Nusantara   2023/02/02 16:9 WIB

Minyak Goreng Kemasan Pemerintah dengan Merek Minyakita jadi 'Mahal' dan 'Langka'

Minyak Goreng Kemasan Pemerintah dengan Merek Minyakita jadi 'Mahal' dan 'Langka'
Pedagang mengatakan kelangkaan Minyakita membuat harga minyak kemasan lainnya mengalami kenaikan dari Rp30 ribu menjadi Rp35 ribu per dua liter di beberapa pasar tradisional di Kota Bandung.

JAKARTA - Awalnya, pemerintah menggunakan minyak goreng kemasan dengan merek Minyakita untuk menekan kenaikan harga minyak goreng pada 2022 lalu.

Belum genap setahun minyak goreng itu diluncurkan, para pedagang sudah mengeluhkan kelangkaan stok dan kalaupun ada, harganya relatif mahal. Apa yang terjadi dan bagaimana mengatasi permasalahan ini?

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan salah satu penyebab kelangkaan Minyakita adalah realisasi suplai pasokan dalam negeri yang harus dipenuhi perusahaan sebelum melakukan ekspor atau domestic market obligation (DMO) turun sejak November lalu.

Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkap hal berbeda.

Kata dia, ada “perubahan regulasi” yang menyebabkan produsen “mengalihkan produksi Minyakita ke minyak curah”. 

“Produsen keberatan karena biayanya lebih mahal,“ kata Sahat pada media. 

Adapun ahli ekonomi dari lembaga riset Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, beranggapan ketika “minat pihak swasta berkurang” untuk memproduksi Minyakita, negara harus mengambil peran lewan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Karena porsi BUMN dalam tata niaga minyak goreng itu kecil, ini menjadi permainan juga dari oknum swasta. Itu yang memang kesalahan dari kebijakan minyak goreng, BUMN tidak dilibatkan secara aktif,” ujar Bhima.

DMO bukan satu-satunya hal yang menyebabkan ‘hilangnya’ Minyakita dari pasaran.

Program biodiesel B35, yang membuat penggunaan CPO—bahan baku minyak goreng—meningkat dan disebut-sebut menteri perdagangan membuat produksi Minyakita berkurang.

Namun, hal itu dibantah oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Arilangga Hartarto.

Menurut dia, program B35 tidak akan mengganggu pasokan untuk minyak kebutuhan konsumsi.

Airlangga menyebut kelangkaan Minyakita terjadi karena lemahnya permintaan di dalam negeri.

Minyakita adalah minyak goreng kemasan dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000, sama dengan HET minyak goreng curah.

Kementerian Perdagangan meluncurkan Minyakita pada 6 Juli 2022 untuk mengatasi kenaikan harga minyak yang pada saat itu sempat menyentuh harga Rp25.000 per liter.

Minyakita diproduksi oleh perusahaan-perusahaan minyak goreng untuk memenuhi DMO demi mendapatkan izin ekspor.

Langka sejak akhir 2022

Sejumlah pedagang sembako di Bandung, Solo, dan Makassar mengeluhkan kelangkaan Minyakita.

Di Pasar Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, pedagang mengatakan kelangkaan sudah terjadi sejak Desember 2022, diiringi dengan kenaikan harga.

Seorang pedagang bernama Dean Rivana terpaksa mencari Minyakita ke distributor besar, setelah sejumlah agen menyatakan Minyakita kosong.

Upaya itu dilakukan Dean lantaran masih banyak konsumen yang mencari Minyakita dengan alasan harganya lebih murah dibanding merek lain.

“Ya sebenarnya sih harganya sudah nggak Rp14.000 lagi, sekarang sudah naik jadi Rp16.000 per liter. Tapi memang masih murah dibanding minyak goreng kemasan merek lain yang harganya Rp17.000 per liter,” kata Dean kepada wartawan Yuli Saputra, Rabu (01/02).

Endang, pedagang lainnya, mengatakan tidak ada lagi sales yang datang menawarkan minyak goreng tersebut ke kiosnya. Padahal sebelumnya, ia bisa membeli tanpa dibatasi dengan keuntungan yang memadai.

“Saya dengar, katanya stoknya ada, tapi enggak dikeluarin supaya minyak merek lain laku lagi,” ujar Endang.

Di Pasar Legi, Solo, Jawa Tengah, wartawan Fajar Sodiq menemui sejumlah pedagang yang mengaku kesulitan mendapatkan pasokan Minyakita sejak akhir tahun lalu.

Kelangkaan stok Minyakita dalam kemasan botol membuat harganya melambung sampai Rp17.000 per liter. 

Wayan Sulistyo, pedagang besar di Pasar Legi, mengungkap pengakuan distributor yang mengatakan bahwa “pabrik sudah tidak memproduksi” Minyakita.

“Lah pabrik nggak buat kok. Bilangnya kurang stok,” ujar Wayan.

Menurut dugaannya, produsen juga melakukan “pembatasan produksi” demi menyelamatkan merek minyak lainnya.

Pasalnya, produsen Minyakita juga memproduksi minyak goreng premium kemasan seperti Fortune, Hemart, Fitri, dan lainnya.

“Sekarang pabrik buat merek Minyakita, mereknya sendiri nggak laku, apa ya mau? Logika berpikirnya mudah. Harganya [Minyakita] lebih murah dan kualitas bagus,” ujar dia.

Menanggapi kelangkaan dan kenaikan harga Minyakita, sejumlah konsumen mengaku pasrah.

Kenaikan harga Minyakita dikeluhkan Oneng, nenek berusia 61 tahun. Namun, Oneng mengaku tidak punya pilihan selain membelinya.

“Maunya murah, tapi gimana lagi kalau naik. Dibeli aja karena butuh,” tutur Oneng yang kadang kala membeli minyak goreng di supermarket, jika ada promo.

Sementara Untari, seorang ibu rumah tangga, mengaku tetap membeli Minyakita meskipun harganya naik.

Untari mengaku tidak ingin beralih ke minyak goreng curah yang harganya lebih murah karena kualitasnya lebih rendah dibandingkan Minyakita.

“Kalau di warung itu Rp18.000 harganya. Ya tetap harus beli meskipun mahal karena menjadi kebutuhan gitu,” tutur dia. 

Sementara itu, di Makassar, Sulawesi Selatan, pedagang yang biasa mendapatkan stok minyak dari Bulog pun mengatakan Minyakita sudah “langka” sejak “seminggu lalu”.

Ririn, seorang pedagang Minyakita di Pasar Tradisonal Pabaeng-Baeng, Kota Makassar, Sulawesi Selatan mengatakan bulog membatasi jumlah minyak yang bisa dibeli Ririn. Sekarang, dia hanya bisa membeli 10 sampai 15 dus Minyakita.

Meski stoknya berkurang, harga jualnya tidak melampaui Rp14.000.

“Kalau kita disini tidak pernah naik, cuma di pedagang lain karena dia diambil dari pihak lain [sales] tinggi harganya. Kalau disini tidak boleh jual diatas Rp14.000,” kata Ririn kepada wartawan Muhammad Aidil di Makassar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (01/02).

Sedangkan menurut pedagang lain di Pasar Kerung-kerung, harga Minyakita bisa mencapai Rp17.000 karena memang sudah sulit didapatkan sejak Desember 2022.
Penyebab kelangkaan Minyakita versi pengusaha

Menteri Zulkifli Hasan menyebut realisasi DMO sebagai salah satu penyebab hilangnya Minyakita di pasaran.

Dia mengatakan realisasi DMO mulai turun pada Desember 2022.

Pada November 2022 realisasi DMO mencapai 100,94%, tapi sebulan kemudian turun menjadi 86,31%.

Penurunan terus berlanjut sampai Januari 2023, menjadi 71,81%.

Ketika dikonfirmasi perihal realisasi DMO minyak goreng yang terus menurun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga malah menekankan pada masalah lain, yaitu keengganan para produsen untuk memproduksi Minyakita karena harganya saat ini “tidak menutup biaya produksi” mengingat biaya pengemasannya pun sudah mahal.

Perubahan biaya produksi itu, kata Sahat, disebabkan perubahan regulasi yang diterapkan pemerintah terkait distribusi.

Sejak awal kemunculan Minyakita, Sahat menjelaskan, peraturan yang ada mengharuskan distributor mengambil stok minyak dari pabrik.

Namun, sejak pemerintah mengubah aturan itu pada November 2022 lalu, produsen diharuskan mengantarkan Minyakita ke lokasi para distributor sehingga “ongkos angkut jadi lebih mahal”.

“Jadi secara kalkulasi perhitungan, mereka itu tetap rugi kalau misalnya harus juga menanggung ongkos untuk pendistribusian Minyakita itu. Tapi, dengan catatan, mereka tetap memenuhi [DMO] dengan minyak curah. Yang penting masyarakat tetap dapat,” kata Sahat.

Menurut dia, para pedagang mengeluhkan hal ini karena keuntungannya berkurang.

Dia pun menganjurkan pedagang dan konsumen untuk “mencari minyak curah“ dan jika ingin minyak goreng kemasan “bisa membeli yang premium“.

“Pedagang ini maunya untung setinggi-tingginya. Begitu tidak disuplai Minyakita, mereka ribut,” ujar Sahat.

Pada pertengahan Januari 2023, para pengusaha telah mengirimkan surat kepada pemerintah untuk “mengembalikan regulasi ke regulasi yang lama”.

Dan menurut Sahat, “supaya lebih adil” pemerintah harus melibatkan BUMN dalam pendistribusian Minyakita, “sehingga kalau ada distorsi harga mereka bisa cover di dalam pendistribusiannya”.

Bagaimana solusinya?

Untuk mengatasi kelangkaan stok Minyakita, Menteri Zulkifli Hasan mengatakan akan menambah suplai pasokan dalam negeri (DMO), dari yang semula 300.000 ton menjadi 450.000 ton per bulan.

Ekonom Bhima Yudhistira menilai, sebelum “mengutak atik kebijakan DMO”, lebih baik pemerintah “menegakkan aturan DMO” karena berdasarkan data memang ada penurunan.

“Realisasinya harus 100% bahkan lebih, kalau perlu. Dan perusahaan yang tidak patuh harus kena sanksi, pembekuan ekspor, sampai pencabutan izin usaha… Dibandingkan nanti bikin DMO baru, belum tentu akan dipatuhi oleh swasta,“ kata Bhima kepada BBC News Indonesia.

Dia meminta pemerintah harus “tegas” terhadap perusahaan sawit.

Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan dua masalah lainnya, menurut Bhima.

Pertama, soal “perebutan ekspor“.

Permintaan ekspor CPO di hulu yang masih tinggi dan harganya yang “masih dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan pra-pandemi”, menyebabkan pengusaha yang masih "mengincar pasar ekspor".

Mengejar ekspor dinilai lebih menguntungkan karena harga jual di luar negeri jauh lebih tinggi daripada di dalam negeri. Hal ini juga yang memicu kenaikan harga minyak tahun lalu.

Kedua, Bhima meminta pemerintah menyelesaikan masalah “perebutan biodiesel”.

“Kalau pemerintah disuruh memilih antara program biodiesel versus pangan, apalagi ini jelang Ramadan dan lebaran, seharusnya yang biodiesel dikalahkan, jadi jangan ngotot harus B35. Nah, itu harusnya bisa memprioritaskan dulu CPO untuk bahan baku minyak goreng,” tambah Bhima.

Program B35 adalah program untuk meningkatkan campuran minyak sawit mentah pada bahan bakar minyak, dari sebelumnya 30% menjadi 35%. Tujuannya untuk mempercepat penyerapan tandan buah segar (TBS) sawit di dalam negeri.

Terkait bantahan Menko Airlangga soal B35, Bhima mengatakan jika dilihat dari statistik yang ada sejak 2015, “ada korelasi antara naiknya porsi CPO untuk kebutuhan energi atau biodiesel, dengan penurunan CPO untuk bahan baku pangan”, salah satunya minyak goreng.

“Karena harga pembelian bahan baku biodiesel itu jauh lebih menarik dibandingkan harga pembelian untuk minyak goreng. Ini kan enggak selesai di 2022 kemarin,” ujar Bhima.

Masalah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng ini kembali terulang karena kata Bhima “hulunya belum diatur” dan belum ada "pembenahan struktur".

“Jaid penangkapan mafia-mafia itu enggak menyelesaikan masalah”. (*)

Tags : Minyak Goreng Kemasan Pemerintah, Minyakita, Minyak Goreng jadi Mahal dan Langka, , Ekonomi, Biaya hidup,