News Kota   2025/08/23 20:1 WIB

Muflihun Berencana Bongkar Fakta di Balik Tuduhan Korupsi SPPD Fiktif, Praktisi Hukum: 'karena tak Tuntas Sebaiknya Terbitkan SP3'

Muflihun Berencana Bongkar Fakta di Balik Tuduhan Korupsi SPPD Fiktif, Praktisi Hukum: 'karena tak Tuntas Sebaiknya Terbitkan SP3'
Mantan Walikota Pekanbaru Muflihun

PEKANBARU - Raut wajah Muflihun tampak menahan beban yang berat. Tuduhan yang menyeret inisial 'M' yang banyak dikaitkan dengannya menjadi hantaman bertubi-tubi bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan karier politiknya.

Tetapi Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana menyikapi kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD (Setwan) Riau, tidak memiliki minimal dua alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan tersangka maka sebaiknya perlu duterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Larshen Yunus berpendapat kasus yang tidak tuntas sebaiknya diterbitkan SP3, karena SP3 hanya boleh diterbitkan jika ada alasan hukum yang kuat seperti tidak cukup bukti atau peristiwa bukan tindak pidana, bukan karena faktor seperti kesepakatan damai atau kepentingan pihak tertentu.

Menurutnya, penerbitan SP3 yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat menimbulkan masalah ketidakadilan dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang, sehingga kasus dapat dibuka kembali jika ada novum (bukti baru) atau melalui mekanisme praperadilan untuk menguji keabsahan SP3 tersebut. 

Tetapi alasan utama penerbitan SP3 dalam kasus tak tuntas berdasarkan: Pasal 109 ayat (2) KUHAP mengatur syarat-syarat spesifik untuk menghentikan penyidikan, yang meliputi tidak adanya cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, dan bukan kesepakatan damai atau pencabutan laporan polisi. 

SP3 yang diterbitkan tentu atas dasar hukum yang jelas dapat menjadi alat untuk "menghentikan" kasus, terutama terhadap kasus korupsi yang melibatkan tersangka dengan kekayaan besar atau pengaruh politik, yang dapat menimbulkan tarik-menarik kepentingan. 

Penyidik dapat menerbitkan SP3 berdasarkan alasan yang sudah diatur dalam undang-undang, seperti: Tidak ada cukup bukti, Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, Pelaku yang disangkakan meninggal dunia, Penyidikan dihentikan demi hukum. 

Pihak yang berkepentingan, seperti pelapor, dapat mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan untuk membatalkan SP3 dan memerintahkan penyidikan dilanjutkan. 

Diakuinya SP3 bukanlah putusan yang bersifat final atau nebis in idem (tidak dapat diadili lagi). Kasus yang sudah di-SP3 dapat dibuka kembali jika ditemukan novum atau bukti baru yang kuat atau melalui putusan praperadilan yang menyatakan SP3 tersebut tidak sah. 

Muflihu akhirnya memutuskan bicara di hadapan publik terkait tudingan keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD (Setwan) Riau.

Didampingi tim kuasa hukumnya dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Ahmad Yusuf, SH & Rekan (AYLawyers), Muflihun membantah keras tuduhan bahwa dirinya menikmati dana korupsi.

Selama satu tahun terakhir, Muflihun memilih diam. Namun diam itu bukan tanpa luka. Ia mengaku telah menghadapi tekanan luar biasa, dari stigma publik, pemberitaan negatif media, hingga kegagalan dalam Pilkada yang lalu.

Tak hanya dirinya, keluarganya pun ikut menanggung beban. Sang istri dan anak-anaknya menjadi sasaran cibiran, bahkan rumah pribadinya disita. Sang ibu, yang sedang sakit, menjadi korban lain dari badai yang belum reda.

“Sampai saya keluar rumah pun saya dianggap makan uang Rp198 miliar. Beban moral itu besar, kasihan istri, kasihan anak. Emak saya sakit,” ujarnya dengan suara tertekan kepada awak media, Kamis (19/6/2025).

Muflihun menegaskan, dirinya hanya berperan sebagai pengguna anggaran sesuai prosedur. Tugas teknis, katanya, berada di tangan bendahara dan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK).

"Saya hanya pengguna anggaran. Kalau saya tak sanggup menandatangani, saya tugaskan PPTK. Masa mereka tidak tahu uang keluar berapa,” ujarnya dengan nada kecewa.

Muflihun menyebut, pengguna SPPD tidak hanya Aparatur Sipil Negara (ASN), Tenaga Harian Lepas (THP) tapi juga anggota DPRD.

"Sama kami semua (pengguna SPPD), asal ada surat tugasnya. Kalau pegawai, Muflihun yang teken, kalau anggota DPRD, Ketua yang teken," paparnya.

Selain disebut-sebut dalam dugaan korupsi, ia juga mengalami kekalahan politik di Pilkada Pekanbaru. Langkahnya terhalang karena harus menghadapi panggilan kepolisian.

"Saya maju Pilkada, pendaftaran bulan Agustus, 12 Juli saya dipanggil Polda. Cari perahu susah, saya terganggu. Akhirnya saya kalah," sebutnya lirih.

Dalam pernyataan emosionalnya, Muflihun menegaskan bahwa ia telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada kuasa hukumnya untuk berbicara, menyikapi, serta mengatur strategi mencari kebenaran dalam permasalahan yang dihadapi.

Ia percaya bahwa jalan kebenaran hanya bisa dibuka lewat proses hukum yang adil dan transparan.
“Saya diam. Saya yakin Allah tidak tidur,” ungkapnya.

Muflihun juga secara terbuka meminta agar institusi penegak hukum, Kapolri, Kabareskrim, hingga Presiden RI turut mendengar suaranya. Ia menyatakan siap menjadi orang pertama yang akan membongkar secara terbuka kasus ini, demi kejelasan hukum dan keadilan.

“Saya berharap ini terbuka dan Kapolri dengar, Presiden dengar, Kabareskrim dengar. Apa yang sebenarnya terjadi? Rp198 miliar itu uang yang tidak sedikit," harapnya.

Diketahui, kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di Setwan Riau Tahun 2020-2021 merugikan negara Rp195,9 miliar, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau.

Setelah hasil audit dikantongi, penyidik Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau melakukan gelar perkara dengan Koordinator Staf Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri, Selasa (17/6/2025).

Hasil gelar perkara, dinyatakan inisial 'M' selaku Pengguna Anggaran dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka akan dilakukan di Polda Riau, setelah notulen gelar perkara dalam rangka asistensi penetapan tersangka ditandatangani Kakortas Tipikor Polri.

Selain itu, penyidik tengah mengelompokkan sejumlah pihak yang terlibat, baik mereka yang memiliki kewenangan besar dalam proses pencairan SPPD fiktif, maupun pihak-pihak yang menerima aliran dana dalam jumlah signifikan.

Kembali seperti disebutk Larshen Yunus, yang juga sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) tingkat I, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau itu katakan, bahwa Skandal Kasus Korupsi terkait Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Provinsi Riau Tahun Anggaran (T.A) 2020-2021 mesti diselesaikan.

Menurut Ketua DPD KNPI Provinsi Riau itu, perkara tersebut benar-benar telah menguras tenaga dan biaya yang cukup besar, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau pada akhirnya sudah bekerja keras, kendati Publik menilainya gagal dalam menghadirkan Supremasi Hukum.

"Perkara itu sudah terlalu lama ditangani mereka. Sudahlah! Jangan dilanjutkan lagi. Biarkan mereka mengurus perkara yang lain saja. Habis Anggaran Polri hanya untuk hal-hal yang tidak dapat diselesaikan. Kalau memang sesuai aturan, segera Terbitkan SP3nya" tutur Larshen Yunus, Ketua KNPI Provinsi Riau.

Menurut ya, kasus SPPD Fiktif dapat memperoleh Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: tidak terdapat bukti cukup: Penyidik tidak memiliki minimal dua alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan tersangka. Alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat/dokumen, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Berikutnya adalah Peristiwa Bukan Tindak Pidana: Penyidik berpendapat, bahwa peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Demi Hukum: Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk penghentian penyidikan demi hukum, yaitu: Nebis In Idem: Seseorang tidak dapat dituntut dua kali untuk perkara yang sama.

Tersangka Meninggal Dunia: Penyidikan dihentikan jika tersangka meninggal dunia karena pertanggungjawaban pidana adalah personal dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain.

Setelah itu yang sifatnya Kadaluwarsa: Penyidikan dihentikan jika perkara telah melewati batas waktu yang ditentukan oleh hukum, seperti 1 tahun untuk tindak pidana percetakan, 6 tahun untuk tindak pidana dengan ancaman pidana denda atau kurungan, 12 tahun untuk tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 3 tahun, dan 18 tahun untuk tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup.

Pencabutan Perkara Delik Aduan: Penyidikan dapat dihentikan jika pengaduan dicabut dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan untuk perkara yang bersifat delik aduan, tjutupnya. (*)

Tags : surat perintah perjalanan dinas, sppd, kasus sppd fiktif, korupsi sppd fiktif, pekanbaru , News Kota,