
WALAUPUN komputer dan ponsel pintar kini menjadi alat utama untuk menulis, mesin tik masih berperan di Amerika Serikat.
Para pelanggan yang membawa mesin tik tua nyaris tiap hari masuk ke toko milik Mike Marr di Pawtucket, Rhode Island, AS.
Marr pun memeriksa mesin itu dengan teliti. Biasanya benda itu keadaannya sangat berantakan.
Mesin tik tua dari logam berat itu penuh kotoran yang menempel puluhan tahun.
Tombol-tombolnya sulit digerakkan dan mungkin saja kertas yang diselipkan ke dalamnya akan tersangkut.
"Apakah alat ini dapat berfungsi kembali?" Pelanggan itu bertanya dengan nada cemas.
Mike Marr, yang telah memperbaiki mesin tik selama lebih dari 20 tahun, menjawab bahwa dia akan berusaha sekuat tenaga.
"Melihat senyum mereka ketika datang dan mengambil mesin tik adalah segalanya bagi kami," ujarnya.
Bahkan pada 2025, 150 tahun setelah mesin tik pertama yang berhasil secara komersial diperkenalkan kepada masyarakat AS, jumlah orang di negara itu yang masih menggunakan mesin-mesin tersebut sungguh mengejutkan.
Dan bukan hanya untuk kesenangan semata, banyak perusahaan yang menjadi pelanggan Marr.
"Kami masih melayani sekitar 20 hingga 25 mesin tik per minggu," tambahnya.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, dia mempekerjakan tiga orang tambahan di tokonya.
"Bukankah itu luar biasa?"
Saat ini, komputer dan ponsel pintar yang terhubung ke internet digunakan di mana-mana dan menjadi alat utama.
Sebagian besar digunakan untuk keperluan bisnis dan transaksi.
Namun, di beberapa kantor kecil dan gudang, masih ada mesin tik usang tergeletak di pojok ruangan.
Tombol mesin ini telah ditekan ribuan, bahkan mungkin jutaan kali.
Hingga saat ini, mesin tik masih digunakan untuk menulis nama pada formulir, menuliskan alamat di amplop, dan mengisi cek.
Dan secara umum, para penggunanya tidak berniat beralih ke komputer dalam waktu dekat, setidaknya untuk tugas-tugas tersebut.
Pada 1953, kakek Marr mendirikan perusahaan yang kini dijalankannya, yakni Marr Office Equipment.
Puluhan tahun silam, sebuah panggilan telepon datang dari IBM.
Raksasa teknologi tersebut sedang mencari distributor mesin tik baru di wilayah timur laut AS.
Ayah dan paman Marr, yang saat itu menjadi pimpinannya, sangat gembira.
"Itu adalah hal terbesar yang pernah mereka dapatkan," kata Marr.
"Truk-truk trailer datang terus-menerus untuk mengantarkan mesin-mesin IBM. Mesin-mesin itu langsung terjual. Kami tidak mampu mengimbangi permintaan masyarakat."
Masa kejayaan Marr Office Equipment mungkin sudah lama berlalu, tetapi Marr masih mengenal para pengguna mesin tik di seluruh daerahnya.
Dia menyebut sebuah firma hukum yang terletak di bagian selatan Providence dan berjarak sekitar 10 menit dengan kendaraan.
Firma tersebut bernama Tomasso & Tomasso yang dimiliki oleh John dan Ray, dua bersaudara yang berprofesi sebagai pengacara.
"Kami kedengarannya persis sama," kata John sambil tertawa saat memperkenalkan diri melalui telepon.
Apakah mereka benar-benar masih mengandalkan mesin tik? Tentu saja.
"Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa kami menggunakannya," ujar Tomasso.
"Cara ini benar-benar masih yang terbaik."
John mengatakan bahwa firma tersebut memiliki tiga mesin tik, dan rekan-rekannya masih menggunakannya untuk menuliskan cek serta mengisi formulir hukum.
Hal itu dilakukan guna memastikan detil dalam dokumen-dokumen tersebut dapat terbaca dengan jelas.
Selain itu, ada faktor keamanan yang perlu dipertimbangkan. Mesin tik sangat sulit diretas karena tidak terhubung ke internet.
Pada 2013, muncul rincian mengejutkan tentang sejauh mana program pengawasan yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika Serikat.
Hal ini mendorong Russian Federal Guard Service (FSO) untuk kembali menggunakan mesin tik demi menghindari penyadapan.
Pejabat Jerman juga dilaporkan mempertimbangkan langkah serupa pada 2014.
Selama Perang Dingin, mata-mata Soviet sebenarnya telah mengembangkan teknik untuk menyadap aktivitas mesin tik listrik, sebuah bentuk teknologi "keylogging", yakni setiap ketukan tombol pada papan ketik direkam.
Agen AS juga pernah merekonstruksi teks dari pita mesin tik, yang berarti bahwa bahkan mesin tik pun tidak sepenuhnya aman.
Saya bertanya kepada Tomasso apakah ada kelemahan dalam menggunakan mesin tik, bukankah lebih sulit untuk memperbaiki kesalahan? Tidak, jawabnya.
Ia memiliki model mesin tik yang dilengkapi dengan "pita penghapus" yang dapat menutupi kesalahan tik dengan mulus.
Selain itu, mesin tik juga murah dalam hal biaya operasional.
Dia memperkirakan bahwa pita tinta pengganti hanya berharga sekitar US$5 (sekitar Rp84.000), sebaliknya kartrid tinta printer bisa lebih mahal beberapa kali lipat dari itu.
Selain itu, Tomasso senang melihat tulisannya langsung muncul di atas kertas di depannya.
"Ada kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya melihat huruf-huruf yang muncul di layar," jelasnya.
"Ini adalah salah satu perangkat luar biasa yang benar-benar membuat hidup kita lebih baik, saya rasa itulah tujuan dari teknologi."
Lebih jauh ke Barat, di Milwaukee, Wisconsin, terdapat sebuah agen properti bernama Jarvis Realty yang dimiliki dan dijalankan oleh Woody Jarvis.
"Saya benar-benar 'kuno'," ujarnya.
Jarvis juga secara rutin menggunakan mesin tik untuk pekerjaan kantornya.
Dia memberi contoh saat menyusun penawaran pembelian untuk klien.
Prosesnya dimulai di komputer, tetapi setelah mencetak dokumen tersebut, jika ada yang perlu diubah, dia lebih suka menggunakan cairan koreksi dan mesin tiknya ketimbang mencetak ulang kontrak dan membuang banyak kertas.
"Kontrak kami sangat jelas dan mudah dipahami," ujarnya.
Ia juga sesekali mengetik nama dan alamat di amplop untuk rekan kerjanya.
"Bagi saya, ini berfungsi karena saya tahu cara menggunakannya dengan baik."
Mesin-mesin tik memiliki sejarah yang panjang dan penuh warna.
Berabad-abad yang lalu, para penemu merancang mesin tik eksperimental, tetapi tidak banyak yang berhasil menarik perhatian.
Kemudian, pada 1868, muncul perangkat pertama yang dikenal sebagai mesin tik: Sholes and Glidden Type-Writer, yang dipatenkan tahun itu oleh empat penemu di Milwaukee.
Salah satu dari mereka, Christopher Latham Sholes, juga menciptakan papan tik QWERTY.
Tanpa dirinya, cara kita mengetik mungkin akan sangat berbeda saat ini, bahkan di komputer.
Pada abad ke-20, mesin tik ada di mana-mana.
Jutaan unit terjual dalam beberapa dekade pertama tahun 1900-an, dan menurut laporan media pada masanya, industri mesin tik di Amerika Serikat saja bernilai lebih dari US$1,1 miliar pada pertengahan 1980-an.
Pada abad ke-21, mesin tik tetap populer di beberapa sudut dunia, meskipun komputer semakin mendominasi.
Di India, misalnya, mesin tik masih memiliki pasar yang berkembang di kalangan para penggemar dan tetap menjadi pemandangan yang umum, meskipun perlahan-lahan menghilang di pengadilan dan kantor-kantor pemerintahan.
Sepupu Jarvis, Lisa Floading, yang bekerja di Milwaukee Institute of Art & Design, adalah penggemar berat mesin tik. Dia memiliki 62 buah mesin tik.
"Ada sesuatu yang sangat menggoda dari mesin tik yang sudah siap dengan kertas di dalamnya," jelasnya.
"Mesin-mesin itu ada di seluruh sudut rumah saya."
Floading berkata bahwa dia menggunakan mesin tik setiap hari, entah untuk membuat daftar, menulis surat, atau urusan administrasi kantor.
"Jadi begitulah, kamu menulis tiga halaman, boom, selesai. Sensasi itu agak hilang saat pakai laptop," ujarnya.
Bahkan kadang-kadang dia membawa mesin tiknya ke kedai kopi langganan supaya bisa bekerja di sana.
Menurutnya, orang-orang sering mendatanginya untuk bertanya tentang mesin itu.
Di bulan Juni, Floading terlibat dalam sebuah acara di Milwaukee bernama Qwertyfest.
Acara itu bertujuan merayakan mesin tik sekaligus tata letak keyboard Qwerty, sebagai penghormatan kepada Christopher Latham Sholes.
Salah satu daya tariknya adalah sebuah ruangan penuh dengan mesin tik, tempat para pengunjung bisa langsung duduk dan mulai mengetik.
Suara ketukan tombol dan gesekan kembalinya tuas mesin memenuhi ruangan.
Dahulu, suara seperti itu lazim terdengar di ruang-ruang pengetikan di berbagai kantor di seluruh negeri.
Jim Riegert, yang kini berusia 70-an, masih ingat seperti apa keadaan pada masa itu.
"Waktu itu, mesin tik cukup besar pengaruhnya. Mesin tik dan mesin hitung," katanya, merujuk pada kalkulator meja.
"Bisnis mesin ketik mulai benar-benar sulit sekitar 25 tahun lalu," ujarnya.
"Internet mulai muncul dan menghancurkan kami juga."
Dia menjalankan situs Typewriters.com dan, meskipun penjualan menurun dalam beberapa dekade terakhir, dia masih bisa menjual empat atau lima mesin tik listrik IBM setiap minggu.
"Saya baru saja menjual 12 unit ke sebuah penjara yang akan menaruhnya di perpustakaan karena mereka tidak mengizinkan narapidana menggunakan komputer," katanya.
Rumah duka, yang sebagian menggunakan mesin tik untuk menyusun akta kematian, juga merupakan pelanggan tetap.
Bisnis Riegert terletak di Kota Tucker, Georgia. Kantornya yang berada di dalam sebuah gudang besar, dipenuhi sekitar 70 hingga 80 mesin ketik listrik IBM, unit bekas yang ia servis dan jual kembali.
Kualitas pembuatannya sangat unggul, tegasnya. Satu model unggulan bisa dibanderol seharga US$749 (sekitar Rp12 juta).
Saat masih baru di tahun 1984, mesin-mesin itu dijual sekitar US$1.000 (sekitar Rp16 juta), dan bahkan dengan memperhitungkan inflasi, nilainya tetap bertahan cukup tinggi di era digital.
"Mereka masih tetap mesin tik terbaik yang bisa kamu beli," ujarnya.
Saat ini, permintaan memang tidak besar, tetapi entah bagaimana, bisnis tetap berjalan stabil dan menguntungkan.
IBM, yang kini mungkin lebih dikenal karena superkomputer seperti Watson, menjual bisnis mesin tiknya kepada Lexmark pada awal 1990-an.
Namun, seorang juru bicara IBM mengatakan bahwa dalam kasus yang sangat jarang, "masih ada orang yang meminta buku manual lama atau dokumen servis untuk mesin tik, dan kami bisa menyediakannya jika masih ada di arsip."
Sementara itu, Lexmark menjual mesin tik terakhirnya pada 2002 dan kini tidak lagi menyediakan layanan yang berkaitan dengan mesin tik, meskipun beberapa mantan distributornya masih melakukan perawatan terhadap mesin tik IBM Lexmark.
Namun jika ingin, Anda juga masih bisa membeli mesin tik yang benar-benar baru.
Ribuan unit masih diproduksi setiap tahunnya.
Todd Althoff, presiden Royal, perusahaan asal AS yang telah membuat mesin tik sejak tahun 1904, menegaskan, "Kami akan terus berjalan."
Dia menambahkan, "Memang jelas [pertumbuhannya] tidak besar, tapi masih berkelanjutan dan pabrik tetap sibuk."
Pabriknya berada di Indonesia, jelas Althoff, dan dijalankan oleh tim dari Nakajima, perusahaan pembuat mesin kik asal Jepang.
Setiap tahunnya, Royal masih menjual sekitar 20.000 mesin tik listrik baru dan lebih dari dua kali lipat jumlah itu untuk mesin tik mekanik.
Yang terakhir ini sebagian diminati sebagai barang dekoratif.
Seorang pustakawan, misalnya, mungkin akan membeli satu untuk dipajang di bagian depan perpustakaan, ujar Althoff.
Model mekanik maupun listrik yang dijual Royal dihargai antara US$300 (sekitar Rp5 juta) hingga US$400 (sekitar Rp6 juta).
Syukurlah, masih ada perusahaan yang memproduksi pita mesin tik baru, kata Paul Lundy, yang mengelola Bremerton Office Machine Company, sebuah usaha reparasi mesin ketik di Bremerton, Washington.
"Aksesori seperti itu masih mudah didapat," ujarnya.
"Sebagai seseorang yang memperbaiki mesin tik, saya selalu bertanya-tanya di benak saya; mengapa masih ada bisnis yang menggunakan benda-benda ini?"
Namun, dia punya beberapa contoh yang masuk akal, termasuk para pekerja di gudang yang harus terus-menerus memproses pemindahan barang dengan mengisi formulir.
Sulit untuk memasukkan formulir yang rumit ini ke dalam printer komputer agar informasi tercetak tepat di tempat yang sesuai.
Karena itu, kata Lundy, para pekerja gudang lebih memilih memasukkan formulir ke dalam mesin ketik dan mengetiknya secara manual dengan melihat langsung.
Selama bertahun-tahun, dia menyadari bahwa beberapa bagian mesin tik yang menua mulai menjadi lebih rapuh, mungkin lantaran menurunnya kualitas bahan plastiknya.
Namun secara keseluruhan, katanya, mesin-mesin ini tetap "sangat tahan lama."
Dan yang paling menyenangkan, saat kamu duduk untuk mengetik, tidak ada gangguan apa pun. Kamu hanya fokus menulis.
Salah satu pelanggan Lundy yang sangat menghargai hal ini adalah Anjali Banerjee, seorang novelis yang tinggal di Seattle.
Dia telah menerbitkan 15 buku, dan draf pertama dari tiga buku terakhirnya dia tulis dengan mesin tik.
Beberapa tahun yang lalu, Banerjee mulai merasa semakin frustrasi saat menulis naskah baru di komputernya.
Notifikasi terus bermunculan, atau perangkat lunak pengolah kata yang dia gunakan terus-menerus mengoreksi hal-hal seperti ejaan dan tata bahasa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk membeli sebuah mesin tik.
Banerjee memulai dengan mesin tik elektrik sebelum akhirnya jatuh hati pada versi mekanik.
Kini, dia mengaku draf pertamanya justru mengalir lebih lancar saat menulis di mesin ketik ketimbang di layar komputer.
"Saya harus terus maju. Ceritanya bergerak lebih cepat, kalau itu masuk akal," ujarnya.
"Kamu harus langsung menuangkannya, seperti tanah liat."
Proses penyuntingan baru dilakukan setelah draf dari mesin tik dipindai dan dimasukkan ke komputer, tempat dia mulai membentuk ulang "tanah liat" menjadi karya yang siap diterbitkan
Banerjee lalu mengakui dengan jujur, "Saya mengalami apa yang kami sebut sebagai 'demam mesin tik'."
Sejak membeli mesin tik pertamanya pada 2019, Banerjee membangun koleksi yang luar biasa, jumlahnya sempat mencapai lebih dari 120 unit.
Namun belakangan, dia mulai memangkas jumlah itu menjadi sekitar 80 mesin, dan berencana menjual sekitar setengahnya.
Bagi Banerjee, ini bukan sekadar hobi, tapi sebuah pencarian besar untuk menemukan mesin tik yang paling pas untuknya.
Dan tampaknya dia telah menemukan beberapa favorit pribadi, salah satunya Olivetti Studio 45, model buatan Italia.
Sebagai penulis yang juga memainkan piano, Banerjee membandingkan mengetik di mesin tik dengan memainkan melodi di atas tuts.
Ada nuansa perkusif. Dan jelas, mengetik di mesin ketik menuntut tenaga lebih dari tangan dan jari dibandingkan papan tik komputer.
Dia mencari mesin yang memiliki rasa yang tepat, tidak terlalu kaku, tapi juga tidak terlalu longgar.
Namun yang terpenting, katanya, adalah sensasi "lemparan" yang dalam, atau jarak tekanan tuts yang memberikan kepuasan tersendiri saat mengetik.
Mesin ketik membangkitkan indra, kata Banerjee.
Saat mengetik, terdengar bunyi clack-clack-clack yang ritmis dan penuh energi.
Kadang, tercium pula aroma lembap khas kantor lama, atau bahkan sisa bau rokok yang telah lama pudar.
Dalam suasana kerja yang begitu terdestilasi, fokus pun mengerucut pada apa yang sedang dikerjakan.
"Saya kehilangan rasa waktu," ujarnya.
Dia bisa mendongak dan menyadari bahwa dua jam telah berlalu.
Pikiran-pikirannya telah tercetak langsung di halaman-halaman di depannya.
Selama masih ada penulis seperti Banerjee, dan pekerja kantoran yang lebih menghargai kenyamanan yang telah teruji dibanding kemodernan, tampaknya mesin tik tak akan pernah benar-benar punah.
Itu sepertinya akan membuat Mike Marr tetap sibuk di bengkelnya di Rhode Island.
"Saya lahir dan dibesarkan untuk memperbaiki mesin tik dan perlengkapan kantor," katanya.
"Itulah satu-satunya hal yang saya kenal dalam hidup ini."
Banyak dari mesin tik yang rusak dan dibawa pelanggan ke tempat Mike Marr sebenarnya masih dalam kondisi baik.
Yang dibutuhkan hanyalah pembersihan dan pelumasan ulang pada bagian-bagian yang bergerak.
Sisa-sisa gemuk berusia puluhan tahun yang menempel di sudut-sudut tersempit mesin itu biasanya hanya mengering.
Tapi itu masalah sepele. Mesin tiknya sendiri masih sangat layak pakai—dan siap bekerja lebih lama lagi. (*)
Tags : mesin tik, peran mesin tik, mesin tik tak lekang oleh waktu, mesin tik ditengah zaman modern, komputer, teknologi,