Nasional   2025/11/11 16:51 WIB

Menhut akan Berikan 1,4 Juta Ha untuk Masyarakat Adat, Tapi Diragukan Jika Praktik Perampasan Tidak Dihentikan

Menhut akan Berikan 1,4 Juta Ha untuk Masyarakat Adat, Tapi Diragukan Jika Praktik Perampasan Tidak Dihentikan
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni

JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil menyatakan target pemerintah mengakui hutan adat seluas 1,4 juta hektare hanya dapat tercapai bila praktik perampasan hutan adat dihentikan.

Desakan ini muncul menyusul pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam forum United for Wildlife Global Summit dan High-Level Ministerial Roundtable di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5 November 2025.

Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) Torry Kuswardono menilai target itu tak akan berarti jika perampasan hutan adat terus terjadi.

“Percuma mengakui 1,4 juta hektare hutan adat, tapi proyek-proyek raksasa mencaplok tanah ulayat yang jauh lebih luas ketimbang angka itu,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Ahad, 9 November 2025.

Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kerajaan Pangeran dan Putri Wales itu, Raja Juli menyatakan Indonesia bakal mengalokasikan 1,4 juta hektare hutan untuk masyarakat adat dalam empat tahun ke depan.

Satuan Tugas Hutan Adat juga ditargetkan menetapkan 240 hutan adat seluas 3,9 juta hektare hingga 2029.

Menurut Torry, proyek negara seperti lumbung pangan atau food estate, serta hutan energi, menggusur wilayah adat di berbagai daerah.

Proyek food estate di Merauke menekan area tinggal suku Yei dan Malind Anim. Ada juga kriminalisasi warga Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menyoroti tumpang tindih antara wilayah adat dan kawasan konservasi yang membuat pemerintah daerah ragu mengakui Masyarakat Adat.

“Kondisi tersebut memicu beberapa pemerintah daerah jadi tidak confident mengakui wilayah adat dan Masyarakat Adat,” tuturnya.

Ia mencontohkan kasus di Colol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Di sana perkebunan kopi rakyat tumpang-tindih dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Ruteng.

Konflik berkepanjangan akibat ketiadaan rekognisi di wilayah itu bahkan menewaskan enam petani pada peristiwa “Rabu Berdarah” 2004.

Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bidang Politik dan Hukum Erasmus Cahyadi Terre menilai target 1,4 juta hektare jauh dari kata cukup.

Saat ini, ujar dia, terdapat 33 juta hektare wilayah adat yang teregistrasi dalam sistem Badan Registrasi Wilayah Adat.

Untuk mengakui wilayah itu, masih butuh komitmen dan sistem kerja terpadu lintas kementerian, termasuk antara regulator pusat dan daerah.

“Selain itu, pemerintah perlu mengubah regulasi yang selama ini telah terbukti menghambat pengakuan masyarakat adat dan hutan adat,” tutur Cahyadi.

Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante juga mengatakan pengetahuan masyarakat adat tidak diakui selagi hutan mereka terus digunduli.

Dia mendesak pemerintah berhenti menggunakan isu masyarakat sebagai alat diplomasi dalam negosiasi politik dan pendanaan internasional.

“Langkah paling mendesak adalah mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk mengakhiri sistem pengakuan bersyarat,” kata dia. (*)

Tags : Menhut, Raja Juli Antoni, Hutan Adat, Tanah Ulayat,