MORGAN MAZE, adalah duta Down Syndrome International (DSi) sekaligus bagian dari kelompok yang mengadvokasi down syndrome – kondisi keterbelakangan mental dan fisik yang dialami seseorang karena perkembangan kromosom yang tidak normal.
Pemuda Indonesia itu ternyata dapat menguasai tiga bahasa yang gemar memasak dan punya cita-cita memiliki restoran sendiri di hari kelak.
"Nama saya Morgan Maze, 25 tahun. Saya tinggal di Jakarta, Indonesia, bersama ibu saya."
“Saya bekerja sebagai asisten kelas di kelas online mingguan untuk remaja down syndrome yang dijalankan oleh organisasi saya YAPESDI,” kata Morgan.
Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) adalah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup para penderita down syndrome.
Morgan mewakili teman-temannya sesama orang dengan down syndrome dalam pertemuan organisasi tersebut.
Namun, Morgan juga memiliki kegemaran memasak.
"Dua kali dalam sepekan, saya bekerja di restoran sebuah galeri. Bekerja di restoran selalu menjadi pekerjaan impian saya karena saya gemar memasak.
"Suatu hari, saya ingin memiliki restoran saya sendiri, saya menyisihkan uang dari gaji saya dan pendapatan saya lainnya demi menggapai impian saya."
Ibunya, Dewi, menututurkan bahwa dia selalu berusaha memastikan Morgan sadar dan terlibat dalam aktivitas yang dia lakukan.
Dia menuturkan, beberapa tahun lalu saat membawa putranya bertemu dengan orang-orang dengan down syndrome untuk pertama kalinya, Morgan bertanya padanya mengapa dia bisa berkomunikasi dengan baik, tapi tidak demikian halnya dengan teman-temannya.
Mereka hanya bergumam dan Morgan hampir tidak mengerti percakapan mereka.
Dalam perjalanan pulang, Morgan kembali melontarkan pertanyaan mengapa teman-teman barunya tidak bisa berbicara dengan jelas.
Dia bilang dia ingin punya teman yang sama seperti dirinya, tapi juga ingin memahami mereka. Dia lantas bertanya kepada ibunya apakah dia bisa membantu mereka belajar berbicara.
Itu adalah awal mula Morgan dan sejumlah orang lain memulai organisasi bagi orang-orang dengan down syndrome.
Dewi mengatakan bahwa dia menemukan seorang donatur, yang memberi mereka dana untuk memulai kelas “Ayo Bicara”, dan kemudian mendirikan YAPESDI.
Morgan juga mengulas artikel teks untuk penyandang down syndrome, yang ditulis dalam 'Easy Language', bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas intelektual.
Bahasa tersebut menggabungkan kata-kata yang sederhana untuk dipahami.
“Sampai saat ini, saya satu-satunya penyandang down syndrome atau disabilitas intelektual yang dapat melakukan peer review dalam Easy Language atau [sebagai] reviewer Easy Read."
"Buku-buku yang saya tinjau bukan hanya yang diterbitkan oleh organisasi saya, tetapi organisasi lain juga meminta saya untuk meninjau laporan Easy Read mereka."
“Faktanya, saat ini saya sedang meninjau laporan survei tentang Hak-Hak [Orang] dengan down syndrome dalam Pendidikan, Kesehatan, Transportasi, Ketenagakerjaan, dan Layanan Perbankan,” kata Morgan.
“Di Indonesia, kebanyakan orang dewasa dengan down syndrome seperti saya tidak bekerja. Perusahaan menolak untuk mempekerjakan kami, atau takut mempekerjakan kami karena kami tidak terlatih untuk bekerja."
Hal itu memang benar, namun beberapa perusahaan kecil menawarkan pekerjaan kepada penyandang disabilitas. Sayangnya, banyak yang mengatakan sulitnya mendapatkan pekerjaan dan menghadapi diskriminasi ketika melamar pekerjaan.
“Tidak ada sekolah atau sekolah kejuruan yang siap mengajari kami cara bekerja.
"Hanya karena ibu saya dan... teman-temannya yang berjuang keras untuk saya dan melatih saya, maka sekarang saya bisa mempunyai pekerjaan atau proyek yang layak untuk dikerjakan,” tambah Morgan.
Terdapat beberapa sekolah khusus untuk penyandang disabilitas – namun hingga kini belum ada sekolah kejuruan khusus bagi penyandang disabilitas.
Ada juga beberapa asosiasi down syndrome yang memberikan pelatihan administrasi sederhana untuk pekerjaan kantor – namun itu terbatas dan tidak tersedia di seluruh Indonesia.
Morgan telah mengembangkan keterampilan lain:
“Sebagai seorang yang mengadvokasi diri sendiri, saya telah diundang untuk berbicara di banyak seminar, workshop atau acara di tingkat lokal dan internasional. Dan ya - saya menguasai tiga bahasa: Indonesia, Prancis, dan Inggris.
“Tetapi masyarakat di sini masih mempunyai stereotipe negatif terhadap kami. Pemerintah tidak berbuat banyak untuk kami.”
Pemerintah Indonesia mengeklaim telah mengakomodasi penyandang disabilitas sesuai dengan undang-undang, serta mengelola sekolah khusus bagi penyandang disabilitas.
Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 juga telah menetapkan persamaan hak bagi penyandang disabilitas.
Selain upah yang setara, undang-undang ini mengharuskan pemberi kerja untuk menyediakan akomodasi yang wajar dan menerapkan sanksi bagi ketidakpatuhan.
Undang-undang ini juga menetapkan kuota penyandang disabilitas dalam lapangan pekerjaan. Sebuah institusi di sektor publik harus memperkerjakan setidaknya 2% penyandang disabilitas dari seluruh karyawan, dan 1% dari seluruh karyawan bagi perusahaan di sektor swasta.
Morgan mengatakan dia menikmati aktivitas lain di luar pekerjaan:
“Selain bekerja – dan bekerja keras – saya juga menyukai dan bermain musik, suka bepergian, menonton film di akhir pekan, dan pergi ke bioskop. Film terakhir yang saya tonton di bioskop adalah Kung Fu Panda 4.
“Saya harap teman-teman semua bisa berbahagia seperti saya bahagia dengan hidup saya," kata dia. (*)
Tags : morgan maze, pemuda indonesia, morgan kuasai tiga bahasa, mrgan gemar memasak, morgan punya cita-cita miliki restoran sendiri,