Sorotan   07-04-2025 15:36 WIB

Nasib Pulau Kecil Kala Sawit Datang Flora dan Fauna Terancam, Aktivis SALAMBA: 'Ruang Hidup di Tanah Bunda Melayu Bisa Terhimpit Menyesakkan'

Nasib Pulau Kecil Kala Sawit Datang Flora dan Fauna Terancam, Aktivis SALAMBA: 'Ruang Hidup di Tanah Bunda Melayu Bisa Terhimpit Menyesakkan'
Salah satu pulau kecil di Kabupaten Lingga

"Pulau kecil atau kawasan pesisir penuh dengan hamparan kebun sawit terjadi di berbagai penjuru negeri ini tetapi ruang hidup warga bisa dipastikan akan terhimpit"

erbagai masalah pun akan muncul mendera warga antara lain, krisis air bersih, lahan pertanian tergerus, ekosistem perairan baik sungai dan laut rusak, sampai hama seperti babi hutan masuk kampung dan meludes lahan pertanian warga.

"Kondisi ini baru segelintir dampak kala pulau-pulau kecil dan pesisir di negeri ini masuk investasi ekstraktif skala besar seperti perkebunan sawit," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Umum (Ketum) Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) menilai Kabupaten Kepulauan Daik Lingga itu mulai diserang investasi perkebunan sawit dari segala penjuru. 

Perkebunan kelapa sawit di dekat air laut, kata dia dapat merusak ekosistem perairan, mencemari air, dan meningkatkan risiko banjir. 

Dampak perkebunan sawit terhadap ekosistem perairan bisa saja merusak ekosistem sungai dan laut, hutan mangrove hancur yang bisa berdampak pada kehidupan nelayan.

Selain itu dampak perkebunan sawit terhadap pencemaran air polusi tanah dan erosi dan pencemaran air. Beresiko terhadap dampak perkebunan sawit terhadap risiko banjir karena sawit melepaskan banyak emisi ke atmosfer, yang berkontribusi pada krisis iklim, intensitas hujan tinggi, dan banjir.

"Sawit rakus mengkonsumsi air, ia tidak menampungnya. Dampak perkebunan sawit terhadap lingkungan secara keseluruhan bisa menghilangkan keanekaragaman hayati, perubahan pada ekosistem hutan, ekosistem hujan hutan tropis dan juga hewan yang semakin punah," sebut Ganda Mora (nama panggilan sehari-harinya) ini.

Dia juga memastikan dampak sawit di tengah air asin (laut) akan memicu perubahan iklim global dan pada akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan secara global.

Jadi Ganda Mora menilai, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies yang terancam punah. Perkebunan sawit juga berdampak negatif terhadap masyarakat pesisir dan nelayan. 

Nasib pulau-pulau kecil kala sawit datang 

Wiwin, tengah membersihkan kebun singkong di belakang rumahnya, pertengahan September lalu. Luas kebun itu hanya sekitar 25 meter. Itulah sebagai sumber pangan Wiwin dan keluarga.

Kondisi itu terjadi setelah kebun sawit sudah memenuhi sekitar rumahnya. “Sekarang saya tidak ada kerjaan,” kata warga Desa Linau, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau itu.

Wiwin tulang punggung keluarga. Suaminya, lumpuh.

Sebelum kebun sawit masuk desa, perempuan 40 tahun ini berkebun lebih luas dan peroleh penghasilan lumayan. Kini, tidak bisa. Kala bercocok tanam, babi datang menyerang tanaman.

Awalnya, lahan sekitar daerah Wiwin masih berhutan. Setelah perusahaan sawit masuk, hutan ditebang, berganti sawit.

Awalnya, dia berpikir, meskipun tak bisa berkebun masih bisa kerja jadi buruh perkebunan sawit.

Sawit terbengkalai, tak terurus, babi hutan yang kehilangan tempah hidup kini masuk ke kebun-kebun warga.

“Ditanam pisang diganggu (babi), ditanam ubi diganggu (babi), kita mau apalagi?” kata Wiwin.

Perusahaan sawit di Desa Linau, Kabupaten Lingga itu bernama PT Sumber Sejahtera Logistik Prima (SSLP). Setelah kayu hutan ditebang, perusahaan tanam sawit, lalu meninggalkan lahan begitu saja.

Luas kebun sawit pertama di Lingga itu sekitar 1.200 hektar. Ia ada belasan tahun lalu.

Tugiem, bilang, kebun sawit terbengkalai itu jadi sarang babi hingga meresahkan masyarakat sekitar. Dia lakukan berbagai cara agar tanaman singkong tumbuh subur, seperti bikin pagar sekeliling kebun.

Babi-babi tetap masuk dan merusak tanaman. “PT itu cuman bisa mengambil kayu saja, setelah itu mereka entah kemana,” katanya.

Di Desa Ngajul Bentang tepatnya dibawah lereng Gunung Lingga masih terbentang sawah padi di bawah kaki gunung.

Dulu, warga memenuhi sebagian keperluan dari hutan, seperti bahan bakar, keperluan papan rumah tangga juga untuk pancang kelong ikan teri.

Setelah hutan hilang, warga Linau sekitar 400 jiwa itu tak lagi punya persediaan kayu. Terpaksa mereka mencari kayu ke daerah lain.

“Sekarang malahan kami kalau cari kayu untuk pencang minta ke daerah lain,” kata Musdar, Kepala Desa Linau, Lingga, awal September lalu.

Selain ancam kebun warga sekitar, babi juga bikin was-was di jalanan. Sawit berada jalan lintas warga menuju desa lain.

“Kalau kami lewat jalan itu, hendak ke desa lain harus was-was, pernah kejadian masyarakat hampir diserang babi, kalau lewat sana jumpa babi sudah sering,” katanya.

Jarak sawit dengan permukiman warga sekitar satu kilometer. Bagi yang tinggal di kebun sawit pun banyak masuk kepemukiman warga.

Setahu dia, sejak 2015, kebun sawit sudah terlantar dan banyak babi.

Saya menelusuri perkebunan di Linau itu, sawit tumbuh setinggi dua sampai empat meter. Rumput liar tumbuh di sekitar.

Pos penjagaan di pintu masuk perkebunan terlihat hancur. Atap pos sudah ambruk tanda terbengkalai, tak terurus. Tidak terlihat lagi akses jalan ke kebun sawit, karena sudah tumbuh semak belukar.

Upaya mendapatkan konfirmasi terhadap PT SSPL melalui Maryono Landung tak membuahkan hasil. Telepon maupun pesan via WhatsApp, tak berbalas.

Kebun sawit juga mau masuk ke tetangga Linau, yakni, Desa Sambau. Ada perusahaan sawit mau masuk PT Citra Sugi Adytia (CSA) akan mengembangkan kebun sawit seluas 14.000 hektar, 14 kali lipat di Desa Linau.

Memet Susanto, kesulitan melintasi jalan dari Linau menuju Desa Sambau, pertengahan September lalu. Jalan itu becek dan berlubang.

Jalan tanah berlumpur. Itu satu-satunya akses masyarakat ke Desa Sambau, desa dengan masih penuh tutupan hutan yang terancam jadi kebun sawit.

Warga di sana tak menginginkan ada sawit. Sikap warga juga senada dengan Pemerintah Lingga, yang menolak investasi sawit.

Warga sebagian besar nelayan. Mereka bilang, hidup dari nelayan bagi sudah cukup. Perusahaan terus berupaya bisa mendapatkan restu pemerintah daerah. Pemerintah Lingga menolak.

Memet bilang, belajar dari Linau, katanya, jadi alasan mereka menolak.

“Saya takut terulang seperti kebun sawit di Linau yang meresahkan warga, hutan diambil, kayu-kayu diambil, yang tinggal hanya pokok-pokok kayu tak berpasal. Masalah hama babi sampai sekarang,” katanya.

Jadi nelayan, kata Memet, sudah lebih dari cukup, bisa bertahan hidup, tanpa merusak atau membabat hutan. “Jadi, tanpa ada kebun sawit kami bisa bertahan.”

Apalagi, katanya, sawit bakal membuat kekeringan masa mendatang. Begitu juga dampak terhadap tanaman di sekitar kebun sawit. “Kalau ada sawit, pasti tanaman sekitar mati karena kekeringan,” katanya.

Serupa Memet, Yuni, warga Dusun II juga tolak sawit. Dia bilang, tidak perlu ada sawit di Lingga, lebih baik pemerintah fokus mencarikan bantuan nelayan di Sambau. “Meskipun ada sawit, kita belum tentu juga kerja disana, dampaknya pasti ada.”

Ruswardi, tetangga Yuni juga menolak sawit di Lingga. Dia belajar dari pengalaman tinggal di kelilingi perkebunan sawit di Riau. Menurut dia, Lingga tak punya lahan inti untuk perkebunan sawit. Jadi, produksi tidak akan banyak. Kondisi itu, katanya, tidak membuat perkebunan sawit berkembang.

“Saya sudah paham sebenarnya dengan kondisi ini, jangan sampai seperti di Linau, sawit tak ada illegal logging terjadi,” katanya.

Ada juga beberapa warga Sambau setuju perkebunan sawit, apalagi dijanjikan jadi kepala koperasi di bawah perusahaan perkebunan. Mansur, warga Sambau ini setuju sawit.

Dia bilang, kebun sawit bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.

Bupati Lingga, M Nizar selalu awasi hutan di Pulau terpencil ini

Permasalahan sawit di Sambau, katanya, karena ada yang ingin jadi sawah dan sebagian jadi kebun sawit.

Dalam pertemuan pemerintah, masyarakat dan pengusaha sawit, katanya, telah disepakati Sambau bagian lembah jadi sawah, lereng jadi kebun sawit.

“Bahkan, waktu itu saya sudah diminta jadi kepala koperasi, kita mendambakan sawit.”

CSA belum beraktivitas apapun di hutan Lingga. Komisaris CSA Suptitoyo mengatakan, proses izin sedang mengajukan hak guna usaha (HGU).

Masa Bupati Lingga dijabat Alias Wello menolak ada sawit dengan cara memperlambat izin.

“Salah satunya dia (Alias Wello) menyebut izin kami sunsang, kita dihambat terus maka izin tidak selesai. Bupati tidak koorperatif,” katanya.

Dia bilang, saat Alias Wello Ketua DPRD Lingga pernah memberikan dukungan pada perusahaan buka kebun sawit di Sambau.

Perusahaan (CSA) kala itu dipimpin Toyo (sekarang Almarhum) menceritakan, awal mula berminat berinvestasi di Lingga.

Ketika pemerintah daerah sebelumnya menawarkan mengarab bouksit, dia jelaskan kalau terbiasa dan mengerti bisnis sawit.

“Saya bilang, saya tidak berminat, karena saya tidak paham, tetapi kalau kebun sawit kita bisa, karena sudah ada di Sumatera,” katanya.

Setelah perundingan itu, Toyo memutuskan membuka sawit di Lingga. Kondisi Lingga, katanya, cocok untuk berkebun sawit.

“Kalau bouksit itu ada masa habisnya, tetapi kalau sawit sampai 25 tahun, setelah itu bisa masa peremajaan.”

Dia sudah merencanakan, bagaimana akses jalan di Lingga kalau sawit 14.000 hektar bisa masuk Sambau. Tidak hanya membuka lahan untuk kebun sawit, Toyo berencana membangun pabrik pengolahan sendiri.

Toyo membantah anggapan Lingga kekeringan seperti disampaikan bupati. Dia bilang, persediaan air di Lingga terdapat di bagian timur. Sedangkan hutan yang akan dia garap jadi sawit di Lingga Utara.

“Yang mau kita tanami di Lingga Utara, disana memang sudah tidak ada air,” katanya tanpa merujuk kajian atau riset relevan.

'Was-was hutan terancam hilang'

Masyarakat Adat di Lingga, Kepri, was-was atas rencana kehadiran perusahaan perkebunan sawit hadir di kepuluan itu. Hutan Lingga terancam alih fungsi lahan skala besar.

"Masyarakat adat semula menolak setiap rencana investor sawit. Sawit, bagi mereka, ancaman bagi pulau Lingga."

“Sawit itu banyak menghisap air,” kata Sariman, salah satu tokoh masyarakat di pulau itu.

“Lingga ini kecil. Kalau sampai airnya habis, kita semua akan susah.”

Tetapi melihat kondisi ekonomi masyarakat di Tanah Bunda Melayu ini semakin terjepit, maka investasi (kebun sawit) adalah jawabannya.

"Lihat di Kota Pekanbaru, Riau, kondisi ekonomi masyarakatnya stabil karena adanya kebun sawit. Saya rasa daerah ini (Daik Lingga) mau tak mau atau senang tidak senang harus menggenjot perekonomian warga dengan melalui investasi ini," dalam penilaiannya.

Dia melihat sejak pada 2010 lalu, perwakilan CSA sempat bertemu kepala daerah yang mencoba masuk. Mereka berdiskusi.

"Awalnya memang seluruh kepala suku sepakat menolak sawit di CSA."

“Tetapi sebaliknya sudah disepakati, sawit boleh ada di sini,” katanya.

Untuk memperkuat perlindungan adat, mereka sudah mengusulkan Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Adat Melayu.

"Sisi lain, sebaiknya CSA harus membuktikan untuk segera mendirikan pabrik kelapa sawit (PKS)," sebutnya.

"Kalau sawit sudah ditanam, sebaiknya pks mulai segera didirikan. Jika panen sawit warga mau dibuang kemana, malah tidak efisien diangkut dan ditolak ke Jambi," tanya Sariman.

Siswadi, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lingga juga menegaskan, Pemerintah Lingga tetap menolak sawit, selain merusak lingkungan, Lingga termasuk pulau-pulau kecil.

“Kami mendukung pemda tidak memberikan izin, bahwa pulau ini kecil, dampaknya salah satu dampak lingkungan, kita tidak mau itu terjadi,” katanya saat dihubungi 18 September 2020 lalu.

Selain itu, katanya, mereka juga mengacu kepada Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit.

“Meskipun CSA itu izin sudah diproses lama, tetapi sepemahaman kami tetap itu sawit baru karena belum ada penanaman, pemahaman kami begitu,” katanya.

Kepala Dinas Penanam Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perdagangan (PM PTSP) Kabupaten Lingga melalui Kepala Bidang, Abdul Hamid mengatakan, soal CSA, izin perusahaan ada yang menjanggal, yaitu HGU belum terbit tetapi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah keluar.

“Kita tetap pada prinsipnya tidak mendukung perkebunan sawit.”

Kebun sawit di wilayah pesisir dibahas

Berbagai persoalan ini dibahas dalam diskusi dari Tandan Sawit oleh Sawit Watch dengan tema “Ekspansi Perkebunan Sawit di Wilayah Pesisir Pulau-pulau Kecil" awal November lalu.

Susan Herawati, Sekjen Kolaisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia mengatakan, masyarakat pesisir dan nelayan ikut terancam serius dari perkebunan sawit skala besar.

Belajar dari kasus dampingan Kiara di Langkat, Sumatera Utara, ekspansi sawit menghancurkan hutan mangrove hingga berdampak pada kehidupan nelayan.

Para pemodal mengganti hutan mangrove di Langkat jadi kebun sawit. Sayangnya, dalam masalah ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berposisi untuk menyelesaikan kasus seperti ini.

Padahal, fungsi pesisir dan pulau kecil sangat penting.

Selain itu, katanya, pulau itu memiliki fungsi secara hidrologis. Eksosistem hutan di pulau kecil, katanya, untuk menjaga sistem tata air. Kalau hutan-hutan di pesisir maupun pulau kecil berubah jadi kebun sawit, katanya, bakal memunculkan masalah serius.

Ratno Budi dari Umah Babel mengatakan, Daik Lingga dan Bangka Belitung merupakan kepulauan kecil dengan luas 1,6 juta hektar dan penduduk 1,4 juta orang itu sudah terkapling-kapling dalam berbagai peruntukan industri skala besar.

Sekitar 500.000 hektar konsesi sudah jadi kuasa perusahaan tambang timah dan mineral, dengan rincian, 150.000 hektar izin tambang di laut dan 350.000 hektar di daratan Bangka.

Untuk perkebunan sawit , ada 282 .000 hektar, tetapi data resmi pemerintah pada 2019, jadi 173.000 hektar. Di sini, katanya, ada data tidak sinkron. Meskipun begitu, dengan 173.000 hektar itu saja sudah 10% daratan Bangka beralih jadi perkebunan sawit besar.

Dampaknya, kata Ratno, hutan di pulau kecil jadi korban. Laju deforestasi, degradasi lahan sampai ke konflik agraria terjadi. Lebih parah lagi, perusahaan juga menanam sawit di pesisir pantai.

Dari sisi ekologi, katanya, kalau mangrove terbabat bisa menimbulkan dampak lebih besar bagi pesisir dengan abrasi, sampai banjir rob.

Kepala Desa Limbung, Perwakilan PT.CSA dan APH Polsek Daik Lingga bahas pembukaan kebun sawit

Pulau-pulau kecil di Kepri dan Babel, tak hanya terancam, seperti kebun sawit, tambang maupun hutan tanaman industri, mulai marak sekarang pertambakan skala besar.

Tetapi kembali seperti disebutkan Ganda Mora dari SALAMBA melihat, belakangan, perusahaan sawit juga ekspansi besar-besaran di pulau kecil, seperti di Daik Lingga dan Dabo Singkep.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kepri, hampir tak ada kabupaten diperuntukan area untuk perkebinan sawit.

"Kondisi ini, berbanding terbalik dengan dukungan pemerintah dalam memproteksi lahan untuk masyarakat."

“Kita mendorong supaya pemerintah setempat menggolkan Perda Masyarakat Adat untuk memproteksi ruang masyarakat adat jangan sampai hilang,” katanya.

Dia bilang, memperjuangkan perda untuk masyarakat itu tdak mudah, terlebih menghadapi dinamika politik lokal sampai rintangan dari kepentingan pemodal. Perda Masyarakat Adat yang sudah diusung bertahun-tahun lalu diketuk palu untuk tidak menanam sawit. 

Selain itu, Ganda melihat, abrasi perlahan menggerus pantai-pantai yang ada di Pulau Lingga.

Menurutnya, garis pantai sudah mundur sekitar 500 meter dalam dua dekade terakhir. Air laut perlahan menelan daratan dan sumber-sumber air tawar, bahkan mengeringkan sawah-sawah yang dulu subur.

Di desa desa bisa mengairi sawah kini hanya cukup untuk satu kali panen setahun untuk lokasi areal sawah yang ada di pulau itu .

“Dulu bisa dua kali panen dalam setahun. Sekarang, air bahkan tidak cukup, sawah menjadi lahan terlantar,” kata dia.

Dulu, masyarakat tinggal di puncak bukit di tengah pulau, jauh dari pantai. Sekitar 1930-an, mereka turun ke pesisir untuk bercocok tanam, menghadapi tantangan cuaca, dan mulai mengenal irigasi.

Sawah padi yang dibuka, di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, didukung oleh berbagai program pengembangan pertanian, seperti: pembangunan sawah dan irigasi, perbenihan padi, program ketahanan pangan Polres Lingga dan kawasan food estate wiratama. 

Sawah di Lingga dibangun dengan bantuan anggaran pusat melalui Kementan membangun sawah, pembibitan, dan pupuk, sedangkan Kementerian PUPR membangun irigasi, perbenihan padi. 

BSIP Kepri juga melakukan kegiatan perbenihan padi dengan varietas-varietas yang dibutuhkan oleh masyarakat Lingga. Sedangkan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lingga mendukung penerapan standardisasi budidaya padi.

Bahkan sempat Polres Lingga bersama Dinas Pertanian melaksanakan panen padi untuk mendukung ketahanan pangan di Kabupaten Lingga di Kawasan Food Estate Wiratama. 

"HKTI Kepri dan PT Wiratama Persada Mandiri itu mengembangkan Kawasan Food Estate Wiratama di Desa Kuala Raya, Kecamatan Singkep Barat, Lingga, meskipun memiliki potensi lahan produktif dan sumber daya air yang melimpah, sebagian sawah di Lingga tidak terurus. Tetapi belakangan para kelompok tani terpaksa meninggalkan pekerjaan itu saat musim hujan dan kemarau panjang," terangnya.

'Lingga usir sawit'

Kala investasi mau masuk pesisir atau pulau-pulau kecil, warga banyak menolak. Sebagian besar mereka harus menghadapi kenyataan pahit.

Di Daik Lingga, Kepri, punya cerita lain. Kala perusahaan sawit mau masuk, warga kompak melawan, menyusul pemerintah daerah menguatkan dengan tak ingin pulau kecil itu kemasukan investasi sawit.

Siswadi juga sudah menerima laporan masyarakat terkait hama babi yang meresahkan warga Linau, dampak kebun sawit terlantar.

Dia berencana membahas masalah ini dengan bupati.

Dia berharap, warga yang berkebun di kawasan itu sementara membuat pagar agar babi tak merusak tanaman.

“Tentu akan kita sikapi, apakah nanti dengan cara hama babi itu diracun, atau diburu, kita lihat kondisi nanti.”

Dia bilang, kasus sawit di Linau sudah lama terjadi, jauh hari sebelum menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.

“Saya belum begitu tahu kasusnya, saya tidak mengikuti karena sudah lama betul, seperti apa izinnya saya tidak tau,” katanya.

Abdul membenarkan ada sawit ratusan hektar yang tidak terawat di Desa Linau.

Abdul tidak mengetahui izin sawit itu karena izin sudah ada sejak 2004. “Saat itu PTSP belum ada, saya kurang begitu paham.”

Dia bilang, kala itu perusahaan melakukan pembalakan liar hingga soerang dari perusahaan sempat kena pidana.

“Waktu itu masih pembibitan, tapi keburu ditangkap, akhirnya sekarang sudah besar sawitnya.”

Dia berdalih belum bisa me-riview izin perusahaan karena izin sebelum PTSP ada. “Lahan itu kan dikuasai PT, kita tidak tahu sampai dimana, izin sampai mana kita tidak tahu, apakah sampai IUP (izin usaha perkebunan) atau tidak.”

Pemerintah daerah, katanya, bisa mengambil lahan itu untuk dialihkan agar tak merugikan masyarakat. “Lahan terbangkalai bisa dicabut, tetapi kita harus pelajari dulu izinnya.” 

Tetapi kehadiran investasi ladang sawit ini sempat berkonflik dengan Pemerintah daerah Kabupaten Lingga, karena persoalan izin dan lahan masyarakat di Kabupaten Lingga.

Di masa bupati-bupati sebelumnya pemerintah daerah Kabupaten Lingga kini memfasilitasi pertemuan dengan PT Citra Sugi Aditnya (PT CSA) yang merupakan perusahaan perkebunan sawit yang sempat bermasalah beberapa waktu yang lalu.

Dalam undangan yang beredar, pertemuan tersebut akan digelar di salah satu hotel mewah di Kota Batam, Kepulauan Riau dengan kop surat Sekretariat Daerah Kabupaten Lingga, dan ditanda tangani oleh atas nama Sekretaris Daerah (Sekda) Asisten bidang ekonomi Pemerintah Daerah Kabupaten Lingga Zainal Abidin.

Adapun jadwal yang tertera di undangan dengan nomor surat 520/DPKP-SEK/0570 tersebut adalah pada Sabtu, 27 Mei 2023 di salah satu hotel mewah di Jl Pembangunan Lubuk Baja, Kota Batam. Dengan agenda acara Rapat rencana kerja perkebunan Kelapa sawit PT. Citra Sugi Aditya.

“Iya benar kami sudah menerima undangan tersebut, dan sekarang sudah di Batam pak,” ujar salah satu penerima undangan tersebut yang minta namanya tidak disebutkan, Jumat (26/05/2023) lalu.

Kebun sawit yang terlantar dan selalu merusak kebun warga

Adapun daftar undangan tertera terdiri dari Bupati Lingga, Sekretaris Daerah Kabupaten Lingga, dua camat, sembilan kepala desa, beberapa Ormas dan OKP di Lingga dan Direktur PT. CSA.

Dalam pemberitaan di salah satu media online lokal, Bupati Lingga Muhammad Nizar sebelumnya mengaku sudah pernah di periksa terkait dengan PT CSA soal bupati yang tidak segera menerbitkan Surat Keputusan Calon Petani dan Calon Lahan (CPCL) sebagaimana permohonan PT CSA untuk memenuhi persyaratan pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) yang menurutnya persoalan tersebut sudah ada sejak tahun 2010 yang lalu.

“Tentu saya tidak boleh gegabah. Karena saya tahu, penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT. CSA ini, tidak prosedural dan melanggar Undang-undang. Kalau saya menerbitkan SK CPCL atas dasar izin usaha yang terbit melanggar Undang-undang, berarti sama saja saya ikut bersekongkol melawan hukum,” ujar Muhammad Nizar ketika itu, yang terbit pada tanggal 27 September 2021.

Seperti diketahui sebelumnya, pemerintah pusat melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mencabut Izin Konsesi kawasan Hutan PT. Citra Sugi Aditya (CSA) Nomor:624/MENHUT-II/2014 seluas 9.694,84 hektar di Lingga melalui Keputusan Nomor:SK.01/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan pada 6 Januari 2022.

Selain izin konsesi kawasan hutan PT. Citra Sugi Aditya (CSA), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mencabut izin konsesi kawasan hutan PT. Singkep Payung Perkasa nomor:250/KPTS-II/2000 seluas 18.006,00 hektar di Provinsi Kepri melalui Surat Keputusan Menteri Lingungan Hidup dan Kehutanan RI, Nomor: SK.01/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan tanggal 6 Januari 2022.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kabupaten Lingga, memproses permohonan Calon Pekebun dan Calon Lahan (CPCL) PT. Citra Sugi Aditya (CSA) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

Kepala DPKP Lingga, Gandime Diyanto mengatakan, sebelum proses ini dilakukan, pihaknya telah terlebih dulu melakukan rapat koordinasi bersama Camat dan seluruh kepala desa (Kades) dan Ketua BPD yang wilayahnya masuk dalam rencana perkebunan kelapa sawit.

"Lokasi-lokasinya itu di sembilan desa. Yaitu Desa Belungkur, Teluk, Kudung, Sungai Pinang, Keton, Kerandin, Pekaka, Bukit Harapan dan Desa Limbung. Desa-desa tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Lingga Timur dan Lingga Utara," kata Gandime belum lama ini. 

Menurutnya, keseriusan PT. CSA dalam rencana pembangunan kebun dan pabrik kelapa sawit dengan kapasitas produksi 30.000 ton di wilayah Kabupaten Lingga disampaikan langsung oleh Direktur PT. CSA dalam rapat Rencana Kerja (Renja) yang diadakan di Kota Batam pada 27 Mei lalu.

"Dalam rencana kerja yang disampaikan langsung oleh Direktur, dalam waktu dekat PT. CSA segera melakukan pembukaan fasilitas jalan untuk lokasi pembibitan, serta membuka kantor perwakilan di Daik Lingga," jelasnya. 

Dengan demikian, Gandi pun meminta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lingga.

Dalam waktu dekat, DPKP juga akan segera berkoordinasi dengan desa dan kecamatan dalam penyusunan CPCL.

"Karena calon pekebun dan calon lahan sebagai dasar perusahaan untuk membuka lahan plasma yang diperuntukkan masyarakat, berdasarkan Permentan Nomor 18 tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, dimana total luas kebun plasma yang disiapkan perusahaan kurang lebih 1.700 Ha," katanya mengakhiri. 

Bagaimana tanggapan dewan dalam sikapnya?

Wakil Ketua (Waka) I DPRD Kabupaten Lingga, Aziz Martindaz, juga sudah melakukan kunjungan langsung ke lokasi perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Citra Sugi Aditya (CSA) di Dusun II Lengkok, Desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, pada Senin, 12 Agustus 2024 lalu. 

Kunjungan ini bertujuan untuk memantau perkembangan investasi perkebunan sawit tersebut yang diharapkan dapat membawa dampak positif bagi perekonomian masyarakat setempat.

Wakil Ketua (Waka) I DPRD Kabupaten Lingga, Aziz Martindaz, melakukan kunjungan langsung ke lokasi perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Citra Sugi Aditya (CSA) di Dusun II Lengkok, Desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, pada Senin, 12 Agustus 2024.

Aziz Martindaz menyampaikan bahwa perkebunan kelapa sawit ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar kawasan perkebunan dengan membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi anak-anak daerah. 

"Dengan adanya perkebunan kelapa sawit ini, diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan membuka peluang pekerjaan bagi penduduk lokal," ujarnya disela-sela kunjungan.

Namun, Aziz juga menekankan pentingnya pengelolaan perkebunan yang baik dan bertanggung jawab. Ia mengingatkan perusahaan untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah terjadi di Desa Linau, di mana penguasaan lahan dilakukan tanpa memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat setempat.

"Perusahaan harus maksimal dalam melaksanakan progres perkebunan ini. Jangan sampai hanya berfokus pada penguasaan lahan tanpa memberikan manfaat yang nyata. Pengalaman di Desa Linau harus menjadi pelajaran," tegas Aziz.

Aziz meminta agar perusahaan tidak mengajukan rekomendasi untuk perluasan lahan jika progres di lahan yang sudah diberikan belum berjalan maksimal.

"Jika belum ada progres yang signifikan di lahan yang sudah diberikan, jangan ada lagi usulan untuk perluasan lahan," tambahnya.

Aziz juga berharap agar pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, terus memantau perkembangan perkebunan sawit ini dan memastikan semua perizinan yang dikeluarkan sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Saya berharap pemerintah daerah baik itu tingkat Desa maupun Kecamatan harus terus memantau perkembangan ini dan mengeluarkan perizinan dengan bijak. Jangan sampai ada izin yang tidak sesuai dengan ketentuan," katanya.

Meskipun Aziz Martindaz akan segera menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi, ia menegaskan komitmennya untuk terus memantau perkembangan perkebunan sawit di Kabupaten Lingga. 

"Walaupun nanti saya tidak lagi menjabat sebagai DPRD Lingga, saya akan tetap memantau perkembangan perkebunan ini. Saya berkomitmen untuk mendukung investasi di Kabupaten Lingga, baik sebagai anggota DPRD Provinsi maupun secara pribadi," pungkasnya.

Kunjungan ini diharapkan dapat mendorong PT. CSA untuk lebih serius dalam mengelola perkebunan sawit dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat Lingga, serta memastikan bahwa investasi yang dilakukan membawa dampak positif yang berkelanjutan bagi perekonomian daerah. 

Aziz Martindaz membantah penyataan tenaga ahli Bupati Lingga Bidang Investasi dan Promosi Daerah, Ady Indra Pawennari di media, soal perizinan perusahaan perkebunan sawit PT CSA (Citra Sugi Aditya) yang dianggapnya ada distorsi, tidak jujur, menyesatkan dan perlu diluruskan. 

"Ini perlu diluruskan, karena ada distorsi dalam pernyataan Tenaga Ahli Bupati Lingga Ady Pawennari itu. Kalau tidak, akan menyesatkan masyarakat dan merugikan bagi iklim investasi Kabupaten Lingga," ujar Aziz.

Sebagai wakil rakyat, lanjut Aziz, dirinya telah melakukan pengecekan dengan seksama semua prosedur perizinan yang dimiliki oleh PT CSA itu. Termasuk, melakukan cross check ke Pemerintah Provinsi Kepri, dalam hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kepri.

Bahkan, Kepala DPMPTSP Provinsi Kepri Syamsuardi melalui Kabid Perizinan PTSP Kepri Joni Hendra Putra telah menegaskan, bahwa izin lingkungan perkebunan kelapa sawit PT. CSA sudah melalui prosedur resmi. 

Bahkan, sudah ada sosialisasi kepada masyarakat dan stake holder di Kabupaten Lingga terkait penyusunan AMDAL dan dibuktikan dengan daftar hadir serta pernyataan dukungan masyarakat dan perwakilan Organisasi Masyarakat (Ormas).

Sementara itu, di media Ady menyatakan, bahwa penerbitan izin lingkungan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit serta pelabuhan seluas 13.561,55 Ha atas nama PT. CSA di wilayah Kabupaten Lingga oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kepulauan Riau tak lazim dan cacat hukum.

Pasalnya, jauh sebelum izin lingkungan perkebunan kelapa sawit diterbitkan oleh DPMPTSP Kepri pada tanggal 6 Mei 2019, PT. CSA telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit seluas 10.759 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Lingga Nomor : 160/ KPTS/ IV/ 2010 tanggal 26 April 2010.

"Ini ada yang tak lazim. PT. CSA ini sudah mengantongi IUP sejak zaman Pak Daria sebagai Bupati Lingga. Tapi, kok baru sekarang mengurus izin lingkungan? Nah, dari fakta ini kita bisa menyimpulkan, bahwa ada sesuatu yang tak beres," demikian pernyataan Ady.

Jadi, papar Aziz, dulu saat PT. CSA mengurus Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit seluas 10.759 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Lingga Nomor : 160/ KPTS/ IV/ 2010 tanggal 26 April 2010 itu, memang ketentuannya tidak mengharuskan terlebih dahulu mengantongi hasil AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Bahkan, saat itu PT. CSA juga sudah mengantongi  surat dukungan dari DPRD Lingga. Nomor : 170/TU-SETWAN/069, Tanggal 28 Maret 2007, yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Lingga, Alias Wello. 

Dari sebanyak 21 langkah rangkaian proses perizinan yang telah dilakukan oleh manajemen PT. CSA hingga hari ini, semuanya itu bermula dari Izin Prinsip Nomor : 522.1/EKON/024, tanggal 27 Januari 2005, Bupati Lingga. Dan, surat dukungan dari DPRD Lingga. Nomor : 170/TU-SETWAN/069, tanggal 28 Maret 2007.

"Jadi, saya heran apa motivasi Ady menyampaikan distorsi informasi kepada masyarakat itu. Karena saat ini, perekonomian masyarakat Lingga sudah sangat berat dan membutuhkan masuknya investasi. Ini saat ada perusahaan yang seluruh perizinannya lengkap kok masih diserang terus, ada apa Ady ini?" papar Aziz Martindas. 

Apalagi, masih katanya, sejumlah tokoh masyarakat Lingga juga sudah melakukan studi banding ke kebun sawit milik PT Surya Dumai di Kampar Provinsi Riau, Januari 2019 lalu. 

"Dari sana, mereka melihat langsung ternyata pengelolaan perkebunan sawit itu tidak negatif seperti yang beredar di media. Dan mereka pun berharap kegiatan perkebunan PT. CSA di Lingga segera dimulai, sehingga bisa menjadi sumber baru pemasukan ekonomi mereka," tutup Aziz.

Sekarang Warga Dusun II Desa Limbung beramai-ramai mendatangi Kantor Desa Limbung. Kehadiran mereka bertujuan untuk mempertanyakan kejelasan dana sagu hati yang telah dijanjikan oleh PT CSA, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit ini.

PT CSA sebelumnya berkomitmen memberikan dana sagu hati sebesar Rp17.438.000 per Kepala Keluarga (KK) kepada 607 KK di Desa Limbung sebagai kompensasi rencana pembukaan lahan di wilayah tersebut.

Seperti pada 5 Desember 2024 lalu, perusahaan telah membagikan dana tahap pertama kepada 207 KK. Namun, dana tahap kedua untuk 250 KK yang dijadwalkan seminggu kemudian, hingga kini belum terealisasi.

Kekecewaan warga pun memuncak, sehingga mereka mendatangi pihak pemerintah desa dan perusahaan untuk menuntut kejelasan.

Dalam pertemuan itu, perwakilan perusahaan menjanjikan pembayaran tahap kedua akan dilaksanakan pada 24 Desember 2024, sementara pembayaran tahap ketiga  untuk 150 KK dijadwalkan pada 21 Januari 2025.

Awalnya, warga menolak mekanisme pembayaran bertahap tersebut. Mereka menginginkan agar sisa dana untuk 400 KK dibayarkan sekaligus pada 24 Desember 2024. Namun, perusahaan keberatan dengan alasan keterbatasan keuangan.

Alfarizi Marbun, Ketua Pemuda Desa Limbung, menyatakan keraguan masyarakat terhadap komitmen perusahaan.

“Kami jadi ragu apakah perusahaan ini benar-benar memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan proyek perkebunan di masa depan. Penyelesaian pembayaran seperti ini saja mereka kesulitan,” ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Rum, perwakilan perusahaan, menjelaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan langsung.

“Kami akan menyampaikan keluhan ini kepada pimpinan di pusat dan memberikan jawaban kepada masyarakat setelahnya,” jelasnya.

Setelah diskusi panjang, masyarakat akhirnya sepakat dengan jadwal pembayaran yang diajukan perusahaan, yaitu tahap kedua pada 24 Desember 2024 dan tahap ketiga pada 21 Januari 2025. Namun, warga memberikan ultimatum.

Jika pembayaran tahap ketiga tidak diselesaikan sesuai jadwal, mereka akan meminta perusahaan menghentikan seluruh aktivitas di wilayah Desa Limbung hingga pembayaran rampung.

Masyarakat berharap perusahaan dapat menepati janjinya demi menjaga kepercayaan dan hubungan baik dengan warga setempat. 

'Aktivis ingatkan keselamatan pulau kecil'

Luas wilayah Pulau Lingga mencapai 889 kilometer persegi (343 sq mi). Dengan penduduk ada suku Melayu, Bugis, dan Tionghoa. Masyarakat pulau ini menggantungkan hidup pada laut dan hutan yang kini mulai tergerus perubahan.

Luasnya pulau ini, kata Ganda Mora lagi, terletak di selatan Kepulauan Riau di lepas pantai timur Sumatra. Ibukota Kabupaten Lingga bertempat di Pulau Lingga.

Luas wilayah Kabupaten Lingga, 2.210,82 kilometer persegi yang beribu kota di Daik Lingga. Kabupaten Lingga terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil, di antaranya Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Pulau Lingga merupakan pulau terbesar di Kepulauan Lingga dengan luas 889 kilometer persegi. 

Aktivis Ir Marganda Simamora SH M.Si ingatkan keselamatan pulau kecil.

Kabupaten Lingga memiliki beberapa kecamatan, di antaranya Kecamatan Singkep, Kecamatan Singkep Barat, Kecamatan Lingga, Kecamatan Lingga Utara, dan Kecamatan Senayang yang sebagian besar populasi di Kepulauan Lingga adalah suku Melayu, Bugis, dan Tionghoa. 

"Sekitar 36% Lingga merupakan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung seluas pada tahun 2021 adalah 49.182 hektar. Pada tahun 2021, luas hutan di Pulau Lingga terbagi menjadi beberapa fungsi hutan, di antaranya hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi konversi, dan taman buru," ungkapnya. 

Desa Pulau Perigi sampai PT pasir di Pulau Lingga merupakan hutan lindung yang menjadi tempat bagi flora dan fauna endemik serta sebagai perlindungan dari ancaman abrasi dan perubahan iklim.

Dia menggambarkan, hutan di Pulau Lingga juga kaya keragaman kayu, seperti merbau (Instsia bijuga), kasai (Pometia pinnata), pakaror (Shorea macroptera), bintangur (Calophyllum inophyllum), apua (Kommpassia malaccensis) dan lain-lain.

"Dari berbagai jenis kayu itu, meranti air paling istimewa. Kayunya banyak untuk membangun rumah dan kapal-kapal rakyat karena terkenal kuat dan tahan lama.  Sedang kayu merbau sering jadi bahan konstruksi jembatan karena juga kekuatannya," terangnya.

Orang Lingga mengenal beragam jenis kayu dari merbau, kasai, apua, kihait, pritu, dan waru. Kayu-kayu ini bukan sekadar bahan baku, tetapi bagian dari kehidupan dan kepercayaan mereka.

Tetapi dengan kehadiran perusahaan sawit membuat masyarakat adat juga khawatir. Bagi mereka, investasi besar-besaran dapat mempercepat kerusakan lingkungan.

“Kawasan hutan di Lingga bukan sekadar pohon, tapi rumah bagi kehidupan mereka,” kata Ganda.

Kawasan hutan lindung di Pulau Lingga kini terbebani oleh kehadiran perusahaan perkebunan sawit (CSA). Awalnya, perusahaan ini membuka lahan untuk usaha pakan ternak, kemudian menjadi tambang pasir, tetapi soal menebang hutan pastinya tidak terhindarkan.

Pada 2010, perusahaan perkebunan sawit itu sudah mulai mendatangi warga pemilik tanah dan kepala-kepala desa agar menyetujui niatan mereka.

Sebagian warga memendam was-was dengan aksi perusahaan perkebunan sawit itu.

Tetapi memang Ganda mengakui, sawit itu harga lumayan baik di pasar. Asal di kebun sendiri, tanah sendiri bukan kawasan hutan. Masyarakat adat pun memiliki pengetahuan tradisional yang sangat kaya tentang pengelolaan lingkungan.

"Hanya saja, pengetahuan ini sering kali dikesampingkan,” ujarnya.

Ganda Mora menilai, kala sampai kebun sawit skala besar masuk, jangan pula hutan-hutan di Lingga semakin rusak. Keanekaragaman hayati jangan sampai terancam punah. Kalau sampai terjadi, ini tidak hanya merugikan masyarakat adat, juga keseimbangan ekosistem. (*)

Tags : perusahaan kebun sawit, daik lingga, kepri, pulau-pulau kecil di tanami sawit, kala sawit datang ke daik lingga, kebun sawit ancam ruang hidup pulau kecil, tanah bunda melayu terhimpit, lingkungan alam, Sorotan, riaupagi.com,