PENDIDIKAN - Praktik dengan istilah 'cuci rapor', manipulasi kartu keluarga, hingga sertifikat kejuaraan palsu merupakan “kegagalan sistemik” sehingga penyelenggaraan PPDB harus dievaluasi, menurut pengamat pendidikan.
Seperti, 51 calon peserta didik di Depok diklaim telah dibantu agar tetap bisa bersekolah di swasta setelah nama mereka dianulir dalam PPDB.
Pihak sekolah mengakui adanya “kesalahan”, dan saat ini masih menunggu proses pemeriksaan Inspektorat Jenderal di Kemendikbud.
Pengamat pendidikan mengatakan kasus dugaan kecurangan PPDB yang terjadi di Depok dan kota lainnya akan terus berulang karena dampak dari minimnya daya tampung dan “favoritisme” sekolah.
Sementara itu, Sekretaris Dirjen PAUD Dikdasmen dari Kemendikbud, Praptono, mengeklaim meskipun PPDB yang bergulir sejak 2017 penuh dengan dinamika, namun ada hal positif yang telah dicapai.
Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, mengeklaim telah memfasilitasi 51 anak untuk bersekolah di swasta setelah nama mereka dianulir dari PPDB karena dugaan katrol nilai rapor.
Tapi, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Depok, Sutarno, mengatakan tidak ada bantuan biaya terhadap puluhan siswa tersebut.
"Enggak ada, karena kita hanya memfasilitasi sampai dia bisa memperoleh sekolah," katanya kepada wartawan.
Sutarno melanjutkan, kasus dugaan puluhan siswa yang didiskualifikasi ini "sedang ditangani Inspektorat Jenderal Kemendikbud".
"Yang kedua, kalau memang itu pegawai dan sebagainya yang melakukan hal-hal tersebut tentunya akan kami lakukan tahapan-tahapan atau tindakan-tindakan... Ada yang memang dilakukan pembinaan, ada memang nanti kalau memang sanksi harus kita sanksi dan sebagainya," katanya.
Dalam klarifikasinya, Kepala SMPN 19 Depok, Nenden Eveline Agustina, mengatakan “dari proses yang kami jalani, memang kami akui memang ada kesalahan, dan kami juga sudah siap dengan konsekuensinya”.
Namun Nenden enggan merinci lebih jauh apa yang dimaksud dengan “kesalahan” tersebut. Ia mengatakan, hal ini sudah diproses Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk Dinas Pendidikan Kota Depok.
“Jadi kami diminta untuk menunggu saja,” katanya.
Dugaan kecurangan agar siswa masuk PPDB sekolah negeri bukan hanya terjadi di Depok.
Baru-baru ini, sebanyak 69 calon peserta didik di Jawa Tengah diduga menggunakan piagam palsu agar dapat masuk PPDB lewat jalur prestasi, sebagaimana dikutip dari Kompas.
Dalam temuan sementara yang dirilis awal bulan Juli, Ombudsman RI melaporkan, penambahan rombongan belajar (rombel) dan penambahan jalur di luar prosedur masih mewarnai PPDB tahun 2024.
Ombudsman RI menerima sekitar 467 aduan masyarakat. Laporan ini terkait dengan dugaan kecurangan masalah di hampir setiap jalur PPDB: prestasi, zonasi, dan afirmasi.
Dari aduan masyarakat yang diterima Ombudsman, dugaan maladministrasi didominasi penyimpangan prosedur (51%), tidak memberi layanan (13%), tidak kompeten (12%), diskriminasi (11%), penundaan berlarut (7%), permintaan imbalan uang, barang dan jasa (2%), tidak patut (2%) dan penyalahgunaan wewenang (2%).
"Dalam jalur zonasi, adanya pemahaman keliru baik juklak dan juknis penentuan zona di mana selama ini masih banyak yang menggunakan jarak padahal dapat juga menggunakan area zona."
"Untuk afirmasi, seharusnya juga tidak hanya bagi anak yang kurang beruntung secara ekonomi tetapi juga berlaku kepada teman-teman disabilitas," kata anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais dalam keterangan resminya.
Dari jalur prestasi, Ombudsman mengeklaim menemukan praktik cuci rapot untuk menaikan gengsi sekolah tersebut.
Selain itu, tidak adanya transparansi dalam pengukuran dan pengumuman skor penilaian jalur prestasi sehingga muncul berbagai permasalahan seperti adanya sertifikat akademik palsu hingga masuknya siswa titipan berdasarkan jalur prestasi yang berujung pada penambahan kelas atau rombongan belajar (rombel).
Pemerintah juga tidak menutup mata atas persoalan PPDB tahun ini.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (Paud Dikdasmen), Praptono mengatakan "masih ditemukan beberapa kasus di lapangan" dalam rapat dengar pendapat yang terbuka untuk umum di Komisi X DPR-RI, Praptono mengurai temuannya:
Jalur zonasi
Manipulasi dokumen kartu keluarga dengan modus pemalsuan, pindah sementara, pindah ke lokasi fiktif, atau menitip KK orang lain.
Lokasi: Jawa Barat, Yogyakarta, Pati-Jawa Tengah, Jakarta
Jalur afirmasi
Peningkatan jumlah pendaftar jalur afirmasi dengan data siswa miskin yang tidak tepat sasaran, sehingga mengurangi jatah siswa miskin yang sebenarnya.
Lokasi: Jawa Tengah
Perpindahan orang tua
Temuan diskriminasi "karena hanya mengkhususkan (anak-anak dari) ASN dan BUMN".
Lokasi: Riau
Jalur prestasi
- Manipulasi dokumen, seperti sertifikat kejuaraan palsu (Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Jawa Barat)
- Diskriminasi terhadap calon peserta didik dengan memasukkan nilai hafalan/tahfiz Al-Qur'an (Riau dan Nusa Tenggara Barat).
- Manipulasi nilai rapor (Depok, Jawa Barat)
Temuan lainnya
- Kurangnya daya tampung sekolah (Banten)
- Praktik jual-beli kursi, penyuapan (Kota Palembang dan Kabupaten Lampung Utara)
- Aplikasi PPDB tidak bisa digunakan alias error (Jawa Barat dan Bali)
- Tidak transparan dalam pengumuman hasil PPDB (Aceh dan Riau)
- Menggunakan tes dalam PPDB (Yogyakarta)
- Ketidaksesuaian perda/juknis daerah dengan pedmoman PPDB (Aceh)
- Penambahan rombongan belajar (Maluku Utara)
- SDM posko pengaduan kurang kompeten (Banten)
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengaku tidak terkejut dengan temuan terbaru di Depok dan kota lainnya. Ia menyebutnya sebagai “kegagalan sistemik” dari penyelenggaraan PPDB.
“Jadi ini kegagalan sistemik dalam bagaimana hak anak untuk mendapatkan pendidikan itu dijamin. Jadi kita jatuh di lubang yang sama ini, sampai kapan harus diulang-ulang?,” kata Ubaid bertanya-tanya.
Ia menyoroti akar persoalan kambuhan yang muncul saban PPDB bergulir, pertama, karena “tidak adanya penegakan hukum”.
“Hanya siswa yang didiskualifikasi, hanya siswa yang jadi korban. Tapi oknum sekolah yang terlibat nggak pernah diinvestigasi,” katanya.
"Oknum pejabat yang titip nama di PPDB itu nggak pernah diinvestigasi. Jual-beli kursi yang baunya ada di mana-mana nggak pernah juga diinvestigasi."
Kedua, ia mengungkapkan kecurangan dalam PPDB juga disebabkan mutu pendidikan yang “jomplang”.
Hal ini terlihat dari sejumlah sekolah negeri yang kekurangan murid, di sisi lain ada juga sekolah negeri yang peminatnya membludak.
“Jadi sekolah-sekolah kita ini mutunya nggak merata. Walaupun sekolah itu di samping rumah, walaupun sekolah itu sekolah negeri. Kalau enggak bermutu, ya kenapa orang tua daftarin anak ke situ? Ya pasti enggak lah, dia pengen anaknya yang terbaik,” kata Ubaid.
Terakhir, daya tampung PPDB tak memadai untuk menyerap calon peserta didik baru, hal yang melahirkan “sistem kompetisi” bagi orang tua berebut kursi sekolah, kata Ubaid.
“Jadi sekolah kok dikompetisikan? Ini enggak boleh ya. Sekolah itu hak dasar semua warga negara, negara wajib memfasilitasi, negara wajib membiayai. Yang mau daftar 500 ya sediakan bangku sekolah 500,” katanya.
Sebagai contoh, di Kota Depok. Menurut data spasial pemerintah Jawa Barat, jumlah lulusan SMP dan MTs tahun 2024 di Depok mencapai 28.308 siswa. Jumlah ini terpaut jauh dari kursi yang tersedia di SMA dan SMK Negeri hanya 5.619.
Dengan kata lain, satu calon peserta didik baru harus bersaing dengan lima kompetitornya untuk memperoleh kursi di PPDB. Data serupa juga hampir terjadi di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Persoalan utamanya, menurut Ubaid, peserta PPDB membludak sementara daya tampungnya sempit. Hal itu yang tidak diatur lebih rinci dalam kebijakan pemerintah, kata Ubaid.
Dalam hal kebijakan, Ubaid merujuk pada Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Aturan yang diterbitkan terdapat pasal yang menyebutkan kewajiban sekolah melaporkan kelebihan calon peserta didik ke dinas pendidikan.
Lalu, dinas pendidikan di daerah menyalurkan kelebihan peserta didik itu ke sekolah lain dalam wilayah zonasi yang sama.
Jika masih tidak tersedia, maka peserta didik disalurkan ke sekolah di luar wilayah zonasi atau di wilayah pemerintah daerah lain yang terdekat.
"Masalahnya, mekanismenya masih menggunakan sistem seleksi/sistem gugur alias kompetisi. Jadi ada yang lulus ada yang gagal. Bagaimana nasib yang gagal? Enggak jelas tanggung jawab pemerintahnya," kata Ubaid.
Ia juga menilai ketentuan ini "sangat komplikatif".
"Mestinya jika daya tampung sekolah negeri tidak mencukupi, pemerintah wajib melibatkan sekolah swasta untuk memenuhi kekurangan daya tampung," katanya.
Pemerintah kemudian membiayai siswa yang mau sekolah tersebut, karena hal ini sudah diamanatkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31).
“Sistemnya harus dibikin sistem yang semua anak punya hak yang sama. Negara menyediakan daya tampung dan pembiayaan,“ kata Ubaid.
Ia melanjutkan, pemerataan mutu pendidikan adalah mutlak, agar "favoritisme” terhadap sekolah-sekolah tertentu bisa hilang di tengah masyarakat.
Dirjen PAUD Dikdasmen, Iwan Syahril, belum menjawab dalam persoalan ini.
Sementara itu, Sekretaris Dirjen PAUD Dikdasmen, Praptono, mengeklaim, "meskipun PPDB ini penuh dengan dinamika, masih ada kelemahan dan kekurangan", tapi ada hasil lainnya yang dicapai.
Ia menyitir studi dari Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) di Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) di Kementerian Pendidikan. Isinya mengenai dampak dari PPDB lainnya:
Selain itu, pihaknya juga mengeklaim telah melibatkan sejumlah lembaga lain seperti KPK, Ombudsman, dan KPAI "untuk pengawasan bersama" PPDB tahun ajaran 2024/2025.
"KPK juga menerbitkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2024 dalam rangka untuk mendukung upaya pencegahan, khususnya pengendalian gratifikasi kepada penyelenggaraan PPDB," kata Praptono. (*)
Tags : Penerimaan Peserta Didik Baru, PPDB Online, modus kecurangan PPDB, pendidikan, modus calon murid bisa masuk sekolah negeri,