
JAKARTA - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan defisit APBN masih sesuai prediksi, tetapi sejumlah ekonom menyebut hal ini "mengkhawatirkan" sehingga program-program seperti Coretax dan Makan Bergizi Gratis perlu dievaluasi.
Pada Kamis (13/03), Sri Mulyani Indrawati mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai Februari 2025 mengalami defisit Rp31,2 triliun atau sebesar 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit APBN terjadi apabila pengeluaran negara lebih besar dari pendapatannya.
Sebagai perbandingan, pada Februari 2024, APBN tercatat mengalami surplus Rp 22,8 triliun atau setara 0,10 %, seperti dilansir Kompas.com.
Namun, Menkeu mengatakan angka defisit ini masih sesuai dengan prediksi.
"Defisit APBN 2025 didesain Rp616,2 triliun. Jadi, defisit Rp31,2 triliun masih dalam target APBN, yaitu 2,53% terhadap PDB atau Rp616,2 triliun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan di Jakarta.
Konferensi pers APBN ini dilakukan menyusul pertemuan antara Sri Mulyani dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan di Jakarta pada Rabu (12/03).
Sejumlah media sebelumnya menggarisbawahi pengumuman kinerja APBN biasanya dilakukan setiap bulan—termasuk saat pandemi COVID-19.
Namun, konferensi pers pada Kamis (13/03) adalah yang pertama sejak Januari 2025. Selain itu, dokumen APBN yang terakhir juga sempat ditarik dari situs resmi Kementerian Keuangan pada Rabu (12/03).
Sri Mulyani mengatakan tidak diadakannya pengumuman kinerja APBN pada bulan Februari lalu adalah karena data saat itu masih "sangat belum stabil karena berbagai faktor".
Mengapa defisit APBN kali ini disebut 'mengkhawatirkan'?
Walaupun Menkeu mengatakan defisit ini masih berada dalam target APBN, sejumlah pakar ekonomi justru melabelinya sebagai "tanda kekhawatiran".
Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan defisit APBN pada Februari ini adalah yang pertama kalinya dalam beberapa tahun.
"Pada tahun-tahun sebelumnya—2024, 2023, dan 2022—realisasi APBN periode Februari selalu surplus. Ini baru pertama kali per akhir Februari sudah defisit," ujar Andri kepada BBC News Indonesia pada Kamis (13/03).
Andri memprediksi kondisi ini kemungkinan besar akan terus terus berlanjut jika program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membebani APBN terus berlanjut.
"Defisit APBN akan sangat mungkin menyentuh batas pelanggaran UU yakni di 3% jika kondisi dan arah kebijakan pemerintah terus berlangsung hingga akhir tahun," ujarnya.
Andri merujuk ke batas defisit 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sejak diterbitkan, batas itu tidak pernah dilanggar kecuali pada masa pandemi COVID-19.
Sementara Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, memperingatkan penerimaan pajak mengalami "penurunan tajam".
"Hingga Februari 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6% dari target APBN. Capaian ini anjlok 30,19% dibandingkan penerimaan pajak pada Februari 2024 yang mampu mencapai Rp269,02 triliun," ujarnya.
Baik Achmad maupun Andri menyebut salah satu penyebab turunnya penerimaan dari sektor pajak adalah Coretax dan hal ini harus segera dievaluasi pemerintah.
Apa itu Coretax dan mengapa ini disebut menurunkan pendapatan pajak?
Coretax adalah sistem inti administrasi perpajakan yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan diluncurkan pada 1 Januari 2025.
Sistem ini dirancang untuk memodernisasi dan mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan di Indonesia.
Meskipun begitu, banyak wajib pajak dilaporkan kesulitan dalam mengakses dan menggunakan sistem Coretax.
Seperti dilaporkan Tempo pada 25 Februari 2025, para wajib pajak mengeluhkan berbagai masalah Coretax mulai dari masalah teknis seperti OTP sampai pengisian e-faktur yang rumit.
"Persoalan penerimaan pajak tidak dapat dilepaskan dari implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax," ujar Achmad.
"Sistem yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi perpajakan nasional ini justru menjadi hambatan utama dalam proses pemungutan pajak dua bulan terakhir."
Menurut Achmad, tidak berfungsinya Coretax dengan baik akan mempengaruhi kelangsungan fiskal negara.
Dia mengingatkan program-program prioritas pemerintah akan terhambat apabila penerimaan pajak tidak bisa dikumpulkan secara maksimal.
"Pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali atas roadmap Coretax, melibatkan audit independen terhadap kelemahan sistem, dan menyiapkan solusi sementara, seperti reaktivasi sebagian layanan manual atau sistem darurat, agar penerimaan pajak bisa tetap berjalan," ujarnya.
Achmad menekankan pentingnya audit menyeluruh Coretax dengan melibatkan BPK, KPK, dan lembaga independen.
Sementara Andri mengatakan Coretax adalah "permasalahan administratif" yang menyebabkan penerimaan pajak menjadi amburadul.
"Dampaknya signifikan terhadap setoran pendapatan yang harusnya sudah tercatat sejak Januari lalu," ujar Andri.
"Jika [Coretax] tidak bisa diselesaikan artinya pemerintah memang mengalami krisis administrasi."
Dalam laporan kinerja APBN pada Kamis (13/03), Kemenkeu tidak menyebut sistem Coretax sebagai pemicu lambatnya penerimaan pajak hingga Februari 2025, sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara.
Realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun atau turun dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar yakni Rp269,02 triliun.
Menurut Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, perlambatan itu merupakan suatu hal yang normal.
"Tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja," kata Anggito.
Anggito menyebut ada dua faktor yang memicu perlambatan penerimaan pada Januari dan Februari 2025 yaitu penurunan harga komoditas seperti batu bara dan nikel, dan dampak kebijakan administratif seperti penerapan tarif efektif rata-rata (TER) pajak penghasilan (PPh) 21 sejak Januari 2024.
Menurut Anggito, penerapan TER itu menimbulkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun pada 2024 yang kemudian diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025.
Bagaimana dengan program Makan Bergizi Gratis dan kebijakan efisiensi anggaran?
Andri dari Bright Institute menyoroti pemangkasan anggaran yang didasari dari Inpres No. 1 Tahun 2025 terkait dengan laporan defisit APBN ini.
"Nyatanya [pemangkasan anggaran] bukan berlaku sebagai penghematan atau 'efisiensi' namun realokasi," ujar Andri.
"Presiden sendiri sudah menyampaikan rencananya agar dana yang didapat dari pemangkasan anggaran digunakan untuk mendanai Danantara dan program Makan Bergizi Gratis untuk 82,9 juta penerima di tahun ini juga."
Menurut Andri, program Makan Bergizi Gratis (MBG) saja diprediksi memerlukan setidaknya Rp400 triliun, jauh lebih tinggi di atas dari anggaran awal sebesar Rp 71 triliun.
"Dengan kata lain memerlukan tambahan anggaran yang lebih besar dari target pemangkasan 'putaran pertama' yang diinstruksikan Presiden," ujar Andri.
Andri menyangsikan pemangkasan anggaran akan kembali dilakukan lagi mengingat munculnya keberatan dari kementerian dan lembaga.
Di sisi lain, dia mengkhawatirkan utang negara akan semakin meningkat untuk membiayai program-program pemerintah.
Apalagi, menurut Andri, program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) justru kemungkinan akan bertambah sesuai janji-janji kampanye Presiden Prabowo seperti swasembada energi dan pangan "yang akan memerlukan anggaran apabila direalisasikan".
"Dalam APBN 2025 saja, porsi belanja bunga utang sudah memakan 20,53% dari seluruh belanja pemerintah pusat," ujarnya,
Sementara itu, Achmad dari UPN Veteran mengatakan pendapatan negara merupakan "sinyal keras" bahwa fondasi fiskal Indonesia sedang menghadapi tekanan berat.
"Dalam kondisi penerimaan pajak yang anjlok, pemerintah harus mulai menyusun ulang skala prioritas belanja," ujarnya.
"Program-program populis yang digagas pemerintahan baru, seperti makan siang gratis, meskipun memiliki muatan populis, harus dikaji ulang dalam kerangka keberlanjutan fiskal."
Achmad menekankan pemerintah perlu memprioritaskan belanja pada program yang memberikan dampak langsung pada rakyat dan pemulihan ekonomi.
"Belanja yang tidak mendukung pertumbuhan atau hanya bersifat jangka pendek dan politis harus dikaji ulang," tandasnya.
"APBN 2025 harus menjadi titik balik menuju fiskal yang sehat, bukan awal dari krisis fiskal baru."
Mengapa pemaparan APBN kali ini menjadi sorotan publik?
Sejumlah media sebelumnya menyoroti tindakan Kementerian Keuangan yang menarik kembali dokumen data penurunan penerimaan pajak pada kinerja APBN Januari 2025 dari situs resminya.
Data yang memperlihatkan penurunan penerimaan pajak dilaporkan tertulis dokumen kinerja APBN Januari 2025 yang sempat diunggah Kementerian Keuangan pada Rabu (12/03) di situs resmi mereka.
Sejumlah media seperti Kompas.com dan Reuters menyebut dokumen tersebut tidak dapat diakses tidak lama setelah diunggah.
Perwakilan dari Kementerian Keuangan mengonfirmasi penarikan dokumen tersebut dan mengatakan konferensi pers yang akan dipimpin Sri Mulyani pada Kamis (13/03) hari ini akan menjelaskannya secara lebih komprehensif.
Selain data yang sempat ditarik tersebut, laporan publik mengenai kinerja dan realisasi APBN 2025 ini sebetulnya sempat tertunda sekitar satu bulan.
Menurut Kompas.com, konferensi pers APBN digelar pada awal Januari 2025 untuk untuk realisasi APBN 2024.
Setelahnya Kementerian Keuangan masih belum melaporkan realisasi APBN 2025 untuk periode Januari dan Februari 2025.
Pada Kamis (13/03), Menkeu Sri Mulyani membuka paparannya dengan menjelaskan konferensi APBN pada bulan Februari tidak ada karena data saat itu masih "sangat belum stabil karena berbagai faktor".
"Banyak pertanyaan dari teman-teman media, kenapa bulan Februari tidak dilakukan [pemaparan] untuk bulan Januari," ujar Sri Mulyani.
"Kita pertimbangkan untuk menunggu sampai data cukup stabil sehingga kami bisa memberikan suatu laporan [...] dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan.
"Istilahnya mangga dengan mangga, sehingga tidak terjadi salah interpretasi."
Penerimaan negara dilaporkan turun, apa maknanya?
Berdasarkan data yang dirilis pada Selasa (11/03) malam, pendapatan Indonesia dilaporkan turun 28,3% secara tahunan (year-on-year) menjadi Rp157,3 triliun pada bulan Januari, seperti dilansir kantor berita Reuters.
Reuters melaporkan pemerintah mencatatkan defisit anggaran pertama untuk bulan tersebut sejak puncak pandemi empat tahun lalu dengan tingkat belanja yang kurang lebih sama pada bulan Januari.
Secara keseluruhan, data yang beredar jauh ini menunjukkan bahwa di awal tahun 2025, kondisi keuangan negara menghadapi tantangan dengan adanya penurunan baik dalam penerimaan maupun belanja negara.
Kompas.com melaporkan berdasarkan dokumen APBN edisi Februari yang sempat diakses menunjukkan adanya penurunan dalam penerimaan dan belanja negara.
Realisasi pendapatan negara hingga 31 Januari 2025 tercatat sebesar Rp157,32 triliun, yang merupakan 5,24 persen dari target tahunan sebesar Rp3.005,13 triliun.
Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 28,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dimana realisasi mencapai Rp219,31 triliun.
Penurunan ini didorong oleh penurunan penerimaan perpajakan, yang hanya mencapai Rp115,18 triliun atau 4,62 persen dari target.
Angka ini juga menunjukkan penurunan tajam sebesar 34,5 persen dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp175,80 triliun.
Penerimaan perpajakan ini terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp88,89 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp26,29 triliun.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp42,13 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp9,8 miliar.
Dari sisi belanja negara, realisasi hingga 31 Januari 2025 adalah sebesar Rp 180,77 triliun, atau 4,99 persen dari pagu anggaran Rp 2.701,44 triliun.
Angka ini juga menunjukkan penurunan sebesar 1,84% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 86,04 triliun, yang juga mengalami penurunan sebesar 10,75% dibandingkan tahun sebelumnya.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta mengatakan penerimaan pajak Indonesia pada Januari 2025 yang hanya mencapai Rp88,89 triliun atau hanya 4,06% dari target tahunan "menjadi alarm keras bagi stabilitas fiskal Indonesia".
"Angka ini turun drastis hingga 41,86% dibandingkan periode yang sama tahun 2024, dan bahkan menjadi penerimaan Januari terburuk dalam lima tahun terakhir, jika dibandingkan persentase terhadap target APBN tahunan," ujar Achmad, Kamis (13/03).
"Bila di tahun-tahun sebelumnya, rata-rata penerimaan pajak Januari mampu menyumbang 7,5% hingga 9,2% dari target setahun, maka posisi 2025 yang baru 4,06% menunjukkan potensi kekurangan penerimaan yang sangat serius."
Menurut Achmad, apabila tren ini berlanjut, maka penerimaan negara bisa mengalami shortfall hingga Rp300 hingga Rp400 triliun yang otomatis menggembungkan defisit. (*)
Tags : Ekonomi, Politik, Prabowo Subianto, Indonesia, Pemilu 2024,