Headline Riau   2024/09/11 22:17 WIB

Nasib Kelas Menengah Sering Terjebak Diposisi Serba Salah, 'Jadi Banting Tulang, Makan Tabungan dan Penuh Kekhawatiran'

Nasib Kelas Menengah Sering Terjebak Diposisi Serba Salah, 'Jadi Banting Tulang, Makan Tabungan dan Penuh Kekhawatiran'

SOSIAL - Kelas menengah dan calon kelas menengah sering terjebak di posisi serba salah. Banyak di antaranya bergaji pas-pasan, tapi tak dianggap cukup susah untuk mendapat bantuan pemerintah. Padahal, tekanan ekonomi yang dihadapi besar.

Di saat biaya hidup terus meningkat, mereka kerap terpaksa makan tabungan atau menarik pinjaman online.

Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir.

Pemerintah menunjuk pandemi Covid-19 sebagai kambing hitam, tapi ekonom menilai persoalannya tak sesederhana itu.

Setiap kali gajian, Dewi merasa ia justru kian “stres”.

“Aduh, ini kok cuma segini,” begitu ia biasa membatin.

Dewi, 26 tahun, adalah penulis konten yang berdomisili di Kota Pekanbaru.

Gaji bulanannya di sebuah perusahaan media “ngepas” dengan upah minimum di Kota Pekanbaru sebesar Rp2,49 juta.

Karena ada sejumlah potongan, termasuk untuk jaminan sosial, gaji bersihnya hanya Rp2,39 juta.

Setiap bulan, ibunya yang bekerja di Malaysia sebagai pengasuh anak dan lansia juga mengirimkan Rp3,5 juta.

Maka, Dewi total menerima Rp5,89 juta per bulan, yang mesti ia kelola untuk kebutuhan hidup ayah, adik, dan dirinya sendiri.

Ayahnya kini berusia 60 tahun dan tidak lagi bekerja, sementara adiknya masih berkuliah.

Sebagai perbandingan, rata-rata nilai konsumsi satu rumah tangga di Kota Pekanbaru menyentuh Rp7,02 juta per bulan, merujuk hasil Survei Biaya Hidup 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengeluaran bulanan keluarga Dewi ada di bawah rata-rata. Namun tetap saja, ia ngos-ngosan berusaha mencukupi segala keperluan.

Setidaknya Rp1,3 juta habis setiap bulannya untuk kebutuhan makan Dewi beserta adik dan ayahnya.

Sekitar Rp1,25 juta dikeluarkan untuk biaya bensin dan servis sepeda motor, pulsa dan paket internet ponsel, iuran BPJS Kesehatan keluarga, tagihan listrik, dan, tidak lupa, makanan tiga kucing peliharaan Dewi.

Dewi pun menyisihkan Rp350.000 untuk uang saku adiknya serta Rp1,5 juta untuk uang kuliah tunggal (UKT) sang adik yang mesti dibayar tiap semester.

Di luar itu semua, Dewi menabung Rp1 juta untuk biaya pernikahannya serta Rp200.000 untuk dana darurat dan tabungan pensiun.

Ada pula pos “jajan” tiap bulan sebesar Rp300.000, yang digunakan misalnya untuk membeli produk kecantikan atau sesekali makan di restoran.

Setelah ditotal, kebutuhan rutin keluarga Dewi mencapai sekitar Rp5,9 juta per bulan, pas dengan jumlah gaji Dewi plus uang kiriman dari ibunya.

Karena itu, bila ada pengeluaran dadakan, misalnya saat ponsel bapaknya atau sepeda motornya rusak, Dewi terpaksa “makan tabungan”.

“Jadi memang bukannya bertambah, kadang [tabungan] malah makin berkurang karena ada kebutuhan-kebutuhan yang mendadak,” kata Dewi.

Melihat keuangan keluarga Dewi, mereka bisa dikatakan merupakan “calon kelas menengah”, kelompok masyarakat dengan pengeluaran berkisar dari Rp874.398 hingga Rp2,04 juta per kepala per bulan menurut definisi Bank Dunia.

Calon kelas menengah adalah kelompok sosial ekonomi terbesar di Indonesia.

Pada periode 2019-2024, jumlahnya bertambah 8,65 juta hingga menyentuh 137,5 juta orang, atau setara 49,2% dari total populasi.

Kelompok terbesar kedua adalah kelompok “rentan miskin”, dengan pengeluaran Rp582.932 hingga Rp874.398 per bulan.

Selama lima tahun terakhir, jumlah warga rentan miskin bertambah 12,72 juta orang. Per 2024, angkanya mencapai 67,69 juta, atau 24,23% dari total populasi.

Di saat jumlah warga calon kelas menengah dan rentan miskin terus bertambah, penduduk kelas menengah justru kian menyusut.

Sepanjang 2019-2024, warga kelas menengah berkurang 9,48 juta orang menjadi hanya 47,85 juta.

Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam.

Semua itu menunjukkan betapa rentannya kelas menengah dan calon kelas menengah Indonesia untuk “turun kelas”.

Dalam kasus Dewi, ia masih mendapat kiriman uang rutin dari ibunya di Malaysia untuk mencukupi kebutuhan keluarga di Kota Pekanbaru.

Namun, Dewi sadar, itu tak akan selamanya. Suatu hari, ibunya akan berhenti bekerja dan Dewi akan jadi bagian dari generasi sandwich: mereka yang harus menanggung biaya hidup diri sendiri, anak, serta orang tua.

“Saya tuh sering khawatir, saya ke depannya bakal kayak gimana?” kata Dewi.

“Saya itu sampai benar-benar enggak doyan makan mikirin itu. Overthinking banget. [Sekarang] saya belum generasi sandwich, tapi saya merasa suatu saat kayaknya hidup saya bakal susah.”

Setumpuk duka hadir setelah gempa besar berkekuatan 7,6 skala Richter menghantam Sumatra Barat pada September 2009 lalu.

Saat itu, 1.117 orang jadi korban jiwa, sementara 135.448 rumah tercatat rusak berat dan 65.380 lainnya rusak sedang.

Rumah Alya, (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu yang runtuh ketika dihajar gempa tersebut.

Menurut cerita orang tua Alya, rumah itu baru selesai dibangun dengan modal pinjaman.

Ia belum sempat dicat atau bahkan ditempati, tapi lantai keramik telah terpasang rapi.

Alya, yang saat kejadian baru berusia tujuh tahun, heran melihat rumahnya roboh. Apalagi, banyak rumah lain di sekitar yang masih berdiri tegak pascagempa.

Orang tuanya bilang, itu karena rumah dibangun tanpa melibatkan arsitek. Semua diserahkan kepada “tukang andalan keluarga”.

Polos, Alya kecil berkata, “Ya sudah, aku besok jadi arsitek aja biar bisa bangun rumah.“

“Tunggu aku gede ya. Nanti aku bikinin rumah.“

Selewat 12 tahun, mimpi Alya kecil kian dekat dengan kenyataan. Ia diterima di program studi arsitektur di salah kampus top di Pulau Jawa.

Sedari awal, orang tuanya pun mendukung Alya berkuliah di Pulau Jawa agar ia bisa mendapat pengalaman hidup dan pendidikan lebih baik.

Masalahnya, kampus menetapkan Alya harus membayar uang kuliah tunggal (UKT) sebesar Rp8 juta per semester. Ini adalah UKT terbesar kedua untuk program studi arsitektur di kampus itu.

Berulang kali Alya mengajukan keringanan ke kampus, tapi selalu ditolak. Kampus bilang, “Tidak ada urgensi.”

Alya menduga ini terjadi karena ayahnya adalah administrator berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sebuah rumah sakit di Sumatra Barat.

Padahal, meski ayahnya PNS, gajinya hanya Rp2,5 juta per bulan.

Dengan gaji itu, sang ayah mesti menghidupi Alya, adiknya yang masih di bangku SMA, dan ibunya yang sehari-hari mengurus rumah tangga.

"Anak PNS tuh enggak boleh dapat Surat Keterangan Tidak Mampu. Padahal, sebenarnya gaji ayahku cuma Rp2,5 juta per bulan," kata Alya.

Sebagai anak PNS, Alya bilang ia tidak bisa menerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

Status anak PNS pun diduga memberatkannya ketika menjajal beasiswa lain.

Alya, misalnya, pernah mendaftar program Beasiswa Unggulan dari pemerintah, tapi gagal di tahap wawancara akhir setelah mengungkapkan pekerjaan ayahnya.

Melihat kondisi ini, Alya berinisiatif mencari kerja paruh waktu sejak kuliah semester kedua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di perantauan.

Dengan begitu, orang tuanya tinggal fokus mencari uang untuk membayar UKT.

Karena pernah ikut klub dan jadi juara lomba renang di kota asalnya, Alya mulanya menawarkan jasa kursus renang.

Lama-kelamaan, Alya mulai memberikan les desain kepada adik-adik tingkatnya dan terlibat dalam beberapa proyek arsitektur. Saban akhir pekan, ia pun kini rutin bekerja di sebuah wedding organizer.

Dari seluruh kerja sampingannya itu, Alya bisa mendapat kira-kira Rp2,5 juta per bulan, yang seluruhnya habis untuk biaya indekos, makan, pulsa, transportasi, dan lainnya.

Dengan pemasukan bulanan total Rp5 juta dari gaji ayah dan kerja sampingan Alya, bisa diasumsikan pengeluaran per kepala di keluarga Alya adalah Rp1,25 juta.

Ini menempatkan keluarga Alya dalam kelompok calon kelas menengah, yang lagi-lagi terpaksa megap-megap dalam usaha memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi tak dianggap cukup susah untuk mendapat bantuan pemerintah.

Alya merasa ini semua tak adil.

Meski selalu berprestasi sejak SD, Alya tak bisa dapat beasiswa dan terpaksa bekerja keras sampai “mual-mual” demi melanjutkan kuliah.

Di saat yang sama, ia melihat penerima beasiswa di kampusnya justru kerap berfoya-foya, entah membeli ponsel mahal, menonton konser artis luar negeri, atau bahkan mabuk-mabukan.

“Aku tuh bahkan merasa kayak aku ngapain sih cari-cari prestasi selama ini?” kata Alya.

“[Akhirnya cuma] di-posting di akun [medsos] kampus, [dikasih ucapan,] ‘Ya, selamat.’ Gitu doang. Habis itu enggak ada benefit lainnya.”

“Simple. Penduduknya didominasi kelas menengah.”

Hal ini disampaikan Bambang Brodjonegoro pada 22 April 2019 di Jakarta, kala masih menjabat kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Bambang bilang, penduduk kelas menengah berperan penting untuk meningkatkan konsumsi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membawa Indonesia menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada 2045.

Pertumbuhan konsumsi memang penting karena lebih dari separuh ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.

Untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara maju, Bappenas saat itu telah menyusun dua skenario berbeda.

Pada skenario dasar, ekonomi diharapkan terus tumbuh setidaknya 5,1% per tahun.

Dengan begitu, Indonesia dapat jadi negara berpendapatan tinggi pada 2038 dan memiliki ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2045.

Pada skenario yang lebih ambisius, Indonesia disebut bisa jadi negara berpendapatan tinggi pada 2036 dan memiliki ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2045. Syaratnya: ekonomi mesti konsisten tumbuh 5,7% per tahun.

Dalam prosesnya, menurut perhitungan Bappenas, jumlah warga kelas menengah Indonesia bakal terus meningkat menjadi 85 juta pada 2020, 145 juta pada 2030, dan 223 juta pada 2045.

”Kontribusi konsumsi penduduk kelas menengah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang harus dijaga pemerintah,” kata Bambang.

Kini, kira-kira lima tahun setelah paparan Bambang tersebut, realitasnya tampak jauh dari harapan.

Penduduk kelas menengah Indonesia pada 2019 berjumlah 57,33 juta orang dengan kontribusi 43,3% terhadap total konsumsi rumah tangga.

Angkanya terus menyusut hingga 48,27 juta orang pada 2023, dengan sumbangan hanya 36,8% ke konsumsi.

Tahun ini, jumlah warga kelas menengah pun turun lagi ke 47,85 juta orang, kira-kira setara 17,13% dari total populasi.

Padahal, proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045.

Amalia Adininggar Widyasanti, pelaksana tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengatakan penurunan jumlah kelas menengah adalah akibat pandemi Covid-19.

“Waktu di dalam pandemi itu kan kita sudah menduga kemungkinan akan ada scarring effect,” kata Amalia saat konferensi pers pada 30 Agustus 2024.

Senada, Presiden Joko Widodo juga menunjuk Covid-19 sebagai kambing hitam, sembari menegaskan bahwa tak hanya Indonesia yang mengalami masalah ini.

“Itu problem terjadi hampir di semua negara karena ekonomi global turun semuanya,” kata Jokowi tak lama setelah konferensi pers BPS.

“Ada Covid dua-tiga tahun lalu yang memengaruhi.”

Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), tidak setuju bila Covid-19 disebut sebagai akar masalah anjloknya kelas menengah.

Riefky bilang pandemi Covid-19 hanya “memperparah” masalah yang ada. Ia bukan pemicu utama.

Menurut hasil riset LPEM UI, tren penurunan jumlah kelas menengah telah terjadi sejak 2018 sebelum pandemi Covid-19 merebak dan memorak-porandakan ekonomi Indonesia.

Kata Riefky, ada berbagai faktor pemicu, salah satunya deindustrialisasi prematur.

Ini merujuk penurunan sektor pengolahan atau manufaktur di satu negara sebelum ia bisa menjadi negara maju.

“Polanya di Indonesia sebetulnya sudah terjadi paling tidak sejak tahun 2010, di mana pertumbuhan sektor manufaktur itu selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Dalam sektor manufaktur, ada berbagai industri yang mengolah bahan-bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau siap pakai yang bernilai tambah. Ini termasuk industri makanan dan minuman, kendaraan bermotor, farmasi, bahan kimia, dan banyak lainnya.

Sektor ini penting, kata Riefky, karena ia bisa menciptakan lapangan kerja besar bagi mereka yang tak memiliki keterampilan tinggi.

Selain itu, karena sektor manufaktur menciptakan nilai tambah tinggi, ia disebut bisa menawarkan upah yang relatif baik.

“Kalau kita bicara sektor jasa, misalnya, itu memang upahnya relatif bisa lebih tinggi dari manufaktur. Tapi, dia itu enggak bisa menciptakan lapangan kerja sebesar sektor manufaktur,” kata Riefky.

“Jadi, misalnya yang lulusan SMA, SMK, itu juga bisa terserap dengan upah yang relatif baik [di sektor manufaktur].”

Menurut data BPS, tenaga kerja dengan pendidikan terakhir SMA dan SMK memang kini paling banyak menganggur dibanding yang lainnya.

Di sisi lain, tingkat pengangguran terendah justru berasal dari kelompok lulusan SD ke bawah dan SMP.

Ini mengindikasikan ada lebih banyak peluang kerja bagi lulusan SD dan SMP, yang tidak memiliki keterampilan tinggi, dibanding untuk tamatan SMA dan SMK.

“Untuk lulusan SD, SMP, itu masih lebih banyak lapangan pekerjaan yang mau menerima mereka. Yang high skill, yang lulusan kuliah S1 ke atas itu juga masih bisa mencari kerja. Tapi, yang pendidikan tengah ini [lulusan SMA dan SMK] yang masih sulit mencari kerja,” ujar Riefky.

“Jadi memang ada skills mismatch antara industri dan dunia pendidikan.“

Mereka yang telah bekerja pun menghadapi masalah berbeda.

Pada 2014-2023, studi LPEM UI menunjukkan lebih dari 70% penduduk kelas menengah dan calon kelas menengah bekerja di sektor pertanian dan jasa bernilai tambah rendah. Tak ada perubahan signifikan dalam periode sembilan tahun tersebut.

Selain menawarkan upah relatif rendah, pekerjaan di sektor-sektor ini sering kali bersifat informal, dengan kepastian kerja dan jaminan sosial yang minim.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pun menunjukkan hanya ada 15% pekerja di sektor formal yang memenuhi kriteria sebagai kelas menengah.

Sebagai catatan, untuk bisa masuk kategori kelas menengah, sebuah keluarga yang diasumsikan terdiri dari dua orang tua dan satu anak harus memiliki penghasilan setidaknya Rp5 juta per bulan.

Maka, penting bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas, kata Muhammad Yoga Permana, pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selain itu, Riefky dari LPEM UI mengatakan pemerintah mesti mengeluarkan bauran kebijakan yang tepat untuk menjaga daya beli warga kelas menengah dan calon kelas menengah.

Masalahnya, bauran kebijakan di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru tampak mengabaikan dua kelompok tersebut.

Growth Incidence Curve (GIC) yang dibuat LPEM UI menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode kedua Jokowi tidak inklusif.

Itu karena manfaat kebijakan pemerintah disebut lebih banyak dirasakan 20% penduduk termiskin dan 10% terkaya, tapi tidak banyak menyentuh mereka yang di tengah, terutama pada persentil ke-40 hingga 80.

Pertumbuhan pengeluaran per kapita memang tercatat melambat di seluruh kelompok masyarakat pada periode kedua Jokowi, tapi yang terparah terjadi di kelas menengah dan calon kelas menengah, menurut studi LPEM UI.

Pada 2014-2018, pertumbuhan pengeluaran dua kelompok tersebut mencapai 7,01% per tahun. Pada 2018-2023, kenaikannya hanya 1,29% per tahun.

Contoh kebijakan yang mengorbankan kelas menengah adalah kenaikan harga BBM bersubsidi pada September 2022 karena membengkaknya anggaran subsidi sepanjang tahun tersebut.

Imbasnya, sebagian dana subsidi BBM saat itu dialihkan ke bantuan sosial bagi warga miskin dan rentan.

“Jadi masyarakat yang miskin dan rentan itu daya belinya relatif terproteksi. Masyarakat kelas atas, yang pendapatannya tinggi, itu tidak terlalu terdampak dari naiknya harga BBM. Nah, yang tengah ini yang tertekan,” kata Riefky.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah sebenarnya telah menjalankan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah, yang dinilai memiliki “peran strategis” dalam perekonomian.

Program yang dimaksud mencakup pemberian subsidi dan kompensasi serta insentif pajak, misalnya PPN yang ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah.

Selain itu, ada bantuan iuran kesehatan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan jaring pengaman melalui Kartu Prakerja untuk melindungi seseorang yang kehilangan pekerjaan.

"Semoga berbagai program ini tak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan kelompok menengah, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan," kata Sri melalui akun Instagram-nya pada 30 Agustus 2024.

Namun, sejumlah kementerian dan lembaga belakangan justru banyak melontarkan wacana kebijakan yang menakut-nakuti kelas menengah, kata Eko Listiyanto, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF).

Mayoritas wacana kebijakan itu, katanya, berkaitan dengan harga-harga yang sebenarnya bisa dikontrol oleh pemerintah.

“Banyak sekali isu-isu yang akan menghantam daya beli kelas menengah. Kelas menengah ini kan rasional, kalau sudah tahu tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, mereka akan mengirit dan berhemat,” kata Eko.

Tarif pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya, akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang No. 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan.

Pada Juni 2024, muncul pula peraturan pemerintah yang mewajibkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Besar potongan yang akan ditanggung pekerja adalah 2,5% dan rencananya akan berlaku pada 2027.

Tapera menuai kritik dan penolakan luas dari masyarakat. Walau pemerintah sempat menyatakan sepakat menunda implementasinya, hingga kini belum ada peraturan resmi yang benar-benar membatalkan kebijakan ini.

“Tapera itu wacananya saja yang menurun, tapi tidak ada perpres yang membatalkan legal standing-nya. Jadi, nanti 2027 akan berlaku,” kata Eko.

Belum selesai soal Tapera, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana bahwa pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL).

Wacana itu disebut sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU No. 4/2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan (P2SK), yang mengatakan “pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan”.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober 2024.

Eko dari INDEF mengatakan kalau subsidi BBM diperketat, idealnya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.

Namun, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).

“Sudah sesak tambah dipalak,” begitu bunyi poster penolakan warganet terhadap kebijakan itu.

Menurut juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, penerapan skema itu bertujuan “agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran”.

“Di BBM ada isu tidak tepat sasaran, di KRL ada isu tidak tepat sasaran, terus mau pindah ke mana masyarakat ini?” kata Eko.

“Kan harapannya, ‘Kalau tidak kuat dengan BBM, silahkan pindah ke transportasi publik’, tapi transportasi publiknya pun diseleksi.”

Kemudian pada pekan lalu, OJK kembali melempar wacana soal iuran dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja.

Lagi-lagi, ini terkait UU P2SK yang menyebut “pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib”.

Eko mengatakan pemerintah semestinya bisa menunda kebijakan-kebijakan berupa pungutan itu untuk melindungi kelas menengah.

“Kalau tetap dipaksakan menggali dan mengais-ngais pendapatan dari kelas menengah, berbagai iuran tadi dipaksakan hanya karena sudah dinyatakan undang-undang tanpa melihat kondisi riil mereka yang daya belinya melemah, maka implikasinya mereka akan turun kelas,” kata Eko.

“Mending kalau masih menjadi aspiring middle class, kalau jadi miskin, itu mereka akan mendapat bansos. Jadi, Anda tekan di atas, dapat sedikit pungutan-pungutan tadi, Anda kena di bawah karena harus memberikan mereka santunan dan bantuan sosial.”

Bagi Khansa, urusannya sederhana. Upah minimum Kota Yogyakarta sebesar Rp2,49 juta “sangat enggak layak”.

Bahkan dengan kiriman uang bulanan dari ibunya, Khansa tetap ngos-ngosan berusaha memenuhi segala keperluan keluarga.

Makanya, saat ada kebutuhan mendesak atau keinginan konsumtif tertentu, ia harus mencari kerja tambahan di luar mata pencarian utamanya sebagai penulis konten.

Sepanjang April-November 2023, misalnya, Khansa mengambil pekerjaan menulis lepas sehingga bisa mendapat tambahan pemasukan Rp1,2 juta per bulan.

Dari sana, barulah ia bisa membeli ponsel baru dan perlahan menabung.

Tabungan itu memang akhirnya berulang kali terpakai untuk sejumlah hal tak terduga, termasuk membelikan ponsel baru untuk bapaknya serta memperbaiki sepeda motor dan bagian-bagian rumah yang rusak.

Namun, dengan total pemasukan bersih sekitar Rp3,59 juta dari pekerjaan utama dan sampingannya, Khansa merasa bisa lebih bernapas dalam mengatur keuangan bulanan keluarga.

“[Freelance] itu membantu saya, tapi ya itu capek banget di badan,” katanya.

Sekarang, tanpa pekerjaan sampingan, Khansa harus senantiasa siap makan tabungan bila dibutuhkan, menarik pundi-pundi yang tadinya disisihkan untuk pernikahan atau urusan lainnya.

Ia mengaku kerap merasa putus asa, apalagi melihat harga bahan-bahan makanan yang terus melambung dan uang kuliah tunggal (UKT) adiknya yang “enggak ngotak”.

“Sudah putus asa deh sama kondisi sekarang itu. Saya enggak bisa bayangin ke depannya bagaimana karena makin jahat saja kondisi sekarang ini,” kata Khansa.

“Saya tuh habis melihat UKT [adik] itu bikin saya mikir, apa saya besok enggak punya anak saja ya? Karena saya merasa masa depan itu enggak cerah buat saya.”

Apa yang terjadi pada Khansa menggambarkan beban berat yang dihadapi masyarakat di tengah melambatnya pertumbuhan upah minimum pekerja dan melonjaknya biaya hidup.

Pertumbuhan upah minimum provinsi (UMP) Kota Pekanbaru adalah yang terendah keempat dalam 10 tahun terakhir.

Pada periode 2014-2024, angkanya hanya naik Rp1,14 juta hingga mencapai Rp2,13 juta.

Upah minimum kota (UMK) memang lebih besar dibandingkan UMP-nya, dengan nilai menyentuh Rp2,49 juta pada 2024.

Namun tetap saja, ia masih jauh di bawah rata-rata biaya hidup rumah tangga Kota Pekanbaru sebesar Rp7,02 juta per bulan, merujuk hasil Survei Biaya Hidup 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Hal serupa juga terjadi di wilayah-wilayah lainnya.

UMP DKI Jakarta naik Rp2,62 juta dalam 10 tahun terakhir hingga mencapai Rp5,07 juta per 2024.

Ini menjadikannya provinsi dengan pertumbuhan upah minimum tertinggi.

Meski begitu, data BPS menunjukkan nilai konsumsi rata-rata per rumah tangga di DKI Jakarta telah menyentuh Rp14,88 juta per bulan pada 2022.

Ini menunjukkan, bahkan bila ada dua anggota keluarga dalam satu rumah tangga yang bekerja dengan gaji sesuai UMP, itu tetap belum cukup untuk menutup biaya hidup rata-rata di provinsi Riau atau Jakarta.

Sejak 2024, pemerintah memutuskan mengganti cara menghitung upah minimum buruh dari yang sebelumnya berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi berlandaskan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51/2023, penyesuaian nilai upah minimum buruh untuk tahun berikutnya dihitung menggunakan formula “(inflasi + (pertumbuhan ekonomi × α)) × upah minimum tahun berjalan)”.

Simbol α atau alfa dalam formula ini mewakili indeks tertentu, yang ditentukan nilainya oleh dewan pengupahan provinsi atau kabupaten dan kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja serta rata-rata atau median upah. Nilainya bisa berkisar dari 0,10 hingga 0,30.

Menurut Said Iqbal, presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), komponen alfa dalam formula penyesuaian upah minimum terbaru membuat buruh tidak bisa benar-benar menikmati manfaat dari pertumbuhan ekonomi.

“[Pemerintah] menganggap bahwa kontribusi buruh terhadap pertumbuhan ekonomi itu nilainya di antara [variabel] alfa itu. Jadi buruh itu dianggap tidak berkontribusi 100%, hanya 10% sampai 30%,” kata Said.

“Ngawur itu.”

Said pun mempertanyakan penggunaan angka inflasi total di formula tersebut.

Inflasi total disebut telah memperhitungkan komponen-komponen yang harganya ditahan pemerintah, sehingga wajar saja bila angkanya relatif kecil.

Alih-alih menggunakan angka inflasi total, lebih tepat bila pemerintah menggunakan angka inflasi pangan, perumahan, dan transportasi, yang memang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari buruh, kata Said.

“Tiga itu penyumbang besar inflasi bagi buruh, karena kan habis duitnya untuk makan, untuk bayar bensin kalau dia bawa motor atau bayar angkot, untuk sewa rumah,” ujar Said.

Menanggapi kritik dari KSPI, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi bilang formula penyesuaian upah minimum saat ini telah mempertimbangkan rata-rata konsumsi rumah tangga serta kebutuhan pekerja dan keluarganya.

“Eksistensi alfa dalam formula upah minimum juga untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak antara pengusaha maupun pekerja,” kata Anwar.

“Penggunaan angka inflasi yang utuh juga untuk melindungi berbagai pihak yang berkepentingan, karena dalam satu sisi ada peningkatan harga dan ada juga penurunan harga.”

Fathimah Fildzah Izzati, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai seharusnya pemerintah mengedepankan konsep upah layak alih-alih upah minimum.

Selama ini, katanya, upah minimum dipandang sebagai jala pengaman agar buruh sekadar bisa tetap bertahan hidup dan kembali bekerja esok hari, bukan untuk memastikan buruh bisa hidup layak.

Fildzah bilang hidup layak di sini bukan cuma urusan bisa makan dan bayar sewa indekos, tapi juga terkait edukasi, liburan bersama keluarga, dan lainnya.

“Intinya dia mesti memperhitungkan kebutuhan yang tak sekadar terkait usaha bertahan hidup. Dia juga harus bisa memanusiakan pekerja,” kata Fildzah.

Alya kaget.

Pada Juli lalu, tiba-tiba dia menerima pesan-pesan bernada kasar dari penagih utang. Padahal, ia merasa tidak pernah meminjam uang.

“Ini muka kamu nih, mau saya apakan ini?” kata si penagih utang sembari mengirim foto-foto Alya dan mengancam akan menyebarkan data-data pribadinya.

“Kamu sadar enggak, kamu itu miskin! Makanya, cari kerja!”

Yang tak disangka lagi, penagih utang bilang ayahnya yang telah menarik pinjaman.

Alya segera menelepon ayahnya untuk memastikan.

“Bapak aku bilang memang ada utang itu untuk bayar UKT aku,” katanya.

Alya sontak diliputi rasa bersalah. Agar ia bisa berkuliah, orang tuanya sampai pinjam uang dari layanan pinjaman online atau pinjol.

Ia bahkan merasa tak pantas untuk makan dengan tenang saat keluarganya tengah dikejar-kejar penagih utang.

“Aku merasa jadi beban banget,” kata Alya.

Ayahnya mencoba menenangkan.

“Kamu pokoknya enggak usah pikirin. Kamu belajar. Kamu kuliah yang benar. Itu aja,” kata sang ayah.

Layanan pinjol yang diakses adalah yang ilegal dan tidak mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Seperti dijelaskan dalam Peraturan OJK No. 10/2022, saat melakukan penagihan, setiap penyelenggara pinjol legal mesti mematuhi norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan perundang-undangan.

Karena itu, mereka tidak bisa sembarangan meneror ataupun mengancam akan menyebarkan data pribadi ketika melakukan penagihan.

Sejak 2017 hingga akhir Juli 2024, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal tercatat telah menghentikan operasi 9.180 entitas pinjol ilegal dan pinjaman pribadi/perorangan.

Tak hanya yang ilegal, layanan pinjol legal pun tumbuh subur dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi Covid-19 merebak dan menghajar penghidupan begitu banyak orang.

Per Juni 2024, OJK mencatat ada total 383.608 entitas pemberi pinjaman online, naik 141,85% dibandingkan setahun sebelumnya.

Di saat yang sama, pinjaman perseorangan yang belum terbayar tercatat naik 30,6% menjadi Rp61,4 triliun dari Juni 2023 hingga Juni 2024.

Sebesar 49,7% dari seluruh penerima pinjaman yang masih menunggak adalah mereka yang berumur 19-34 tahun, sementara 43,6% lainnya datang dari kelompok usia 35-54 tahun. Ini termasuk pinjaman dengan status pembayaran lancar, tidak lancar, dan macet.

Angka-angka ini mengindikasikan ada semakin banyak orang yang membutuhkan dana cepat, termasuk dari kalangan kelas menengah dan calon kelas menengah yang menghadapi tekanan ekonomi besar tanpa perlindungan memadai dari pemerintah.

Banyak warga kelas menengah yang kerap harus gali-tutup lubang, makan tabungan ini atau menarik pinjaman itu agar hidup bisa sekadar berjalan.

Dan, saat itu semua tidak cukup, risiko jatuh miskin menghantui.

Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di LPEM UI, mengingatkan: “Yang paling berbahaya di perekonomian itu adalah pengangguran yang berpendidikan.”

Kelas menengah, sebutnya, adalah kelompok masyarakat yang cukup berpendidikan. Alhasil, saat kesulitan mendapat pekerjaan yang layak atau standar hidupnya terus menurun, mereka paham bahwa ada kebijakan yang salah dari pemerintah.

“Mereka ini memiliki kapasitas untuk memprotes, untuk mengubah kekuatan politik,” kata Riefky.

Jadi, kata Riefky, dampak negatif kalau mengabaikan kelas menengah itu adalah dampak yang lebih masif dan struktural, yaitu kerusuhan, ketidakstabilan politik, dan mungkin kekacauan di masyarakat, misalnya demo berkelanjutan”. (*)

Tags : Nasib Kelas Menengah, Terjebak Diposisi Serba Salah, Kelas Menengah Jadi Banting Tulang, Makan Tabungan dan Penuh Kekhawatiran, Bisnis, Keuangan pribadi, Ekonomi, Kaum muda, Pekerjaan, Kemiskinan, Biaya hidup,