CERITA suka duka para pemanen sagu melewati salah satu jalan raya di Desa Panggak Laut, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), membuat debu berterbangan, disaat musim kemarau panjang, debu-debu itu bisa menutupi jarak pandang tatkala berpapasan dengan gerobak.
Dari kejauhan, nampak seorang pria membawa tumpukan batang pohon sagu diikat dengan tali bekas ban dalam diangkut gerobak ditarik menggunakan kendaraan bermotor roda dua, bahkan menggunakan jalur laut, jalannya pelan, karena untuk menjaga keseimbangan agar batang sagu yang di bawa tidak terjatuh.
Sebelum berakhirnya Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1913, Sultan Abdurrahman Muazam Syah (Sultan terakhir Riau-Lingga) telah meninggalkan harta karun yang nilainya ditaksir mencapai 1 triliun rupiah.
Harta yang ditinggalkan di atas pulau yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Lingga tersebut, seakan luput dari perhatian, karena dianggap tidak memenuhi persepsi harta karun pada umumnya, seperti emas atau berlian.
Harta itu nilainya luar biasa besar, dan dianggap mampu mengatasi berbagai permasalahan ekonomi di Kabupaten Lingga. Bahkan, sejumlah pakar menilai harta seperti yang ditinggalkan sultan itu, merupakan harta abadi dan akan terus tumbuh meluas.
Harta yang dimaksud yakni, jutaan batang tanaman sagu siap panen, di atas puluhan ribu hektare lahan yang tersebar di tiga kecamatan.
Bakri (40), dalam setengah hari mengaku sudah puluhan kali bolak-balik dari titik kebun sagu yang sedang dipanen ini menuju ke tepian laut, jaraknya kurang lebih 2,5 kilometer.
Dari tepian laut, batang sagu yang sudah selesai dia usung itu, kemudian nantinya ada yang mengambil dengan menggunakan perahu untuk dikirim ke pabrik tepung sagu.
Selain gerobak merupakan salah satu alat transportasi yang digunakan oleh warga sekitar, tidak terkecuali juga batang tanaman sagu. Untuk itu, gerobak sudah tidak asing lagi di daerah ini.
“Sagu ini mau saya bawa ke tepi laut, nanti balik lagi ke kebun,” ujar pria itu saat ditanya akan dibawa kemana batang tanaman kaya karbohidrat ini.
Petani sagu
Proses pemanenan tanaman yang digunakan sebagai bahan tepung itu, Bakri bekerja bersama empat rekannya dengan tugas yang berbeda-beda.
Empat temannya berada di kebun, sementara Bakri yang bertugas bolak-balik membawa sagu dari kebun ke tepian laut.
Bakri kompak menaikkan batangan sagu yang sudah dipotong berukuran satu meter itu keatas gerobak. Sementara, di dalam kebun sudah ada tiga orang petugas yang berperan memanen, satu bagian menebang, dua orang lagi yang membawa sagu dari kebun ke jalan raya.
Di dalam kebun, dua sosok pria terlihat sedang mendorong sagu, melewati batang daun sagu yang sudah dipersiapkan sebagai jalan masuk ke rumpun, agar memudahkan proses pengangkutan hasil tebangan. Di kanan-kirinya masih terdapat rimbunan tanaman sagu yang belum dipangkas, sehingga dua orang ini seolah baru keluar dari gua yang ditumbuhi tanaman sagu.
Peralatan yang digunakan untuk mendorong pun cukup sederhana, yaitu kayu berukuran tiga meter yang sudah dipasangi besi, kemudian diapitkan ke kanan kiri sagu.
Bakri menjelaskan, proses pemanenan ini memang dilakukan dari dalam terlebih dahulu. Alasanya, jika penebangan sudah dekat dengan jalan raya, nantinya akan lebih ringan.
“Prosesnya tidak mudah, karena masih dengan cara manual, sehingga membutuhkan banyak tenaga, apalagi sagu ini kan yang di panen batangnya,” ujar lelaki ini.
Panen sagu, lanjutnya, bisa dilakukan saat pohon berusia 6-7 tahun, atau bila ujung batang mulai membengkak, disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna putih, terutama pada bagian luarnya, untuk ketinggianya antara 10-15 m, dengan diameter 60-70 cm.
Sementara itu, tebal kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50-60 cm.
Untuk harga tanaman sagu di tingkat petani, katanya, per batangnya saat ini Rp 38 ribu.
Pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan (Kadistanhut) Lingga memaparkan, luas lahan sagu siap panen yang dimiliki Lingga mencapai 10 ribu hektare. Lahan seluas itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Lingga, Lingga Timur dan Kecamatan Lingga Utara.
Sagu tanamban jika dibandingkan dengan tanaman lainnya, karena sifat regenerasinya, dari tunas yang senantiasa tumbuh di sekitar induk kemudian membesar, dan siap panen, begitu seterusnya.
Hal itu pula yang membuat sagu di Lingga tidak pernah habis meskipun sudah berumur ratusan tahun.
Pengangkutan sagu melalui sarana air laut.
Saat ini, pohon sagu siap panen tersebut berpotensi menghasilkan ratusan ribu ton sagu per tahun, dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Namun sangat disayangkan, sejak Lingga menjadi kabupaten pada 12 tahun silam, potensi itu belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk mengangkat perekonomian masyarakat.
Kuantitas produksi sagu Lingga saat ini, per tahunnya hanya berkisar ribuan ton saja. Seperti yang tercatat pada tahun 2014, dalam laporan LKPj Bupati Lingga beberapa waktu lalu, sebanyak 2.615 ton.
Angka tersebut menunjukkan kemampuan produksi sagu Lingga masih sangat kecil, dan hanya mampu menyentuh sebagian kecil dari total lahan sagu siap panen yang tersedia di Lingga saat ini.
Sementara di Kabupaten Lingga, dengan lahan sagu yang siap panen seluas 10 ribu hektare, nilainya bisa mencapai 1 triliun rupiah.
Namun hal itu belum sama sekali membuka mata pemerintah daerah, bahkan pada 2015 ini, peremajaan lahan sagu yang dianggarkan dalam kegiatan Distanhut Lingga setiap tahunnya, ditiadakan karena alasan defisit.
Kendala Industri Sagu
Rendahnya produksi sagu di Lingga diduga karena faktor industri sagu yang masih dalam skala kecil, dan pelaku industrinya tidak banyak. Produksinya hanya mampu menghasilkan 7 sampai 10 ton sagu basah per pengolahan (1 minggu).
Zaikumar, salah seorang pelaku industri sagu di Desa Panggak Laut memaparkan, kuantitas produksi sagu miliknya berkisar 7 ton per minggu, atau sekitar 23 batang sagu yang mampu diolah dalam satu minggu. Untuk meningkatkan produksi membutuhkan bak pengendapan sagu yang lebih besar.
Jumlah industri sagu di Lingga yang tersebar di tiga kecamatan diperkirakan berkisar 300-an unit. Bisa digambarkan, jumlah batang sagu yang mampu diolah oleh 300 pelaku industri sagu di Lingga hanya 300 ribu batang saja per tahun.
Untuk menyerap jutaan batang sagu siap panen di atas lahan puluhan ribu hektare tersebut, pemerintah harus mulai memikirkan sebuah industri berskala besar.
Sementara itu, Perusahaan Daerah masih menekuni pengolahan sagu dalam skala kecil. Hal itu diduga, karena penyertaan modal daerah yang masih terbatas, dan permintaan pasar yang dimilikinya masih relatif kecil.
Investasi Abadi
Lingga memiliki ketersediaan bahan baku cukup memadai untuk industri pengolahan sagu berskala besar.
Hal itu tentu menjadi pertimbangan utama bagi tiap investor yang ingin menginvestasikan modalnya di sektor pertanian.
Bahkan sejumlah perusahaan perkebunan mengakui, sagu merupakan jenis investasi perkebunan masadepan, karena karakternya yang abadi.
Seperti yang dilakukan PT Sempoerna Agro Tbk yang kini menjadi pionir dalam pengembangan industri sagu di dalam negeri.
Direktur PT Sampoerna Agro Dwi Asmono, Ph.D, dalam laman website Kementerian Perindustian mengungkapkan, bahwa bisnis ini jangka panjang. Dari sisi produksi, sagu bisa menjadi sumber pangan alternatif yang cukup besar.
"Tinggal dikelola menjadi unit bisnis yang baik ke depan," ujarnya.
Dia juga memaparkan, untuk investasi pengembangan sagu yang dimulai dari awal cukup mahal. Masa tanaman belum menghasilkan (TBM) itu panjang, selama 10 tahun. Namun kalau sudah ditanam, sagu bakal menjadi bisnis perkebunan yang abadi.
"Perseroan beruntung terjun ke usaha ini bukan dari nol, karena mengambil-alih perusahaaan sagu di Riau, tepatnya Kabupaten Meranti," katanya.
Keberuntungan yang didapat perusahaan tersebut, juga akan dinikmati perusahaan lainnya jika mampu melirik lahan sagu milik Lingga.
Hal itu juga akan sejalan dengan keinginan pemerintah daerah yang memfokuskan pola Green Investasi dalam menjemput Investor. (*)
Tags : petani sagu, hampar ladang sagu di daik lingga, harta karun sultan lingga yang abadi, sagu bisa atasi berbagai permasalahan ekonomi,