PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah, tetapi kemiskinan anehnya terjadi di negeri kaya.
"Melihat kemiskinan, selalu dibuat tertegun, prihatin, dan mengelus dada."
"Saat membaca atau mendengar berita di berbagai media massa tentang masih ada kemiskinan justru terjadi di negeri kaya [Provinsi Riau] yang dikenal diatas dan dibawah bumi menghasil minyak [sawit dan migas]," kata Larshen Yunus, Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] mengkhabarkan pagi ini, Jumat (7/7/2023).
"Kalau sekala negara, Indonesia peringkat 73 negara termiskin di dunia," sambung Larshen Yunus yang juga menjabat Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] I KNPI Provinsi Riau ini.
Mengintip orang miskin di negeri kaya seperti di Riau, kata Larshen membaca data yang ada; Persentase penduduk miskin di Riau September 2022 sebesar 6,84 persen yang telah terjadi dan mengalami peningkatan sebesar 0,06 persen poin terhadap Maret 2022 dan mengalami penurunan sebesar 0.16 persen poin jika dibandingkan dengan September 2021 [Badan Pusat Statistik/BPS Riau].
Sementara Pemprov Riau menyatakan angka kemiskinan di daerah itu mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir.
Gubernur Riau Syamsuar mengatakan pada periode 2021 angka kemiskinan daerah itu sebesar 7,00 persen, lalu kemudian turun menjadi sebesar 6,78 persen pada Maret 2022.
Artinya tingkat kemiskinan cenderung menurun dari 2016 hingga 2021, namun masih diatas 5 persen.
Kemiskinan dan pengangguran
Tetapi Larshen Yunus kembali melihat persoalan kemiskinan dan pengangguran masih menjadi sorotan berbagai kalangan, diperparah penduduk miskin dan angka pengangguran di Provinsi Riau tak lain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 lalu.
"Berbagai pertemuan sudah membahas permasalahan bidang kesehatan dan ketenagakerjaan dan kemiskinan ini di kalangan legislatif, tapi seakan tak menemukan jalan penyelesaian," ungkap Larshen.
“Dampak pandemi Covid terhadap derajat kesehatan masyarakat, angka kemiskinan, angka pengangguran seharusnya bisa diperangi bersama,” kata Larshen.
Ia pun mendorong Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi Riau diserahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan agar dijadikan BLK nasional.
Dengan harapan BLK tersebut dapat meningkatkan daya saing serta mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Riau.
Dia melihat dalam masa pandemi menyebabkan tingkat pengangguran meningkat dan menimbulkan permasalahan sosial, "maka BLK yang ada di Riau bisa menjadi BLK nasional, artinya biar ada peningkatan SDM daerah, agar nanti dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja di luar negeri bisa berdaya saing,” jelasnya.
“Pemerintah Provinsi Riau juga harus segera menyiapkan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan agar BLK bisa memenuhi standar setidaknya BLK nasional,” pungkasnya.
Menurutnya angka kemiskinan terus diklaim rendah, tetapi jika dilihat Indonesia secara keseluruhan masih peringkat 73 negara termiskin di dunia.
Dalam laporan ‘East Asia and The Pacific Economic Update October 2022’, Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis kemiskinan baru-baru ini. Basis perhitungan terbaru mengacu pada paritas daya beli (PPP) 2017.
Basis perhitungan terbaru, Garis kemiskinan ekstrem: US$2,15 per kapita per hari, atau Rp984.360 per kapita per bulan (kurs Rp15.216)
Batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower-middle income class): US$3,65 per kapita per hari, atau Rp1.666.152 per bulan.
Jika menggunakan standar terbaru Bank Dunia, 13 juta warga Indonesia yang tadinya masuk golongan menengah bawah berubah status menjadi golongan miskin, yakni dari yang awalnya berjumlah sekitar 54 juta jiwa menjadi 67 juta jiwa.
Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan BPS per Maret 2022 tercatat hanya di angka Rp505.469,00 per kapita per bulan. Sangatlah rendah dibanding ketentuan Bank Dunia.
Merujuk BPS pula, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta jiwa.
Jadi jika dilihat angka kemiskinan di Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.
"Kita selalu dibuat tertegun, prihatin, dan mengelus dada, saat membaca atau mendengar berita di berbagai media massa tentang kemiskinan di Indonesia," sebutnya.
"Tetapi setiap tahunnya angka kemiskinan selalu menjadi kenyataan pahit yang menyedihkan."
Jadi Larshen berkesimpulan kemiskinan lebih sering digunakan untuk sekadar untuk mendongkrak popularitas.
Bahkan data kemiskinan jangan-jangan dipolitisir dan “diplintir” untuk menaikkan pamor menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), sementara rakyat yang berkubang dalam lumpur kemiskinan tetap saja sebagai penderita atau korban.
Larshen lantas kembali berujar; “Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya....Terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada underdogs, orang-orang yang ditindas”. (*)
Tags : kemiskinan, orang-orang miskin, mengintip orang miskin di negeri kaya, riau, kemiskinan di riau, news,