Sejarah   24-05-2025 9:49 WIB

Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah Dinobatkan Sebagai Sultan Asahan XIII Oleh Gubernur Sumatera Utara

Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah Dinobatkan Sebagai Sultan Asahan XIII Oleh Gubernur Sumatera Utara
Penyerahan pedang kepada Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah yang dinobatkan Sultan Asahan ke XIII.

TANJUNGBALAI - Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah dinobatkan menjadi Sultan Asahan XIII oleh Gubernur Sumatera Utara.

Ia menggantikan Sultan ke XII H.Tengku Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmadsjah yang mangkat pada Jumat 26 Mei 2023 lalu.

Acara penobatan Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah sebagai Sultan Asahan ke XIII berlangsung di Alun-alun (Lapangan Sultan Abdul Jalil Rahmadsjah) Kota Tanjung Balai, Kamis 10 Agustus 2024.

Penenobatan dilaksanakan berdasarkan kerapatan adat Melayu ditandai dengan pembacaan tarikh dan penyerahan pedang sekaligus penabalan (penobatan) oleh Tengku Aleksander yang bergelar Pangeran Mangkubumi.

Usai dinobatkan, Sultan Asahan XIII Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah didaulat membacakan ikrar yang intinya akan tetap menjaga dan memelihara adat tradisi budaya Melayu.

Masa Gubernur Sumatera Utara dijabat Edy Rahmayadi yang bergelar Laksamana Naradiraja Asahan, berpesan kepada Sultanan Asahan agar mengembalikan kebesaran Melayu dengan menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi Melayu.

"Saya ingin semua kesultanan Melayu ini mulai dari Langkat sampai ke Asahan bersatu dan saling menguatkan," ujar Gubernur yang hadir bersama Ketua TP PKK Sumut Nawal Lubis.

Khusus untuk Kesultanan Asahan, Edy Rahmayadi menyampaikan tentang banyaknya peninggalan sejarah peradaban Melayu seperti di Kabupaten Asahan maupun Kota Tanjung Balai dahulunya merupakan satu wilayah administratif, yang harus dijaga kelestariannya.

Ia juga berpesan kepada Sultan ke XIII menghormati seluruh keturunan Sultan sebagai adat istiadat yang tak lepas dari Islamiyah, yang tidak bisa ditinggalkan.

"Sultan merupakan titisan darah, penabalan bukan aqidah tetapi tradisi Melayu yang tidak bisa ditinggalkan. Demikian juga bahwa Tanjung Balai merupakan tanah bertuah dimana banyak lahir petinggi-petinggi negeri. Untuk itu mari kita lestarikan adat tradisi Melayu," pesan Edy Rahmayadi.

Edy Rahmayadi menambahkan, sudah selayaknya pemerintah Kota Tanjung Balai dan Kesultanan Asahan menjalin kerjasama untuk memajukan daerah karena ikon-ikon kebudayaan Tanjung Balai tidak akan bisa lepas daripada eksistensi Kesultanan Asahan itu sendiri.

Dalam kesempatan itu Edy Rahmayadi didampingi Wali Kota Tanjung Balai H. Waris Thalib melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan replika Istana Sultan Asahan yang berlokasi disekitar Alun-alun Kota atau Lapangan Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah.

"Saya ingin semua kesultanan Melayu ini mulai dari Langkat sampai ke Asahan bersatu dan saling menguatkan," ujarnya yang hadir bersama Ketua TP PKK Sumut Nawal Lubis.

Khusus untuk Kesultanan Asahan, Edy Rahmayadi menyampaikan tentang banyaknya peninggalan sejarah peradaban Melayu seperti di Kabupaten Asahan maupun Kota Tanjung Balai dahulunya merupakan satu wilayah administratif, yang harus dijaga kelestariannya.

Edy Rahmayadi juga berpesan kepada Sultan ke XIII menghormati seluruh keturunan Sultan sebagai adat istiadat yang tak lepas dari Islamiyah, yang tidak bisa ditinggalkan.

"Sultan merupakan titisan darah, penabalan bukan aqidah tetapi tradisi Melayu yang tidak bisa ditinggalkan. Demikian juga bahwa Tanjung Balai merupakan tanah bertuah dimana banyak lahir petinggi-petinggi negeri. Untuk itu mari kita lestarikan adat tradisi Melayu," pesan Edy Rahmayadi.

Sejarah

Kesultanan Asahan adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kesultanan Asahan menyatu ke dalam negara Republik Indonesia pada tahun 1946.

Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19. 

Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda, ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah Asahan.

Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan.

Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja Simargolang.

Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai".

Sultan Pertama

Dari hasil perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu” lahirlah seorang putera yang bernama Abdul Jalil yang menjadi cikal bakal dari kesultanan Asahan.

Abdul Jalil dinobatkan menjadi Sultan Asahan I. Pemerintahan kesultanan Asahan dimulai tahun 1630 yaitu sejak dilantiknya Sultan Asahan yang I s/d XI.

Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh.

Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja.

Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Kawasan Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.

Pada tanggal 12 September 1865, kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda. Sejak itu, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda.

Kekuasaan pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu:

  • Onder Afdeling Batubara
  • Onder Afdeling Asahan
  • Onder Afdeling Labuhan Batu

Sampai sekarang Kesultanan Asahan sudah memiliki 13 orang Sultan yang berkuasa, walaupun Sultan terakhir lebih merupakan Kepala Keluarga dari kerabat kerajaan yang masih ada. Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil, adalah putera Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh yang menikah dengan Siti Ungu Putri Berinai (Siti Unai), puteri Raja Halib (al-Marhum Mankat di-Jambu), dari Pinangawan.

Ali Mughayat Syah
    
Raja Abdul Jalil Shah I (1) m. 1630–?

Raja Said Shah (2) m. 1600s–1700s

Raja Muhammad Mahrum Shah (3) m. 1700s–1760

Raja Abdul Jalil Shah II (4) m. 1760–1765

Raja Dewa Shah (5) m. 1765–1805

Raja Said Musa Shah (6) m. 1805–1808

Raja Muhammad Ali Shah (7) m. 1808–1813

Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I (8) m. 1813–1859

Sultan Ahmad Shah (9) m. 1859–1888

Tengku Muhammad Adil

Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II (10) m. 1888–1915

Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmad Shah III (10) m. 1915–1980

Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmad Shah (11) m. 1980–present

Kehidupan Sosial Budaya

Tetapi sSebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebudayaan Islam, di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik.

Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syekh Abdul Hamid.

Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau.

Syekh Abdul Hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu.

Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mazhab Syafi'i.

Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau.

Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah.

Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini.

Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid.

Dalam perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan.

Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972).

Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:

  • Ad-Durusul Khulasiyah
  • Al-Mathalibul Jamaliyah
  • Al-Mamlakul `Arabiyah
  • Nujumul Ihtida (نجوم الإهتداء)
  • Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba
  • Al-Ittiba
  • Al-Mufradat
  • Mi`rajun Nabi

(*)

Tags : Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah, Sultan Asahan XIII, Gubernur Sumatera Utara Nobatkan Sultan Asahan,