Kesehatan   2020/09/06 12:07:00 PM WIB

Mutasi Virus Corona D614G Kemungkinan Memiliki Tingkat Penularan Lebih Tinggi

Mutasi Virus Corona D614G Kemungkinan Memiliki Tingkat Penularan Lebih Tinggi

KESEHATAN - Mutasi virus corona D614G (atau G614), yang telah ditemukan di Indonesia, diindikasikan memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan virus aslinya, yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, China.

Meski begitu, pemerintah sejauh ini belum menyimpulkan potensi penularan G614 seperti apa, juga mengatakan belum ada bukti bahwa virus ini akan memperparah gejala Covid-19. Sementara, menurut seorang ahli biologi molekuler menyebut mutasi itu kurang dari satu persen, sehingga "sifatnya sama dengan virus corona yang ada", dan "tak akan mempengaruhi proses pembuatan vaksin yang tengah berjalan".

Namun, yang perlu dikhawatirkan, katanya, adalah kepatuhan warga akan protokol pencegahan Covid-19, yang akan berdampak pada penularan virus corona. 

Mutan virus corona 'masuk Indonesia sejak April'

Mutan virus corona, G614, atau yang biasa disebut juga D614G, sebetulnya sudah masuk ke Indonesia sejak April lalu, kata Anggota Tim Riset Covid-19 Universitas Airlangga, Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih. Jenis virus itu berbeda dengan virus yang datang dari China, yang disebut dengan D614.

Saat itu, data yang diteliti terkait mutan itu masih sangat minim, maka belum dimaknai apapun. Kini, lima bulan berselang, varian virus serupa mulai ditemukan dan diteliti di sejumlah daerah di Indonesia. Sementara, di tingkat internasional, varian virus itu kini mendominasi, kata Ni Nyoman. 

Ia merujuk data GISAID, organisasi nirlaba internasional, yang mempelajari genome virus flu dan corona baru. "Data di GISAID itu sekitar 92.000, sebanyak 63.000 adalah mutan G614. Artinya sudah 77.5 persen... artinya penyebaran mutan ini cepat sekali karena menguasai hampir 80 persen total data virus di GISAID," ujarnya.

Pada pertengahan Agustus, Menteri Kesehatan Malaysia mengatakan varian virus itu 10 kali lebih menular dibandingkan virus aslinya. Sementara, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang kini tengah mengembangkan vaksin Covid-19, bernama vaksin Merah Putih dengan dukungan pemerintah, menjelaskan kemampuan virus itu masuk ke dalam sel atau yang disebut infectivity rate cukup tinggi.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menjelaskan temuan itu baru didapat di laboratium, belum dari komunitas. "Kemampuan itu 10 kali lipat, itu yang diamati di laboratorium. Bukan menyebar ke orang lainnya 10 kali lipat lebih cepat atau banyak.. tidak langsung berkaitan dengan penyebaran. "Lebih terkait ke infectivity-nya di laboratorium bukan dari manusia ke manusia," ujarnya dirilis BBC News Indonesia.

Apakah akan sakit parah?

Meski begitu, masih belum jelas, apakah varian virus baru itu akan membuat seseorang akan mengalami sakit yang lebih parah. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah belum bisa menyimpulkan dampak mutan itu ke penularan.

"Kami melihat dengan deteksi RNA Sars-Cov-2 ini, biasanya lebih tinggi lewat usap mulut dan hidung. Dan sebenarnya itu belum tentu cerminan dari potensi penularan. Yang jelas memang menginfeksi, namun potensi penularannya seperti apa, belum dapat disimpulkan saat ini," ujarnya.

Ia juga merujuk studi di Inggris dan Amerika Serikat yang mengatakan belum ditemukan bukti mutan itu menyebabkan kenaikan tren rawat inap di negara-negara itu. "Bukti saat ini menunjukkan bahwa D614G belum terlalu penting dibandingkan faktor risiko lainnya seperti usia dan penyakit penyerta. Namun perlu kami pastikan bahwa proses penelitian dan investigasi tentang sebaran kasus atau virus ini. Tentunya dilakukan oleh lembaga penelitian bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan."

Bagaimana pengaruhnya pada persiapan vaksin?

Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdjan Utomo menjelaskan bahwa mutasi adalah hal yang normal dilakukan virus. Sejauh yang diketahuinya, mutasi ini belum mengubah sifat virus, terutama bagian virus, yang bernama domain pengikat reseptor (RBD) yang bertugas menjangkiti bagian protein manusia, yang disebut ACE-2. "Sejauh ini, varian-varian yang ada, mutasi yang ada belum satu pun yang bisa menimbulkan perubahan perilaku virus untuk menempel di ACE-2. Daerah yang dikenali vaksin masih bisa dikenali," ujarnya.

Ia menambahkan mutasi ini sangat kecil atau di bawah satu persen. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio juga mengungkapkan hal senada dan meyakini mutasi tak akan mempengaruhi vaksin yang telah dibuat lembaganya. Di sisi lain, Universitas Airlangga, yang kini dalam proses pembuatan vaksin, memasukkan mutan G614 sebagai bahan pembanding vaksin yang mereka buat. 

Mereka juga memasukkan mutan lain, yakni Q677H, yang baru ditemukan satu di Indonesia, yakni di Surabaya. "Mutan ini kami ikutkan dalam desain kami... Nanti kita bandingkan mana yang lebih baik dalam respons imunnya terhadap sel inang," ujar ahli biologi molekuler Unair Ni Nyoman Tri Puspaningsih.

Apa kata pemerintah?

Sementara itu dalam jumpa pers pada Rabu (02/09), Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro yang mengawal proses pembuatan vaksin menegaskan bahwa belum ada bukti mutasi virus corona ini berdampak pada penyebaran ataupun keparahan penyakit Covid-19.

"Mutasi ini tidak akan menganggu upaya pengembangan vaksin, karena tidak menyebabkan perubahan struktur vaksin. Upaya pengembangan vaksin tidak akan terganggu," tegasnya.

Khusus vaksin yang dikembangkan Eijkman, prosesnya sudah 40% dari seluruh tahapan. Harapannya akhir tahun bisa dilakukan uji terhadap hewan sehingga awal tahun bisa uji klinis. Dan diharapkan di triwulan III 2021 vaksin merah putih bisa diproduksi untuk keperluan publik. 

Sejauh mana masyarakat perlu khawatir?

Pakar biologi molekuler Achmad Rusdjan Utomo mengatakan yang mengkhawatirkan bukanlah mutasi virus itu, namun perilaku warga, yang jika semakin abai menerapkan protokol pencegahan Covid-19, akan memudahkan penularan virus corona. "Saya lebih khawatir sama manusia, perilaku kita sendiri. Sama virusnya saya ga khawatir, virusnya sama aja ya, cuma segitu. Tapi perilaku manusia yang saya khawatirkan.

"Virus secara genetik tidak berubah, masih lestari, tapi perilaku kita yang bisa membuat seakan-akan virus makin ganas. Kalau kita abai protokol kesehatan, banyak yang tertular, masuk RS, itu salah kita," pungkasnya. (*)

Tags : virus corona D614G, Mutasi covid-19, virus D614G Penularan Lebih Tinggi,