BAHRUMMAZI, lelaki paroh baya warga asli Pulau Mepar, Kabupaten Lingga Kepulauan Riau mengajak untuk bersiaturahmi ke tempat bumi kelahirannya pada Minggu 30 Juni 2024. Secara bersamaan kampung asalnya itu juga sedang digelar pesta pernikahan.
“Kembali ke kampung halaman, saya senang di sini,” kata Bahrummazi.
Baginya, Pulau Mepar menyenangkan, selain pulau itu berhadapan tak jauh dari Pulau Lingga, dahulunya juga sebagai tempat benteng pertahanan Sultan Lingga.
Ia hapal setiap detil pulau itu, masyarakatnya dan kehidupan sosial budayanya.
“Anak-anak Pulau Mepar yang bersekolah harus menyeberang ke Daik Lingga, saya kenal semua keluarga disini. Hampir semua masih terkait saudara,” katanya tersenyum.
Selain aktif sebagai Ketua RT03/RW05 di Kampung Bukit Kuali, Kelurahan Lingga, Bahrummazi juga aktif dibidang sosial dan membuka usaha kecil-kecilan di kampungnya.
“Itu tadi pulau yang paling kecil persis didepan Pulau Mepar disebut Pulau Pucung," sebutnya menceritakan sambil menunjuk Pulau kecil yang bertengger ditengah perairan laut Lingga.
Aktifitas warga pulau Mepar sendiri menggantungkan dengan beraktifitas nelayan mencari ikan.
Ia terinspirasi dengan nama Pulau Pucung yang menyimpan cerita rakyat suku Melayu sejak turun menurun.
"Cerita masyarakat di kepulauan ini pada masa-masa kecil dahulu, begitu membekas diingatan saya," katanya.
“Pernah dengar cerita rakyat tentang Pulau Pucung?,” tanya Bahrummazi balik.
“Ya, saya pernah tau, tapi tidak begitu mendalami. Cerita rakyat masyarakat di Kepulauan Lingga”.
Dia pun lantas bersemangat menceritakannya.
Menurut Bahrummazi, dari cerita rakyat masa kecil yang didapatnya, salah satu keajaiban Pulau Pucung diperairan laut Lingga.
Disebutkan dalam cerita orang-orang dulu, pulau itu tak lepas dari 'tangan' mahkluk halus [Bunian] yang kehadirannya sejak Kesultanan Lingga menguasai perairan strategis di laut Kepri.
"Pulau Pucung sempat menjadi handalan warga untuk mengadu nasib dalam bersosial."
"Penduduk jika sedang melakukan hajatan [pesta pernikahan] bisa minta bantuan ke pulau itu. Tetapi anehnya, bantuan keperluan yang dibutuhkan justru bisa terkabulkan," ceritanya.
"Semisal, pada mereka yang membutuhkan peratalan dapur [sendok, piring, gelas dan cawan] serta lainnya akan diperoleh [didapat] tentunya melalui juru kunci," terangnya lagi.
Menurutnya, Pulau Pucung tempat dan menjadi andalan manakala kebutuhan dan keperluan rumah tangga yang selalu melilit dalam menjalani kehidupan.
Tetapi sebaliknya, jika segala peralatan dapur yang dipinjam saat waktu pengembalian, jika jumlahnya berkurang, maka siap-siap [yang punya hajatan] akan mendapat 'gangguan'.
"Wilayah mereka [mahkluk halus] meliputi perairan laut Lingga".
Ditarik lebih jauh ke belakang, kisah mahkluk halus [Bunian] telah hadir sejak kepemimpinan Sultan Lingga.
"Pasukan Kerajaan itu terus hidup berdampingan dengan masyarakat umumnya yang kemudian tiba di pulau kecil yang dikenal dengan nama Pulau Pucung."
Banyak persediaan kayu seraya dipercaya sebagai bahan baku yang baik untuk kapal milik raja, di pulau itu yang berdampingan dengan hutan yang lebat ada di setiap lereng-lereng gunung terus memberikan berbagai keperluan warga.
Tetapi berbagai keeanehan-keanehan yang terjadi di pulau Lingga juga terbawa hingga ke laut.
Menurut Bahrummazi, pulau Pucung seperti yang banyak diceritakan dalam hikayat tersebut, juga merupakan tempat tinggal para mahkluk halus bersama hulubalangnya pada masa silam.
Cikal bakal keturunan yang mendiami Pulau Pucung, dipercaya dari keturunan para hulubalang laut yang ikut bersama bermastautin di pulau yang kecil.
Seiring waktu, aktifitas di Pulau Pucung di sekitar perairan laut sekaligus berdekatan dengan tempat kelahirannya [Pulau Mepar] kini mulai berkurang keajaibannya, bahkan menurun jauh.
"Paling tidak hingga beberapa dasawarsa ke belakang. Seperti pada masa dulu, keberadaan mereka tak pernah terjadi ancaman yang menakutkan bagi warga baik kapal-kapal yang melintas di sekitar pulau kecil di sekitar wilayah itu untuk setiap harinya," kata Bahrummazi.
Tetapi tahun 1991, misalnya. Berbagai kasus kecelakaan hingga merengut nyawa memang tak terelakkan.
Seorang Anak Buah Kapal [ABK] harus menghembuskan nafas saat mencoba menyelamatkan [tutup lenca kamera penumpang] jatuh di sekitar pelabuhan Buton yang tak jauh dari Pulau Kecil.
Menurut catatan sejarah, sejak dulu perairan laut Lingga ini, tak pernah menjadi jalur aktivitas kapal maupun perdagangan.
Konon perairan ini yang begitu sepi membuatnya menjadi rawan aksi kecelakaan kapal jika melintasinya.
Kebanyakan kapal yang berlayar membawa barang dagang yang nilainya tidak sedikit akan berputar lebih dahulu untuk menuju Tanjung Buton.
Begitupun kapal penumpang juga selalu berlaboh ke pelabuhan lain yang ada di Lingga untuk memanfaatkan alur di pulau-pulau kecil disekitarnya yang biasanya mengarahkan kapal ke perairan yang lebih dalam di sekitar perairan laut Lingga.
“Sekarang jauh menurun lah. Zaman dah berubah. Kami di sini misalnya, adalah masyarakat nelayan. Beberapa tahun terakhir juga banyak kapal dagang dan penumpang mengalihkan saat berlaboh,” kata Bahrummazi.
Jadi Bahrummazi kembali menilai, demi mendukung peningkatan ekonomi warga di Lingga ini yang rata-rata masih terkait saudara itu, tutupnya. (*)
Tags : pulau pucung, pulau kecil, daik lingga, kepri, pulau pucung membawa keberkahan, warga lingga percaya pulau pucung membawa keberuntungan,