangka panjang.

Padahal peta jalan itu dianggap vital untuk mengukur sejauh mana pencapaian menuju cita-cita Indonesia emas 2045—seperti yang dirancang oleh Bappenas, kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji.

Jika berpegang pada peta jalan tersebut, kata Ubaid, meskipun menterinya berganti orang, kebijakannya tidak akan berubah. Artinya, menteri baru "melanjutkan apa yang sudah dibangun".

"Jadi kita bisa mengukur misalnya lima tahun Nadiem sudah sampai mana, maka Pak Abdul Mu'ti melanjutkan, kan begitu. Nanti diperhatikan dia sudah sampai tangga ke berapa menuju milestone yang dirancang itu, untuk dilanjutkan lagi."

"Tapi ini kan enggak, kesannya maju mundur."

Untuk diketahui pada 2024 lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045, sebagai bagian dari implementasi Visi Indonesia Emas 2045.

Salah satu yang disorot dalam peta jalan Bappenas itu adalah kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah dan berada di posisi ke-6 dari 7 negara.

Dalam hal membaca-matematika-sains, Indonesia kalah dari Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Hambatannya karena tidak sinkronnya program antar-sektor dalam mendukung PAUD-HI (Pendidikan Anak Usia Dini Holistik Integratif), kemudian minimnya sosialisasi dari dinas atau pemerintah setempat terkait PAUD-HI, kurangnya keterlibatan orang tua dalam layanan PAUD-HI, serta belum optimalnya pemahaman guru terhadap PAUD-HI.

Di peta jalan ini Bappenas mendorong adanya kebijakan dalam hal percepatan wajib belajar 13 tahun (1 tahun pendidikan prasekolah dan 12 tahun pendidikan dasar dan pendidikan menengah), pemerataan akses pendidikan tinggi berkualitas dan pengembangan STEAM, dan pengembangan kualitas pengajaran serta pembelajaran.

Tak hanya itu, Bappenas juga menganjurkan adanya penguatan pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan berkualitas.

Tapi masalahnya, menurut Ubaid, apa yang dirancang dalam peta jalan pendidikan itu tidak sinkron dengan keputusan maupun program baru yang dikeluarkan menteri pendidikan maupun presiden.

"Sekarang mau ada sekolah unggulan, sekolah rakyat, makan bergizi gratis, itu ada enggak di peta jalan pendidikan Bappenas? Tidak ada. Artinya tidak ada yang dijadikan kiblat pendidikan Indonesia," tuturnya.

"Padahal supaya peserta didik kita itu berkualitas, maka yang pertama harus diperhatikan adalah kualitas gurunya dulu. Mau diganti-ganti [kebijakan] kalau gurunya enggak mampu ya enggak akan ada perubahan."

"Profesi guru di Indonesia itu tidak menyejahterakan, guru-guru kita diisi oleh orang yang ngelamar ke mana-mana dan ditolak akhirnya jadi guru, kira-kira itu kondisinya."

"Kalau begini terus, anggaran pendidikan kita yang sangat besar tidak akan berdampak apa-apa," tukasnya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, satu suara. Ia mengandaikan gonta-ganti kebijakan tersebut seperti orang yang tersesat dan tak menemukan jalan keluar.

Ini karena tanpa ada landasan riset yang kuat, akan sulit memahami apa kelemahan dan kelebihan dari program sebelumnya.

Totok menjelaskan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di sekolah menengah atas dulunya ditujukan untuk mengoptimalkan bakat dan minat para siswa ketika nanti melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

Tapi seiring berkembangkan dunia pendidikan, bakat anak-anak terlalu sempit jika dikelompokan menjadi tiga.

"Idealnya kalau kita punya murid 30 ya cara belajarnya harus ada 30 juga, karena setiap anak berbeda. Terus gurunya juga harus menyesuaikan dengan 30 anak itu."

"Dan kelemahan sistem penjurusan itu kita seakan sudah menetapkan seorang anak bakatnya A atau B, padahal bakat itu berkembang."

Persoalan lain, penjurusan tersebut belakangan menimbulkan sikap "favoritisme" di masyarakat dan terutama para orang tua. Murid yang masuk jurusan IPA dianggap memiliki keistimewaan atau kemudahan saat mendaftar kuliah.

Ada juga "pelabelan" bahwa murid-murid IPA dinilai lebih pintar dari dua jurusan lainnya.

"Itulah dasarnya kenapa Pak Nadiem menghapuskan semua jurusan, anak-anak itu didesain untuk belajar sesuai dengan minat dan bakatnya."

"Tapi yang dilupakan di situ adalah kompetensi gurunya. Itu kan PR dari kurikulum merdeka karena mengasumsikan guru sudah punya kemampuan yang tinggi dan sama di semua sekolah."

Itulah mengapa bagi Ubaid, gonta-ganti kebijakan begini cuma merugikan guru dan siswa karena mereka seperti diperlakukan layaknya "kelinci percobaan" oleh pejabat.

"Kasihan anak-anak jadi kelinci percobaan, karena korbannya peserta didik, tapi yang lebih serius lagi korbannya ya masa depan kualitas pendidikan di Indonesia yang terus memburuk," ucap Ubaid.

Apa kata guru dan siswa?

Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib, bilang bahwa keputusan Mendikdasmen Abdul Mu'ti terlalu tergesa-gesa.

Sebab kurikulum merdeka yang diinisiasi oleh menteri sebelumnya Nadiem Makarim belum kelihatan hasilnya. Sehingga tak ada alasan kuat untuk mengubahnya kembali.

"Biasanya pergantian kurikulum itu setiap sepuluh tahun, ini belum sampai tiga tahun sudah ganti lagi," keluhnya.

"Di sekolah saya mengajar saja belum ada lulusan dari kurikulum merdeka."

Kendati demikian, kalaupun pemerintah benar-benar serius ingin memberlakukan sistem penjurusan di sekolah menengah atas, dia menyarankan agar pelabelan maupun favoritisme itu dihilangkan.

Dan yang utama, meningkatkan kualitas guru serta menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh ketiga jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Sebab berkaca pada penerapan penjurusan di tahun-tahun yang lalu, kata Fahmi, mayoritas sekolah lebih mengutamakan sarana-prasarana berupa laboratorium untuk jurusan IPA.

"Seakan-akan yang membutuhkan laboratorium itu hanya IPA selama ini."

"Padahal semestinya IPS juga dibuatkan lab khusus. Begitu juga Bahasa agar mereka memahami multifungsi bahasa."

"Misalnya anak IPS untuk menganalisa ekonomi bisa bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk memahami situasi keuangan nasional."

"Atau bagaimana penanganan suatu konflik di pelajaran sosiologi bisa pergi ke suatu wilayah untuk mempelajari kehidupan sosial dan politik di sana. Tidak hanya belajar dari buku pelajaran."

"Ini sebagai bukti bahwa kami tidak dijadikan kelinci percobaan, mengetes-ngetes kebijakan."

Seorang siswa kelas X sebuah SMA di Jakarta, Ryu juga berpendapat demikian. Dia berharap fasilitas pembelajaran yang disediakan untuk tiap-tiap jurusan nantinya tersedia semua.

Saat ini, katanya, ia lebih menyukai mata pelajaran matematika dan fisika. Itu artinya kalau ada penjurusan di kelas XI, maka Ryu akan memilih jurusan IPA.

"Sebenarnya kalau sejarah suka sih, tapi yang lain kayak ekonomi, geografi, sosiologi kurang lah."

Sebagai anak yang doyan belajar, dia bilang kurikulum merdeka membuatnya jadi terlalu santai. Bahkan katanya "terasa tidak belajar" karena terlalu banyak waktu habis untuk pelajaran P5 atau Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Tujuan P5 sedianya untuk mengembangkan kreativitas dan kemandirian siswa, menampilkan kreativitas mereka di hadapan publik, dan mengantisipasi perundungan di lingkungan sekolah.

Di sekolah Ryu, pelajaran P5 berlangsung selama tiga hari dan dilakukan di empat jam pelajaran terakhir. Contoh pelajaran P5 yang sekarang dilakoninya adalah membuat satu kelompok yang terdiri dari 7 hingga 8 orang.

Mereka lalu membuat scrapbook tentang senam irama.

"Jadi buku itu berisi penjelasan tentang senam irama, nanti dipresentasikan, udah gitu aja."

"Gara-gara itu, jadi enggak kerasa belajar sih sebenarnya. Soalnya saya juga tanya kan ke teman-teman, semua ngerasa enggak belajar. Makanya aneh banget. Rasanya kayak santai-santai, latihan doang."

"Padahal kan setidaknya ada lah rasa-rasa belajarnya sedikit, rasa kesusahannya."

Karena itulah dengan adanya penjurusan Ryu berharap pelajaran P5 bisa dikurangi dan mengalihkan konsentrasinya pada pelajaran yang diminati.

Dan meskipun begitu dia tidak beranggapan jurusan IPA lebih baik dari jurusan lainnya.

"Semua orang punya bakatnya masing-masing, kalau buat saya IPA bagus karena sesuai minat."

"Dengan adanya ini [penjurusan] jadi bagus, soalnya saya sekelas sama orang-orang yang mengerti di pelajaran itu. Jadi kalau nanya ke mereka gampang dan enak jadinya". (*)

Tags : menteri pendidikan dasar dan menengah, mendikdasmen, terapkan jurusan ipa, ips, bahasa, pendidikan, anak-anak,