KASUS bunuh diri di Gunungkidul sejak lama dibayangi mitos Pulung Gantung, tetapi sejumlah kalangan menganggap mitos ini membuat masalah penyebab bunuh diri yaitu depresi dan masalah kesehatan jiwa kurang tersentuh.
Sebuah Dusun Pakel, Desa Planjang, Kecamatan Saptosari Gunungkidul, di tempat ini pada Mei lalu, puluhan warga berkumpul menambuh lesung dan kentongan selama beberapa hari untuk mengusir 'pulung gantung', sebuah bola api yang konon muncul di atas sebuah rumah yang dapat menyebabkan peristiwa bunuh diri.
"Bentuknya seperti gayung, warna merah, seperti cahaya lampu, perkiraan saya jam 9 atau 10 malam, warga memukuli kentongan dan lesung, langsung pulungnya hilang ga tau kemana, " jelas Yatemo, warga dusun yang berusia 84 tahun.
Setelah tiga hari membunyikan lesung dan kentongan, warga pun percaya pulung gantung sudah pergi dari dusun mereka, dan bunuh diri pun 'dapat digagalkan'.
Warga meyakini bukan kali ini saja 'pulung gantung' mendatangi dusun mereka, Yatemo mengatakan beberapa kali pulung gantung mendatangi dusunnya, dan pernah sekali 'menelan korban'.
Kepercayaan tentang mitos pulung gantung yang terkait kasus gantung diri di Gunungkidul begitu melekat di masyarakat tetapi tak ada yang bisa menjelaskan kebenarannya.
Sigit Wage Dhaksinarga dari IMAJI menyebutkan cara gantung diri tersebut merupakan cerminan bahwa 'pulung gantung' melekat dalam pikiran masyarakat Gunungkidul, tetapi menurut kajian IMAJI penyebab bunuh diri adalah karena depresi.
"Kita tidak menolak fakta pulung gantung yang dibicarakan terus menerus, tetapi kita mencoba hadir dalam bentuk lain, siapa tahu dari berbagai sudut pandang ini akan lebih positif…kalau kita bedah dengan sederhana saja, 80 persen orang bunuh diri ini karena depresi," jelas Wage.
Data Inti Mata Jiwa, IMAJI, organisasi yang bergerak dalam kesehatan jiwa dan upaya pencegahan bunuh diri, sepanjang Januari-Agustus 2017 sekitar 25 orang bunuh diri, sementara 2016 mencapai 30 orang dan 2015 ada 31 kasus bunuh diri, dan hampir seluruh korban mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.
Menurut Wage, masalah layanan kesehatan jiwa masyarakat Gunung Kidul seharusnya yang penting diperhatikan untuk menangani kasus bunuh diri. Salah satunya dengan mengenali masyarakat yang memiliki risiko bunuh diri.
"Solusinya adalah kita harus mampu menjaga masyarakat risiko terus kemudian kita harus hadir ke sana (mendampingi), kalau di lingkungan kita ada masyarakat seperti ini tolong diinformasikan ke puskesmas," jelas Wage.
Masyarakat yang berisiko itu menurut Wage, antara lain orang dengan sakit menahun, orang lanjut usia atau lansia yang hidup sendiri, dan juga orang dengan masalah ekonomi.
Data IMAJI selama 2015 sampai Agustus 2017, sebagian besar jumlah korban bunuh diri diidentifikasi menderita penyakit menahun, selanjutnya masalah ekonomi, keluarga dan memiliki masalah kejiwaan.
Salah seorang penyintas yang pernah mencoba bunuh diri, Sugeng Riyanto mengungkapkan bahwa masalah ekonomi dan sakit yang menyebabkan dirinya pernah melakukan percobaan bunuh diri, tak ada kaitan dengan pulung gantung.
"Pandangan saya itu sekedar mitos yang dibesarkan oleh masyarakat, sebetulnya penyakit atau masalah gantung diri itu lebih ke individunya," kata Sugeng.
Pemuda berusia 23 tahun itu, sempat bekerja sebagai penjaga toko buku tulis selepas lulus dari SMK di Wonosari Gunung Kidul selama setahun, tapi kemudian berhenti karena pekerjaan itu tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan juga alasan kesehatan.
"Selama satu tahun tidak kerja itu pusing juga, apalagi ibu saya sudah tidak kerja petani saja, lalu saya sempat juga ikut panitia pemilihan kepada desa dan kecapekan sehingga kambuh penyakit saya," jelas Sugeng.
Dia mengaku saat itu putus asa, "Tidak ada pekerjaan yang tidak ada yang dijalani, dan itu sudah titik nol saya dan tidak ada bayangan apa-apa kemudian saya ambil tali......."
Upaya bunuh diri itu gagal karena kayu tempat dia menggantungkan tali itu patah. Saat itu juga, Sugeng mengaku bersyukur mendapatkan kesempatan kedua.
"Kalau saya tidak selamat, orangtua saya mungkin akan menangisi saya. Saya sedikit demi sedikit mulai merasakan bahwa kita harus berpikir dewasa. Saya mulai sadar gantung diri itu merupakan hal bodoh yang pernah saya lakukan. Saya ini masih memiliki masa depan, saya masih muda, masa depan saya masih panjang," jelas Sugeng.
Dia mengatakan dukungan keluarga dan warga sekitar sangat membantu dirinya untuk kembali beraktivitas, setelah menjalani perawatan selama sepuluh hari di Wonosari, ibukota kabupaten.
Rata-rata jumlah kasus bunuh diri di Gunungkidul mencapai 25 per tahunnya, hampir separuh dari jumlah kasus bunuh diri di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2015 lalu, atau 1 dari 27.000 orang dari jumlah penduduk 698.825 (menurut data Badan Pusat Statistik), di Gunungkidul.
Kondisi itu membuat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul membentuk Satuan Tugas atau Satgas Berani Hidup sebagai upaya untuk menangani masalah bunuh diri.
Satgas yang terdiri dari berbagai kalangan antara lain praktisi kesehatan, agama, budayawan dan juga organisasi non pemerintah ini, mulai memetakan dan mengidenfifikasi masalah yang terkait dengan bunuh diri.
Wakil bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi mengatakan dalam pembahasan satgas berani hidup ini menganggap perlunya layanan kesehatan jiwa di tingkat puskesmas dengan menempatkan seorang psikolog.
"Psikolog paling tidak untuk mengawasi orang-orang yang pada pergi ke puskesmas itu bisa diidentifikasi awal, ada early warningnya untuk tahu bahwa orang-orang itu punya potensi untuk gantung diri. Nah, itu akan kita lakukan, karena tahun ini belum dianggarkan maka belum bisa dilakukan, Insya Allah untuk 2018 sudah masuk dalam rancangan APBD 2018," jelas Immawan.
Tiga kecamatan akan menjadi prioritas adalah Wonosari, Semanu dan Karangmojo -yang memiliki angka bunuh diri tertinggi diantara wilayah lain di Gunungkidul. Bagaimanapun, langkah ini sudah dilakukan di Puskesmas Playan.
"Dari pemahaman yang diberikan oleh psikolog akhirnya kami bisa menginventarisi jumlah gangguan jiawa yang ada di wilayah kami dengan indikator yang baru, sehingga yang tadinya sekitar dari 60 menjadi hampir seratus, karena gangguan jiwa ringan yang berpotensi bunuh diri akhirnya bisa kami deteksi, dan kami adakan pendekatan, ada edukasi yang diharapkan kejadian bunuh diri bisa kita tekan," jelas drg Bandono, Kepala Puskesmas Playan.
Bandono mengatakan petugas layanan kesehatan dari puskesmas juga secara rutin mendampingi masyarakat berisiko ini.
Di Kantor Desa Bejihardjo, Sugeng tampak sibuk dengan pekerjaannya sebagai aparatur desa. Di sore hari dia menyibukkan diri dengan memelihara kambing pemberian kakaknya.
Sesekali Sugeng bersama IMAJI mencoba menularkan semangat hidupnya kepada berbagai kalangan di Gunungkidul.
"Setiap orang yang memiliki masalah hari ini, cerita pada teman, saudara, keluarga, untuk dapatkan solusi dan bantuan, jangan dipendam sendiri, karena masalah yang dipendam, akan menjadi titik dimana kita akan kehilangan segalanya," kata Sugeng. (*)
Tags : Mitos 'Pulung Gantung' di Gunung Kidul, Yetemo: Sebuah Bola Api yang Muncul Diatas Rumah ,