SEJARAH - Gedung tua bekas gudang rempah-rempah di masa kolonial Belanda terlihat. Di ruangan agak temaram, yang dihiasi jendela raksasa dan atap nan tinggi, juga terlihat ada lima atau enam orang tengah menikmati sajian menu makan siang.
Salah-seorang manajer Historia food and bar, melihat sejumlah ruangan di gedung yang terletak di kawasan kota tua Jakarta. "Dulu memang tempatnya sedikit angker," katanya dirilis BBC News Indonesia.
"Kalo malam, ngeri-lah kalo datang ke sini," kata Radika lagi yang membuka pembicaraan soal dirinya membuka usaha di kawasan kota tua.
Tapi, imbuhnya cepat-cepat, julukan 'seram' itu berangsur-angsur hilang dari ingatan orang banyak, ketika kawasan kota tua Jakarta digenjot menjadi kawasan kunjungan wisata utama. Setelah melihat langsung lokasinya, lanjutnya, bosnya kemudian tertarik menyewa gedung itu kira-kira satu setengah tahun lalu. "Di sini lahan menarik buat kita membangun usaha restoran," kata Dika –panggilannya– mencoba mengenang.
Dika mengatakan, kecuali menambahkan pernik-pernik hiasan, pihaknya sama-sekali tidak mengubah wujud fisik bangunan cagar budaya tersebut. "Ubin dan dindingnya, juga tiang-tiangnya, masih asli," katanya.
Gedung-gedung tua ambruk
Kira-kira seratus meter dari restoran itu, sebuah gedung tua yang nyaris runtuh tengah diperbaiki. Lokasinya persis di belakang gedung Jasindo –baru selesai direnovasi dan terlihat lebih mentereng. Saya juga melihat setidaknya dua gedung yang nyaris ambruk terlihat sedang direnovasi. Itulah gedung Dharma Niaga dan Kerta Niaga. Di depan gedung ini, yang ditutup pagar seng, ada spanduk bertuliskan A project by Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC).
JOTRC, sebuah konsorsium swasta, didirikan sekitar tiga tahun lalu oleh beberapa orang yang merasa prihatin terhadap upaya pengembangan kawasan kota tua Jakarta yang dikesankan 'berjalan di tempat'. Akibat dilamun waktu, sebagian gedung tua bersejarah di kawasan kota tua mengalami kerusakan dan sebagian ambruk. Inilah kenyataan pahit yang menjadi keprihatinan "tokoh masyarakat dan pengusaha" yang berada di balik pendirian JOTRC.
Dalam temuan mereka, faktor penyebab macetnya upaya revitalisasi kawasan kota tua Jakarta karena sebagian besar pemilik gedung-gedung cagar budaya itu adalah individu dan BUMN. Bisa ditebak, jika diurut-urut, keengganan sang pemilik untuk merawat bangunan tua adalah soal duit. Bukan rahasia lagi biaya perawatan bangunan tua yang berusia tahunan bisa menguras isi dompet. ,
Masalahnya, mereka diwajibkan merawatnya dan dilarang keras menjual atau mengubah bangunannya. Di sinilah, JOTRC kemudian "mengembangkan cara-cara inovatif untuk menghubungkan sektor swasta dengan pemerintah DKI Jakarta". "Bagaimana membuat model kerja sama bisnisnya. Jadi gedung-gedung itu kita restorasi, itu kerjasama dengan mereka (menyewa gedungnya) dalam jangka waktu 20 tahun," papar Yayat Suyatna, Project manager JOTRC.
Ketika mengelilingi sudut lain kawasan kota tua, mata saya tertumbuk pada sebuah gedung kuno dua lantai yang sepertinya baru saja direnovasi. Cantik sekali, gumam saya. Dan, hati saya seperti berbunga-bunga, karena gedung bercat putih itu telah disulap menjadi sebuah kafe yang khusus menjual kopi. Padahal, saya masih ingat, dulunya bangunan itu tidak terawat. Saya pun penasaran! Beruntung, saya dapat bertemu pemiliknya ketika saya masuk ke dalam gedung tersebut. Namanya Heri Setiadi, pemilik Aroma Nusantara– nama warung kopi itu. "Inilah yang saya impikan," kata Heri Setiadi saat pertama kali ditunjukkan bangunan yang dulu milik perusahaan Rotterdam Llyod.
Akhir tahun lalu, JOTRC menghubunginya dan menawarkan gedung tersebut agar 'difungsikan'. Heri langsung mengiyakan. "Sangat sesuai dengan apa yang saya impikan yaitu coffee shop dan museum kopi," ujarnya dengan mata berbinar. Walaupun siang itu kafe itu terlihat lengang, namun menurutnya tetap 'menjanjikan' karena terletak di jalan raya (jalan Kunir) dan "bus-bus turis biasanya berhenti di depan."
"Ini peluang, karena kalau (kota tua) sudah ramai, kita enggak bisa masuk. Kalau sudah bagus, kita enggak bisa masuk sini," Heri berkata sambil terkekeh.
Dia meyakini program revitalisasi kota tua -yang dilakukan JOTRC-telah membuahkan hasil. "Saya melihat langsung adanya perubahan". Bagaimanapun, keberadaan warung kopi milik Heri itu sesuai impian orang-orang yang tergabung dalam JOTRC yaitu menghidupkan kegiatan yang ada di dalam bangunan tua (hasil renovasi). "Sehingga kehidupan ekonomi dapat membantu kelangsungan bangunan," demikian keterangan JOTRC dalam situs resminya.
Yayat Suyatna, project manager JOTRC, mengatakan pihaknya tidak menginginkan masyarakat hanya dapat melihat gedung itu telah direnovasi. "Tapi gedung-gedung itu harus dapat dimanfaatkan, seperti di Belanda yang bisa digunakan sebagai acara konferensi atau pertunjukan. Intinya dapat menunjang turisme," jelasnya.
Salah seorang pemandu wisata (tour guide) di warung kopi itu. Dwi Montero, demikian namanya, mengaku telah beberapa kali mengantar turis asing ke kafe tersebut. "Kebanyakan turis mengatakan 'itu kok gedung-gedung tidak terawat ya'. Mungkin mereka gembira ketika menemukan ada gedung yang sudah diperbaiki," kata Dwi.
Dwi juga mengatakan, semenjak dikenalkan program baru revitalisasi kota tua, masalah keamanan relatif dapat diatasi. "Sampai malam pun, parkir di sini aman-aman aja," akunya.
Empat gedung telah direnovasi
Pada Maret tahun lalu, JOTRC telah menjalin kerja sama untuk penyewaan dengan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), pemilik sebagian besar gedung tua di kawasan kota tua Jakarta. Saat itu dikatakan ada sedikitnya ada 17 aset gedung tua milik PT PPI yang akan disewa dan direvitalisasi oleh JOTRC, di antaranya gedung Toko Merah, Menara Kembar dan Kerta Niaga. "Perjanjian sewa menyewa ini senilai Rp112 miliar selama 20 tahun, nantinya ada beberapa gedung yang akan kami revitalisasi," kata Presiden Direktur Jakarta JOTRC, Lin Che Wei, kepada media, usai penandatanganan kerja sama.
Sebagai tindak lanjut, kawasan kota tua Jakarta kemudian didaftarkan JOTRC sebagai nominasi Warisan budaya dunia UNESCO mewakili Indonesia. Dan setelah sekitar setahun setelah kontrak kerjasama, Yayat mengaku pihaknya sudah merenovasi empat gedung tua di kawasan kota tua Jakarta. Selain gedung kantor pos di depan Museum Fatahillah, JOTRC telah merenovasi gedung Jiwasraya di jalan Pintu Besar Timur, gedung Rotterdam Llyod, serta yang terakhir bekas gedung apotik Chung Hwa di kawasan Glodok. Pertengahan Desember 2015 lalu, bangunan bekas apotik yang berdiri pada 1928 itu telah selesai direnovasi. Terletak di sebelah barat Pasar Glodok, bangunan itu 'disulap' menjadi kedai teh (tea house).
Kisah renovasi apotik Chung Hwa
Menjelang sore, saya mendatangi gedung tersebut, dan terlihat beberapa tukang tengah merapikannya. Puluhan kursi dan meja tengah disiapkan di dalamnya. Saya kemudian menghubungi arsitek Ahmad Djuhara, yang bersama istrinya, Wendi Djuhara, terlibat dalam revitalisasi gedung itu. "Saya menerima penugasan ini, dengan diberikan bangunan yang sudah hancur. Jadi, tidak kelihatan lagi jejaknya, kecuali satu fasad di bagian jalan Pancoran Barat," kata Ahmad.
Ketika memulai renovasi, dirinya mengaku dihadapkan masalah besar yaitu sebagian bangunan itu "terpotong oleh pelebaran jalan". "Maka kami mencoba mengembalikan ke proporsi yang lama, tapi tidak berhasil. Jadi kita sedapat mungkin mendekatilah proporsi lama yang kami dapatkan dari foto," paparnya.
Karena dihadapkan berbagai keterbatasan ("termasuk bujet," katanya), pihaknya terpaksa 'berkompromi'. "Dengan waktu yang ada, kami membongkar sesedikit mungkin dan itu tidak sempurna," aku Ketua umum Ikatan arsitek Indonesia, IAI ini. "Jadi," lanjut arsitek alumni Universitas Katholik Parahyangan, Bandung ini, "untuk sebuah kerja yang seberat itu saya hanya bilang itu hasil optimal yang bisa kami dapatkan. Dan saya bisa bilang ini bukan hasil yang sempurna."
Ahmad Djuhara menambahkan: "Kami masih berharap, masih bisa menyempurnakan bangunan itu. Masih banyak dendam untuk membuatnya lebih baik". (*)
Tags : Gedung tua, Jakarta, Menyelamatkan Kota Tua, Masa Kolonial Belanda ,