Headline Otomotif   15-04-2025 11:34 WIB

Mobil Sport Utility Vehicle Semakin Banyak Meluncur di Jalanan karena Lebih Kecil dan Ramah Lingkungan

Mobil Sport Utility Vehicle Semakin Banyak Meluncur di Jalanan karena Lebih Kecil dan Ramah Lingkungan

BISNIS - Mobil berkategori sport utility vehicle (SUV) semakin banyak terlihat meluncur di jalanan seluruh dunia.

Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi peralihan ke kendaraan yang lebih kecil dan lebih ramah lingkungan tidak dapat dihindari lantaran Bumi semakin panas, krisis iklim, serta meningkatnya biaya hidup.

Namun, peralihan tersebut nyatanya belum terwujud.

Secara global, 54% mobil yang terjual pada tahun 2024 adalah SUV, baik yang berbahan bakar bensin, diesel, hibrida, maupun listrik. 

GlobalData, penyedia data pasar dan intelijen industri global, menyebut angka ini meningkat tiga poin persentase dari tahun 2023 dan lima poin persentase dari tahun sebelumnya.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), sebanyak 95% mobil SUV yang beredar (model baru dan lama) masih menggunakan bahan bakar fosil. Akan tetapi, para produsen mengklaim armada kendaraan baru mereka semakin beralih ke listrik.

"Popularitas SUV meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir," ujar James Nix dari Transport and Environment yang memayungi LSM-LSM transportasi dan lingkungan di Eropa.

"Pada tahun 2014, dari setiap 5 mobil baru yang terjual, hanya 1 yang SUV. Tahun lalu, lebih dari 1 dari setiap 2 mobil baru yang terjual adalah SUV."

SUV terlihat mencolok di jalanan karena berbobot berat dan berukuran besar.

Kendaraan ini memiliki interior yang luas, ground clearance (jarak antara bagian bawah mobil dan permukaan tanah) yang tinggi, serta posisi mengemudi yang tinggi sehingga pandangan jalan pengemudi yang lebih baik.

Di sisi lain, meskipun versi SUV yang lebih kecil juga tersedia di pasaran.

Para aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan Extinction Rebellion menganggap SUV sebagai salah satu penyebab utama krisis iklim karena tingkat emisinya yang tinggi.

Organisasi seperti International Council on Clean Transportation berpendapat produksi SUV menghabiskan banyak sumber daya karena ukurannya yang besar.

Selain itu, SUV dinilai memakan lebih banyak ruang di jalan. Hal ini bertentangan dengan agenda keberlanjutan global yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.

Inilah mengapa kendaraan listrik kecil dan hemat energi diperkirakan akan menjadi tren.

Akan tetapi, data yang muncul memperlihatkan hal yang berlawanan. Padahal, krisis iklim semakin parah dan kebutuhan untuk mengurangi emisi karbon, termasuk dari sektor transportasi, mamakin mendesak untuk menahan kenaikan suhu global.

Penjualan kendaraan listrik (EV) berukuran standar telah menurun di pasar utama seperti Jepang, Jerman, dan India.

Di Eropa, penjualan SUV telah melampaui penjualan EV. Hal ini di luar prediksi lima tahun lalu yang mengindikasikan tren sebaliknya.

Pada tahun 2018, sebanyak 3,27 juta hatchback kecil—baik berbahan bakar fosil maupun listrik—terjual di Eropa. Angka itu anjlok menjadi hanya 2,13 juta yang terjual pada tahun 2024, menurut GlobalData.

"Salah satu penyebabnya adalah alternatif SUV yang ditawarkan dalam ukuran lebih kecil, yang penjualannya di Eropa telah meningkat menjadi hampir 2,5 juta pada tahun 2024 dari 1,5 juta pada tahun 2018," tutur Sammy Chan, manajer perkiraan penjualan GlobalData.

China mencatat penjualan SUV terbesar, hampir 11,6 juta unit pada tahun 2024, diikuti oleh AS, India, dan Jerman, menurut GlobalData.

Apa yang mendorong pertumbuhan SUV ini?

Para ahli di industri otomotif berpendapat bahwa daya beli masyarakat di banyak negara berkembang pesat telah meningkat. Hal ini membuat SUV menjadi pilihan yang lebih menarik bagi banyak orang.

"Para produsen merespons permintaan konsumen, dan makin banyak pengemudi yang tertarik pada kendaraan serbaguna karena kepraktisan, kenyamanan, dan pandangan jalan yang lebih baik," kata Mike Hawes, kepala eksekutif Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT).

Di sisi lain, para analis juga mengatakan bahwa produsen tertarik pada margin keuntungan yang tinggi dari SUV.

Dengan kata lain, mereka bisa menghasilkan lebih banyak uang dari penjualan SUV, meskipun jumlah kendaraan yang diproduksi lebih sedikit.

"Industri inilah yang telah mendorong permintaan melalui kampanye pemasaran dan iklan besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir," papar Dudley Curtis, manajer komunikasi di European Transport Safety Council.

"SUV menjadi cara mudah bagi industri untuk membebankan harga lebih tinggi untuk kendaraan yang sebenarnya melakukan fungsi yang sama [dengan kendaraan lain]."

Mengapa SUV bermasalah?

IEA menyatakan hampir 95% dari seluruh SUV yang ada di jalan—baik baru maupun bekas—masih menggunakan bahan bakar fosil.

Pertumbuhan penjualan SUV yang pesat mendorong peningkatan konsumsi minyak kendaraan ini, menurut IEA.

Angkanya meningkat sebesar 600.000 barel per hari secara global antara tahun 2022 dan 2023. Jumlah itu adalah lebih dari seperempat dari total kenaikan permintaan minyak global.

"Jika diurutkan di antara negara-negara, armada SUV global akan menjadi penghasil CO2 terbesar kelima di dunia, melebihi emisi Jepang dan berbagai ekonomi besar lainnya," ujar Apostolous Petropolous, seorang pakar energi di IEA.

IEA menambahkan bahwa jika dibandingkan dengan mobil berukuran sedang yang menggunakan bensin dan diesel, SUV membakar 20% lebih banyak bahan bakar karena rata-rata bobotnya 300 kg lebih berat.

Faktanya, transportasi jalan bertanggung jawab atas lebih dari 12% emisi karbon global yang merupakan salah satu pendorong utama pemanasan global. Para ilmuwan mengatakan bahwa semua sektor harus segera melakukan dekarbonisasi jika dunia ingin menghindari bencana iklim.

Namun, perwakilan industri mengeklaim bahwa tidak semua SUV yang dijual saat ini menyebabkan peningkatan emisi.

"Sekitar dua dari lima model SUV [baru] ini nol emisi. Badan kendaraan cocok untuk pengisian listrik dengan jangkauan baterai yang lebih panjang, sehingga konsumen tidak perlu khawatir soal akses pengisian batere," ujarnya.

"Hal ini menyebabkan emisi CO2 rata-rata mobil serbaguna baru berkurang lebih dari separuhnya sejak tahun 2000. Ini mendorong segmen memimpin dekarbonisasi mobilitas jalan raya di Inggris."

Meskipun sebagian besar SUV baru masih menggunakan bahan bakar fosil, pejabat IEA mengatakan bahwa lebih dari 20% SUV yang dijual pada tahun 2023 adalah kendaraan listrik penuh atau naik dari 2% pada tahun 2018.

Di sisi lain, International Council on Clean Transportation pada tahun 2022 melakukan studi terhadap kendaraan hibrida yang dapat menggunakan listrik dan bahan bakar fosil di Eropa.

Ditemukan bahwa rata-rata hanya sekitar 30% dari total jarak yang ditempuh oleh kendaraan listrik hibrida (semua jenis, termasuk SUV) yang menggunakan mode listrik.

Hasil serupa ditemukan di negara ekonomi utama lainnya seperti AS dan China.

Secara keseluruhan, pergeseran kembali ke arah SUV telah menyebabkan kemunduran signifikan dalam dekarbonisasi sektor transportasi, menurut beberapa ahli.

"Tren menuju kendaraan yang lebih berat dan kurang efisien seperti SUV [di negara-negara di mana hal itu terjadi] sebagian besar telah meniadakan peningkatan konsumsi energi dan emisi yang dicapai di tempat lain dalam armada mobil penumpang dunia," kata IEA.

Komite perubahan iklim Parlemen Inggris memiliki temuan serupa dalam laporan tahun 2024 mereka tentang dekarbonisasi di negara tersebut. (*)

Tags : mobil sport utility vehicle, suv, mobil suv banyak meluncur di jalanan, mobil suv lebih kecil dan ramah lingkungan, bisnis, industri otomotif, perubahan iklim,