Artikel   2024/08/01 15:20 WIB

Nasib Calon Pekerja Pemetik Buah Musiman Indonesia, 'Masih Terkatung-katung karena Tak Kunjung Diberangkatkan ke Inggris'

Nasib Calon Pekerja Pemetik Buah Musiman Indonesia, 'Masih Terkatung-katung karena Tak Kunjung Diberangkatkan ke Inggris'
Sebagian tenaga kerja Indonesia telah menerima panggilan untuk kembali bekerja di sektor hortikultura di Inggris, tetapi izin agen mereka sudah dicabut oleh pihak berwenang Inggris.

TOTOK, seorang calon Pekerja Migran Indonesia [PMI] mengaku resah. Dia sudah dinyatakan lulus pada tahap skrining awal untuk dapat bekerja sebagai pemetik buah di Inggris. 

“Saya juga sudah menyetor uang Rp5 juta lewat Forkom. Dijanjikan berangkat bulan Juli, mundur lagi dijanjikan berangkat Agustus. Sekarang belum pasti, ya resah” kata Totok.

Para PMI salah satunya Totok nasibnya masih terkatung-katung karena tak juga diberangkatkan ke Inggris.

Ada sebanyak 145 orang baru diberangkatkan sebagai pekerja musiman di perkebunan Inggris tahun ini, dari permintaan 500 PMI yang sedianya akan ditempatkan. Padahal, saat ini musim petik sedang mencapai puncaknya.

Mereka diberangkatkan oleh PT Mardel Anugerah Internasional, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia [P3MI].

Perusahaan itu bermitra dengan AGRI-HR, salah salah satu perusahaan Inggris yang mengantongi lisensi dari pemerintah negara itu sebagai operator untuk mendatangkan pekerja musiman sektor perkebunan.

Forkom [forum komunikasi] merupakan kelompok pekerja yang dibentuk oleh para mantan pemetik buah pengiriman tahun 2022.

Secara resmi, Forkom tidak boleh melakukan perekrutan. Pengurus Forkom membantah melakukan perekrutan untuk PT Mardel.

Seorang pelamar lainnya, Mamat - nama panggilannya - mengeklaim sudah melewati tiga tahapan tes dan mengeluarkan biaya lebih dari Rp6 juta.

Uang itu, tambahnya, dibayarkan ke Forkom.

Mamat belum sampai menyetor biaya resmi ke PT Mardel untuk pemberangkatan ke Inggris.

Dia mengeklaim penarikan dana tetap dilakukan dalam proses seleksi berupa pembayaran di muka Rp1,5 juta, walau uang itu kemudian dikembalikan.

Pihak AGRI-HR menegaskan tidak boleh ada biaya di luar ketentuan.

Ini sesuai dengan keterangan Direktur AGRI-HR, Jan-Willem Naerebout, bahwa para pekerja tidak dibenarkan membayar biaya apapun di luar ketentuan.

“Sampai sekarang saya sudah habis-habisan, terkatung-katung dan tidak kunjung berangkat. Saya kecewa dan resah,” ungkap Mamat.

Dia semakin resah ketika baru belakangan mengetahui bahwa umurnya dipermasalahkan padahal waktu skrining umur tidak dijadikan patokan.

Dua calon PMI tersebut mengaku tidak keberatan mengeluarkan dana lebih di atas patokan resmi asal ada kepastian pemberangkatan.

Merespons keresahan calon pekerja, Direktur Utama PT Mardel, Delif Subeki, mengatakan pihaknya sudah memberitahukan kepada para calon tenaga kerja yang telah mendaftar secara daring dan telah mengikuti seleksi mengenai keadaan sebenarnya.

“Bahwa kemungkinan mereka tidak bisa ditempatkan pada tahun 2024 karena keterbatasan order dari pihak farm (perkebunan), dan mayoritas mereka menyatakan sanggup menunggu sampai dengan penempatan 2025 bila masih memungkinkan,” kata Delif Subeki pada media, Kamis (25/07).

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam proses seleksi pun terjadi upaya penyuapan melalui stafnya dari para kandidat yang telah dinyatakan gagal.

"Ada bilang mau nambahin Rp10 juta lah. Tapi kita tahu itu di belakangnya ada recruiter/pihak ketiga," ungkapnya

Direktur AGRI-HR, Jan-Willem Naerebout, mengatakan realisasi penempatan dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak perkebunan.

“Sejauh ini kami mendapat permintaan dari perkebunan untuk 158 orang Indonesia. Jumlah permintaan pekerja secara bergelombang sebanyak 500 orang disepakati dengan kedutaan,” kata Jan-Willem Naerebout.

PT Mardel menyatakan rekrutmen untuk pekerja musiman ke Inggris tahun ini ditutup sejak Februari karena sudah mempunyai cukup pelamar untuk memenuhi kuota.

Adapun AGRI-HR menyatakan perekrutan serta merta dihentikan begitu muncul isu pungutan di luar biaya resmi.

“Begitu AGRI-HR mengetahui adanya tuduhan-tuduhan, mereka melaporkan hal ini kepada pihak terkait, GLAA dan Kedutaan Besar Indonesia di London. Penyelidikan sedang berlangsung dan berada pada tahap awal," terang Jan-Willem Naerebout.

GLAA adalah badan di Inggris yang menangani buruh dan pelanggaran hak-hak buruh. GLAA mengeluarkan izin dan kemudian mengawasi seluruh perusahaan perekrutan, termasuk operator pekerja musiman.

Dari jumlah 145 orang yang diberangkatkan ke Inggris sejauh ini, lima di antara mereka sudah diberhentikan kurang dari satu setengah bulan bekerja lantaran dinyatakan gagal mencapai target pemetikan buah.

Tiga orang di antara mereka langsung dipulangkan ke Indonesia kendati sedianya mereka bekerja selama enam bulan.

Adapun dua lainnya menolak pulang. Mereka masih bisa bekerja berkat bantuan seorang aktivis hak buruh migran.

Menurut Direktur AGRI-HR, Jan-Willem Naerebout, setiap perusahaan perkebunan mempunyai target minimal masing-masing dan fakta tersebut sudah dijelaskan kepada para calon tenaga kerja dalam proses perekrutan.

“Kelima pekerja mendapat masing-masing tiga kali peringatan guna meningkatkan kecepatan kerja. Malangnya, meskipun diberi pelatihan lebih lanjut dan penugasan berbeda, kelima pekerja tetap tidak mencapai target.”

Akibatnya, mereka diberhentikan. Salah satu dari mereka mengaku gaji yang sempat diterima belum bisa menutup total biaya keberangkatan sekitar Rp40 juta, yang terdiri dari biaya keberangkatan resmi Rp33 juta ditambah pungutan-pungutan dan transportasi antar kota.

Menurut pekerja yang meminta namanya tidak disebutkan itu, pemberhentian berawal dari salah paham dalam komunikasi dengan mandor.

Dia mengira selama tiga hari pertama tidak dituntut untuk memenuhi target perolehan buah, melainkan pelatihan belaka.

“Katanya disuruh memetik buah yang bagus saja, tidak mengejar target. Ternyata tetap dikenakan target dan saya tidak mencapai target,” kata pekerja tersebut.

Insiden pemecatan lima PMI dari sebuah perkebunan di Inggris itu kemudian mencuatkan isu peka terkait dugaan pungutan biaya di luar acuan biaya penempatan.

Beberapa pekerja mengeklaim biaya yang mereka keluarkan lebih besar dari yang dipublikasikan.

Masalah pembebanan biaya berlebih muncul dalam penempatan tahun 2022 yang antara lain mengakibatkan pengiriman tenaga kerja ke Inggris pada 2023 dihentikan.

Pemerintah Inggris melarang segala bentuk pungutan kepada pelamar untuk mencarikan kerja atau berupaya mencarikan kerja.

Direktur Utama PT Mardel, Delif Subeki menegaskan perusahaannya tidak menarik uang di luar biaya acuan yang diputuskan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Acuan biaya penempatan PMI ke Inggris kurang dari Rp40 juta.

“Kami dengan jelas telah menyampaikan dan menegaskan kepada pelamar baik itu dalam tahapan diseminasi informasi, presentasi, face to face/final interview, dan terakhir ketika briefing satu hari sebelum pemberangkatan bahwa PT Mardel tidak menggunakan atau bekerja sama dengan pihak ketiga manapun dalam rekrutmen dan para pelamar nanti mampu untuk membiayai biaya visa, tiket PP, medical check up, asuransi dan biaya lain sesuai dengan ketentuan pemerintah RI.”

Ditambahkan Delif pekerja baru diminta membayar biaya itu setelah lulus tahapan wawancara tatap muka.

Kenyataannya sejumlah pekerja mengeklaim mereka yang mendaftar lewat Forkom diminta menyetor uang sedari awal.

Beberapa di antara mereka menunjukkan bukti transfer dana.

Di sisi lain, banyak pula PMI yang membayar sesuai dengan plafon yang ditetapkan.

Koordinator Forkom PMI, Agus Hariyono, membantah organisasinya menarik biaya untuk pengiriman tenaga kerja ke Inggris sebagai pekerja musiman.

Dia menegaskan apa yang dikenakan adalah biaya keanggotaan organisasi.

“Dan sifatnya sukarela adalah sebesar Rp1,5 juta untuk keperluan biaya operasional organisasi. Selain itu tidak ada biaya lain, dan biaya-biaya keberangkatan CPMI (calon pekerja migran Indonesia) pun dibayarkan langsung ke PT Mardel melalui rekening pribadi masing-masing CPMI, dengan estimasi total biaya keberangkatan adalah Rp33 juta sesuai apa yang disampaikan pada saat tahapan screening oleh PT Mardel,” jelasnya.

Ketika penempatan tenaga kerja musiman ke Inggris dihentikan pada 2023 karena banyak PMI yang dikirim tahun sebelumnya kabur, Forkom aktif melakukan lobi-lobi ke pemerintah dan DPR dengan tujuan pengiriman PMI ke Inggris dapat dilanjutkan.

Baik PT Mardel maupun Forkom membantah Forkom terlibat dalam perekrutan calon tenaga kerja yang hendak dikirim oleh PT Mardel ke Inggris. Keduanya mengakui Forkom dilibatkan dalam pembekalan untuk berbagi pengalaman bekerja di perkebunan.

Sejauh ini belum ada tenaga kerja yang melaporkan dugaan pungutan di luar biaya resmi kepada penegak hukum.

Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama di Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI], Sri Andayani, mengatakan lembaganya berencana akan melakukan pemanggilan dalam rangka mediasi antara perusahaan pengirim atau P3MI dan PMI.

“Apabila dari bukti-bukti yang ada ternyata benar terjadi pungutan biaya tambahan di luar acuan resmi/ketentuan yang sudah ditetapkan maka P3MI harus mengembalikan dana yang diduga overcharging. Waktu pengembalian berdasarkan kesepakatan para pihak,” jelasnya.

Tahun ini Inggris kembali mengambil tenaga kerja asal Indonesia untuk ditempatkan di sektor perkebunan melalui skema pekerja musiman [seasonal worker scheme].

Rombongan pertama terdiri dari 19 orang yang diberangkatkan pada pertengahan Mei lalu.

Mereka diharuskan mendaftar secara online, mengikuti proses skrining – serangkaian tes dan pemeriksaan – terkait penguasaan Bahasa Inggris, pengetahuan tentang pertanian, dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Mereka juga diharuskan melakukan pembayaran melalui rekening atas nama mereka sendiri.

Bagaimanapun, di balik perbaikan dalam proses perekrutan tetap muncul celah terkait pembebanan biaya kepada pekerja.

Dugaan penarikan dana berlebih dalam tempo dua tahun oleh agen maupun pihak ketiga di Indonesia, menurut aktivis hak-hak buruh migran Andy Hall, “tentu akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berisiko tinggi sebagai sumber tenaga kerja migran yang menguntungkan seperti skema pekerja musiman Inggris.”

Sektor perkebunan di Inggris telah lama tergantung pada pekerja musiman guna merawat, memanen buah dan sayur hingga mengepak.

Kebutuhan akan pekerja semakin bertambah setelah Brexit atau Inggris menarik diri dari keanggotaan Uni Eropa pada 2020.

Sebelum Brexit, para pekerja datang dari negara-negara Eropa timur tanpa perlu visa kerja ke Inggris.

Masalah pekerja musiman ini semakin pelik ketika pecah perang Ukraina karena banyak warga negara itu tidak bisa mengisi pekerjaan di sektor perkebunan dan peternakan Inggris.

Adapun jenis buah yang dipanen meliputi apel, pir, stroberi, frambusia dan lainnya. Musim petik biasanya berlangsung mulai April atau Mei.

Di Inggris, pekerja musiman mendapat visa kerja selama enam bulan dengan gaji sesuai standar upah minimum sebesar £11,44 (sekitar Rp239.000) per jam.

Gaji tersebut belum dipotong pajak pendapatan sebesar 20%, biaya akomodasi, makan, transportasi dan pengeluaran-pengeluaran pribadi lainnya.

Pada 2024, pemerintah Inggris menetapkan kuota 47.000 pekerja musiman dari luar negeri. Dari jumlah itu, sektor perkebunan mendapat jatah 45.000 orang dan sisanya untuk sektor peternakan.

Di samping Indonesia, pemetik buah didatangkan dari negara-negara seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Bulgaria. (*)

Tags : calon pekerja pemetik buah, pekerja musiman indonesia, nasib pekerja pemetik buah terkatung-katung, nasib pekerja pemetik buah yang tak kunjung diberangkatkan ke inggris', Pekerja migran, pekerjaan,