Pemerintah terus mendata perusahaan perusak sungai, menanam di luar izin HGU kebun di kawasan kesatuan hidrologi gambut serta kubah gambut dan lindung gambut.
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Aktivis Sahabat Alam Rimba [Salamba] menyatakan, jika merujuk pada regulasi, yaitu Peraturan Menteri [Permen] PUPR 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah (PP) 38 Tahun 2011, harusnya tidak ada perkebunan yang menempel di sempadan sungai.
"Kebun sawit kini banyak tumbuh di lokasi rawa gambut tepatnya di sempadan sungai yang tidak lestari dan merusak lingkungan."
"Masih ada sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, terutama di sekitar sungai yang ada di Riau ini. Artinya itu dilarang," ungkap Ir Marganda Simamora SH M.Si, dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA], menambahkan kalau hal itu tak dipungkiri cepat atau lambat akan berdampak terhadap kondisi sungai, terutama di Riau ini.
Ia lantas tak merasa khawatir, karena Bidang Perekonomian, SDA , insfrastruktur dan kewilayahan pada Beppeda dan Litbang Riau terkait hal itu tetap ada pengawasan, "pasti itu dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui instansi terkaitnya," sebutnya, Kamis (15/6) lalu.
Namun dalam hal penindakan, menurutnya sepertinya masih belum dilakukan.
“Nah, itu yang menindak itu siapa? Tentunya perlu adanya sinergi dan kerja di lintas sektor. Karena yang punya kewenangan menindak ada tersendiri,” kata Ganda.
"Itu juga yang masih menjadi PR [pekerjaan rumah] bagi kita untuk menentukan. Seperti apa prosedur dan lainnya," sebutnya.
Menurutnya, pemerintah daerah bukan kurang tegas terhadap pelaku perkebunan. Baik itu dilakukan oleh perorangan ataupun oleh pihak pengusaha perkebunan sawit.
Diakuinya, hal tersebut [sawit di sepadan sungai] tidak dibenarkan didalam undang undang lingkungan.
"Apabila sudah ditanam, maka secara bertahap harus dirubah, jika perusahan yang menanam maka juga bertanggung jawab dengan kondisi itu,” katanya.
"Harus ada komitmen, memang dari sisi perencanaan, jika itu kondisinya maka secara bertahap harus dikembalikan kondisinya," imbuh dia.
Menurutnya, pemerintah sendiri, telah mengatur terkait dengan aturan-aturan pembukaan perkebunan. Termasuk jarak antara areal kebun yang boleh ditanam dengan sepadan sungai.
Para aktivis lingkungan bersama para pencinta alam terus memberikan perhatian khusus terhadap kondisi sungai-sungai yang ada di Riau, khususnya di sempadan atau bantaran sungai yang saat ini telah ditanami kelapa sawit.
Masih adanya sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, bagi warga Desa Bumi Mulya, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan-Singingi [Kuansing], yang terutama tinggal di aliran Sungai Teso [Anak Sungai Kampar], meminta kepada aparat terkait agar menertibkan tanaman sawit disepanjang aliran sungai yang diduga milik PT Citra Riau Sarana [CRS].
"Akibat sawit yang berjajar ditepian sungai itu membuat warga disini menderita," kata Herman [35] warga Desa Bumi Mulya dalam pengakuannya ini.
"Tanaman sawit milik perusahaan itu di sekitar daerah aliran sungai, menimbulkan banyak sekali kerugian lingkungan bagi warga setempat. Salah satu kerugian yang timbul adalah soal tata air yang rusak," sebutnya.
Herman tak menampik, kalau hujan turun terus menerus membuat akses jalan digenangi air, yang dalamnya hingga sepinggang manusia dewasa.
"Warga disini kebanyakan petani, tidak akan bisa melakukan kegiatan berkebun karena genangan air yang dalam itu," sebutnya.
"Kami tidak sanggup menyelam untuk melewati akses jalan. Airnya sampai ke pinggang, bagaimana kita mau memupuk atau memanen sawit," ujar Herman.
Sejauh ini pihak PT CRS belum memberikan penjelasan soal tudingan warga tumbuhan sawitnya berada ditepi sungai teso.
Tetapi memang diakui kelapa sawit yang ditanam dekat sungai itu sangat subur karena menyerap air.
Sawit suka air, dia bukan menyimpan tapi menyerap. Sekarang apa yang terjadi di daerah ini ketika musim hujan kerap terjadi banjir dan di saat kemarau kering kerontang.
Tetapi seperti pernah disebutkan Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Pelalawan, Baharuddin SH yang menekankan, pihak perusahaan wajib menghijaukan Daerah Aliran Sungai [DAS].
"Kalau tidak dilakukan penghijauan akibatnya memengaruhi RSPO ada yang wajib ditaati."
Jadi menurutnya, pelarangan menanam sawit atau tumbuh-tumbuhan yang menyerap air di daerah bufferzone sesuai dengan sempadan sungai sudah diatur dalam PP tersebut yakni 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai kecil.
Kembali disebutkan Ganda Mora yang mengakui ada beberapa kawasan sesuai ketentuan terkait sungai. Yakni kawasan perkotaan, kawasan permukiman, dan non permukiman.
“Kalau non permukiman panjangnya tetap sesuai sungai besar atau lebar 100 meter, 50 meter dan 25 meter itu harus diberlakukan. Kemudian juga disesuaikan dengan kedalaman sungai, saya kurang hapal,” sebutnya.
"Jika sungai besar, untuk non permukiman jaraknya 100 meter, sementara untuk permukiman, perkotaan dan perdesaan, tergantung."
"Jika bertanggul jaraknya 3 meter, kalau tidak bertanggul maka kembali dilihat kedalamannya."
“Itu sudah ada rumusannya, dan itu disesuaikan. Pastinya jika wilayah permukiman dan tidak bertanggul, itu tergantung kedalaman, ada yang 10 meter, 15 meter dan 30 meter. Pastinya tidak dibenarkan jika pohonnya langsung menjuntai ke sungai,” pungkasnya.
Masih ada sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, menurutnya dapat merugikan daerah, provinsi, negara maupun di mata international.
"Nanti dinilai pihak international tidak lestari, merusak gambut, diduga adanya pelanggaran HAM, serta produksi jadi melimpah,” kata Ganda.
Dengan aksi penanaman tersebut, kata Ganda dapat dinilai mendukung keberadaan perkebunan sawit Indonesia.
“Seharusnya, Presiden Jokowi melakukan konversi perkebunan sawit rakyat dengan tanaman yang lebih lestari seperti kakao.”
"Dengan memproduksi terbatas atau tidak melimpah, dari perkebunan yang lestari dan bebas persoalan, justru akan meningkatkan harga jual sawit dari Indonesia," sebutnya menambahkan saat ini pemerintah tengah berupaya melakukan restorasi lahan gambut dan menjaga hutan yang tersisa.
Jadi pemerintah juga mendukung upaya moratorium hutan primer dan lahan gambut yang sudah berjalan enam tahun dan terus mendorong perbaikan persoalan perkebunan sawit ini untuk menuntaskannya.
"Daerah Aliran sungai [DAS] harus dilestarikan dan tetap di tumbuhi hutan minimal 100- 500 meter untuk menjaga kestabilan dan kesibangan air, agar daya tampung terhadap zat pencemar tinggi dimana hutan atau kayu berfungsi sebagai tata kelola air tetap terjaga dan sepcies flora dan fauna tetap lestari serta melestarikan tumbuhan dan hewan endemik," katanya.
Menurutnya, pelestarian Aliran Daerah Sungai juga berfungsi untuk menyimpan air sehingga pada waktu hujan tidak menyebabkan banjir di hilir yang mengakibatkan bencana alam.
"Kami dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] menyampaikan bila ada penggundulan DAS maka agar segera di tertibkan dan diproses secara hukum oleh APH, aliran sungai harus tetap terjaga dan dilestarikan," pintanya.
Salamba lebih jauh berharap Presiden Jokowi mendorong perbaikan persoalan perkebunan sawit di Indonesia, khususnya di Riau.
Misalnya, penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan, penegakan hukum terhadap perusahaan sawit yang dinilai lalai menjaga kebunnya selama kebakaran gambut dan lainnya.
“Selama ini berkebun sawit, tapi dapat melukai masyarakat yang menderita karena kehadiran perkebunan sawit. Sebab, tidak semua persoalan terkait sawit sudah terselesaikan di Riau,” katanya.
“Jika merujuk pada regulasi, yaitu Peraturan Menteri [Permen] PUPR 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah [PP] 38 Tahun 2011, harusnya tidak ada perkebunan yang menempel di sempadan sungai. Artinya itu dilarang," ungkapnya lagi.
Ganda memastikan, cepat atau lambat akan berdampak terhadap kondisi sungai, terutama di wilayah Riau.
Disinggung kondisi sungai yang demikian, dirinya tak memungkiri harus ada ketegasan. Sebab kata Ganda, diakui hal tersebut [sawit di sepadan sungai] tidak dibenarkan.
Apabila sudah ditanam, maka secara bertahap harus dirubah, dalam hal ini dirinya tegas menyebutkan jika perusahan yang menanam maka juga bertanggung jawab dengan kondisi itu.
“Harus ada komitmen, memang dari sisi perencanaan, jika itu kondisinya maka secara bertahap harus dikembalikan kondisinya,” imbuh dia.
Seiring kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam kawasan bisnis perkebunan sawit ini, Komisi II DPRD Riau yang membidangi perkebunan juga menyoroti akibatnya menjadi penyebab anjloknya harga sawit di Riau.
“Ulah pengusaha sawit yang nakal dan tidak taat lingkungan menyengsarakan petani dan masyarakat, hancurnya harga dan pencekalan CPO oleh Uni Eropa dan Amerika merupakan murni kesalahan pengusaha sawit yang tidak taat aturan dan merusak lingkungan. Sehingga imbasnya masyarakat kecil karena harga tandan buah segar jadi murah,” kata Anggota Komisi II DPRD Riau Sugianto.
Menurutnya, kondisi ini membuat petani sawit di Riau menjerit. Sebab harga sawit belakangan terus turun.
"Industri Crude Palm Oil [CPO] kelapa sawit Indonesia sedang menghadapi masalah akibat pencekalan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat."
Pecekalan tidak terlepas dari ulah sejumlah pengusaha nakal perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Provinsi Riau sebagai perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, kata Sugianto, memiliki peran dan dampak atas ditolaknya CPO Indonesia di pasar Eropa dan Amerika.
Politisi PKB ini mengatakan, penjelasan Wakil Ketua Kamar Dagang Uni Eropa [Eurocham] di Indonesia, Wichard Von Harrach, pencekalan minyak kelapa sawit Indonesia karena usaha sawit didapati masih merusak lingkungan.
“Sama-sama kita tau beberapa regulasi yang ada tidak pernah didengar dan ditaati oleh pengusaha perkebunan. Hal ini harus diseriusi oleh pemerintah terutama Provinsi Riau sebagai lahan perkebunan terluas,” sebut dia.
Pihak DPRD Riau, menurutnya, mulai tahun 2015 yang lalu sudah mendata perusahaan perusak sungai, menanam di luar izin HGU.
Kemudian kebun di kawasan kesatuan Hidrologi Gambut [KHG] serta kubah gambut dan lindung gambut sesuai Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017.
“Dari hasil data, banyak perusahaan terlibat merusak lingkungan,” sebutnya.
Kondisi ini juga diperkuat dari hasil rilis Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] ada 1,2 juta hektar lahan illegal digarap oleh beberapa perkebunan sawit di Riau.
“Dari temuan-temuan di atas, saya kira punya andil penyebab rusaknya harga CPO karena ulah nakal perusahaan perkebunan,” imbuhnya.
Pihaknya mendesak Pemprov Riau untuk melakukan aksi nyata yang tegas dan serius untuk menyelamatkan petani sawit di Riau.
Salah satunya adalah dengan membentuk tim terpadu dan menganggarkan pengukuran HGU.
“Kalau Gubernur tidak serius membuat tim dan menganggarkan pengukuran HGU, maka yang kasihan adalah masyarakat Provinsi Riau. Jadi dalam menghadapi ini, jalan satu-satunya bentuk tim terpadu,” ujarnya.
Tim terpadu nantinya dilibatkan mulai dari kejaksaan, kepolisian, BPN, Dinas Perkebunan, Kehutanan, PPNS, Dirjen Pajak, DPRD, Bupati/Walikota, Kementerian LHK, DPR RI, serta LSM masyarakat luas.
“Pemprov juga segera menganggarkan di APBD untuk mengukur ulang dan mengeksekusi lahan di luar HGU dan memetakan kawasan gambut. Harus diberi sanksi kepada perusahaan nakal supaya masalah CPO dapat segera pulih,” tambahnya.
Dan tidak kalah penting adalah adanya kerjasama perusahaan. Pemerintah harus teliti mengeluarkan sertifikat ISPO dan RSPO dengan melihat rekam jejak perusahaan secara periodik.
“Jika kita sudah bisa memulihkan perizinan dan kerusakan lingkungan, maka kita bisa menjawab tudingan Uni Eropa dan Amerika. Sehingga CPO kita bisa diekspor lagi. Ini harus ada ketegasan dari setiap instansi,” pungkasnya. (*)
Tags : menjaga rawa gambut, pohon sawit di sempadan sungai, serbuan sawit di pinggir sungai, sawit dipinggir sungai tidak lestari, lingkungan, alam,