PEKANBARU - Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN), menilai lonjakan kemiskinan mencerminkan rapuhnya ketahanan ekonomi rumah tangga di kota, terutama saat menghadapi tekanan harga pangan dan stagnasi lapangan kerja.
"Angka kemiskinan di desa menurun tapi diperkotaan malah meningkat."
“Seperti Kota Pekanbaru ini bukan lagi pusat peluang, melainkan titik rawan bila tidak didampingi agenda pemulihan ekonomi sektoral yang responsif,” kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) dalam bincang-bincangnya ngopi bersama di bilangan Komplek Perumahan Damai Langgeng, Pekanbaru belum lama ini.
Secara nasional angka kemiskinan menurun, kemiskinan di perkotaan justru meningkat.
Penduduk miskin di kota naik 0,22 juta orang menjadi 11,64 juta orang. Sebaliknya, di pedesaan turun 0,43 juta orang menjadi 12,58 juta orang.
"Itu ya barangkali benar, jika melihat data pihak Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, atau turun sekitar 200.000 orang dibandingkan dengan September 2024 yang mencapai 24,06 juta orang," sebut Dewan Pengurus Daerah Tingkat I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau ini.
"Persentase penduduk miskin di perkotaan naik dari 6,66% menjadi 6,73%, sementara di perdesaan turun dari 11,34% menjadi 11,03%."
Larshen menilai lonjakan kemiskinan diperkotaan itu mencerminkan rapuhnya ketahanan ekonomi rumah tangga di kota, terutama saat menghadapi tekanan harga pangan dan stagnasi lapangan kerja.
Ia menggarisbawahi bahwa garis kemiskinan kota yang mencapai Rp 629.561 per kapita per bulan, atau naik 2,24% dari September 2024, menjadi tantangan tersendiri.
"Beban hidup masyarakat diperkotaan mencakup tekanan harga pangan, transportasi, dan perumahan yang terus membengkak, sementara mobilitas ekonomi semakin terbatas," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat ini.
“Ini bukan sekadar soal pendapatan, tapi soal akses terhadap layanan dasar dan stabilitas sosial yang makin tergerus,” sambungnya.
Tetapi Larshen kembali menekankan, solusi atas kemiskinan urban tidak bisa bergantung pada bantuan tunai sesaat.
Pemerintah, menurut dia, perlu melakukan intervensi jangka pendek hingga panjang.
“Perlindungan sosial berbasis data spasial harus diperkuat dalam jangka pendek, sementara jangka menengah-panjang harus fokus pada ketenagakerjaan produktif, legalisasi sektor informal, dan insentif untuk UMKM kota,” jelasnya.
Jika tidak ada guncangan harga lebih lanjut dan program pengendalian pangan serta perluasan lapangan kerja kota berjalan adaptif, Larshen optimistis tekanan kemiskinan diperkotaan ini bisa dikendalikan.
Namun, risiko tetap ada. Urbanisasi yang tinggi tanpa penciptaan kerja formal dan layanan dasar memadai akan memperluas kelompok miskin kota.
“Tanpa desain kebijakan terintegrasi, angka kemiskinan di perkotaan akan sulit diturunkan secara berkelanjutan,” tandasnya.
Apa faktor penyebab kemiskinan kota meningkat?
Ketua DPD I KNPI Riau ini juga mengungkapkan, bahwa ada tiga faktor utama yang menyebabkan naiknya angka kemiskinan di perkotaan:
“Laki-laki biasanya menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Kenaikan pengangguran mereka memberi dampak signifikan terhadap angka kemiskinan,” ujar Larshen Yunus yang juga sebagai Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana itu.
Sedangkan tingkat kemiskinan di Riau, kata Larshen, dihitung dari agregasi dua kategori, yakni kemiskinan desa dan kemiskinan kota. Keduanya dihitung terpisah, lalu dirata-ratakan untuk membentuk angka nasional.
Secara karakteristik, cara masyarakat bertahan hidup di dua wilayah ini sangat berbeda.
Di desa, masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya nonmoneter, seperti hasil kebun, bantuan keluarga, hingga praktik berburu di wilayah terpencil.
“Dengan begitu, konsumsi mereka pun tidak melulu bersandar pada pendapatan,” jelasnya.
Maka bisa disimpulkan pada sementara ini, kata dia, bahwa persentase kemiskinan di pedesaan turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen pada Maret 2025.
Desa cenderung lebih tahan terhadap kenaikan harga pangan, lantaran dekat dengan sumber pangan dan didukung produksi lokal yang stabil.
Sebaliknya di kota, seluruh kebutuhan bersandar pada pendapatan. Tanpa uang, kehidupan nyaris berhenti. Faktor sosial pun berbeda.
Di desa, masih hidup nilai gotong royong yang menjadi jejaring sosial alami bagi warga miskin. Namun di kota, individualisme malah menjamur.
Faktor penyebab kemiskinan di perkotaan lainnya bisa dicermati dari aspek ketenagakerjaan. Pekerjaan di desa cenderung homogen dan stabil, seperti bertani atau berdagang.
Sementara di kota, pekerjaan bersifat fleksibel dan rentan, katakanlah hari ini menjadi juru parkir, besok jadi pedagang kaki lima.
“Karena itu, kemiskinan di kota lebih fluktuatif. Kenaikan inflasi sedikit saja, bisa langsung menaikkan angka kemiskinan secara signifikan,” kata Larshen pula.
Penyebab kemiskinan di kota yang mencolok lainnya adalah derasnya arus urbanisasi. Kata Larshen, “urbanisasi dari desa ke kota terhitung luar biasa. sejauh pengalaman saya, urbanisasi itu nilainya positif. Berarti urbanisasi dari kota ke desa itu lebih sedikit daripada desa ke kota.”
Fenomena ini, menurutnya, membuat pasar tenaga kerja perkotaan semakin jenuh dan mendorong lonjakan pengangguran terselubung, yakni mereka yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan tak pasti dan tanpa jaminan sosial.
“Beberapa orang motifnya dicoba dulu merantau, ikut tetangga yang sukses, nanti di sana baru cari pekerjaan. Pola masyarakat kita sebagian masih begitu,” tutur dia.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor sejak awal 2025 turut memperparah kemiskinan di perkotaan.
Lalu cara mengatasi kemiskinan?
Di balik naiknya tingkat kemiskinan terutama di kota, Larshen menyoroti lemahnya regulasi ketenagakerjaan.
Banyak perusahaan pailit bisa begitu mudah menghilang tanpa kewajiban membayar pesangon atau menunaikan hak-hak pekerja yang seharusnya dipenuhi.
“Kita selama ini belum punya regulasi yang mengikat pemilik perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap karyawan. Mereka bisa kabur begitu saja,” resah Larshen.
Menurutnya, dampak kemiskinan akan memperlebar ketimpangan yang ada. Karena lagi-lagi masalah kemiskinan sangat kompleks dan saling berkaitan, mencakup ketenagakerjaan, pendapatan, perumahan, lingkungan, hingga sanitasi.
Sementara kebijakan yang ada belum menyentuh secara menyeluruh akar permasalahan yang ada.
Program-program pengentasan kemiskinan selama ini masih dominan menyasar kawasan perdesaan, sementara kota menghadapi tantangan struktural yang jauh lebih dinamis dan rentan.
Untuk itu, Larshen menekankan pentingnya beberapa kebijakan yang perlu segera dibenahi.
Dampak kemiskinan sangatlah luar biasa. Ketika kebijakan tidak mampu menjangkau kebutuhan dasar masyarakat seperti akses terhadap pekerjaan layak, hingga pemenuhan kebutuhan hidup minimum, maka ledakan masalah sosial hanyalah bom waktu.
“Yang ditakutkan mungkin kalau pengentasan kemiskinan berjalan lambat, angka kriminalitas, maraknya gelandangan, munculnya pemukiman kumuh, dan lain sebagainya itu ya terus ada. Ketimpangan terus melebar. Ini PR yang berat, maka harus segera diperbaiki,” tutup Larshen. (*)
Tags : kdemiskinan, angka kemiskinan, kemiskinan diperkotaan meningkat, komite nasional pemuda indonesia, larshen yunus, kemiskinan terjadi rapuhnya ketahanan ekonomi,