Artikel   2025/07/07 19:51 WIB

Nasib Rumah Klasik Peninggalan Zaman Belanda di Kawasan Menteng Jakarta, 'yang Berubah jadi Hunian Orang Kaya'

Nasib Rumah Klasik Peninggalan Zaman Belanda di Kawasan Menteng Jakarta, 'yang Berubah jadi Hunian Orang Kaya'

RUMAH MEGAH dan klasik peninggalan zaman Belanda berlokasi di kawasan utama Menteng, tepatnya berada di antara Jalan Teuku Umar dan jalan Dr. GSSJ Ratulangi terpampang spanduk bertuliskan 'Dijual' pada pagar besinya.

Jika dilihat dari arsitektur bangunan tuanya, bangunan ini diyakini sebagai salah satu rumah yang sudah kokoh berdiri sejak zaman Belanda.

Meski dibiarkan kosong, rumah klasik peninggalan Belanda itu nampak masih terurus.

Di dalam pekarangannya bersih, tidak ada semak belukar tinggi, dedaunan kering pun hampir tak bisa ditemukan.

Bokir, salah seorang warga mengatakan, rumah klasik tersebut memang sudah lama kosong, tidak ada yang menghuni.

Dia mengatakan, biasanya setiap minggu ada penjaga yang akan datang untuk membersihkan rumah tersebut.

"Sudah lama kosongnya. Sudah bertahun-tahun, puluhan tahun rumah itu kosong. (Biasanya) ada penjaga, cuma (kalau) hari biasa di tempat bosnya dia. Kalau hari Minggu biasanya dia ada. Sekedar bersih-bersih aja paling itu juga," ujar Bokir, Kamis (4/5).

Bokir menyebut, rumah klasik itu memiliki pemilik. Dan kondisinya memang tengah dijual.

"Sudah puluhan tahun dibelinya oleh orang keturunan," ujarnya.

Lebih lanjut, meskipun dibiarkan kosong dan merupakan bangunan tua, Bokir maupun Saidi warga lainnya mengatakan, belum pernah menemukan hal mistis atau menyeramkan tentang rumah tersebut.

"Wah udah lama itu kosongnya, udah puluhan tahun memang kosong. Sudah lama juga gak ada yang ngisi. (Tapi) gak ada sih kayaknya (cerita seram di rumah itu). Saya kan buka warung di sini, gak ada sih," ujar Saidi.

Sementara itu, salah seorang warga Menteng bernama Ishak menyebut lahan di kawasan Jalan Teuku Umar sangat strategis.

Dia melihat memang rumah cantik nan klasik tersebut dijual oleh sang pemilik.

Ishak yang juga memiliki rumah di kawasan Menteng menyebut harga tanah di lokasi tersebut sangat mahal. Apalagi lokasinya di jalan utama.

Dia bilang paling mahal harganya Rp 125 juta per meter sedangkan yang termurah di kisaran Rp 100 juta hingga Rp 110 juta.

"Tanah di sini mahal dan gak ada lagi yang jual, cuma rumah itu aja yang dijual. Itu rumah Belanda memang tua banget dan klasik. Kalau masuk ke dalam luas banget ukuran tanahnya," sebutnya.

Tidak hanya rumah tersebut yang dijual, masih ada beberapa rumah peninggalan Belanda lainnya. Misalnya rumah Belanda di Jalan Taman Amir Hamzah, rumah di Jalan Kertosono, dan sebuah rumah di Jalan Cisadane.

Menurut Ishak, ada beberapa rumah Belanda di kawasan Menteng yang dijual kemudian diubah menjadi bangunan modern. Namun ada juga yang tetap mempertahankan keaslian dari bangunan tersebut.

"Kebanyakan diubah menjadi bangunan dengan desain modern. Beberapa mempertahankan keaslian bangunan asli," sebutnya.

Sementara itu, Ketua umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong mengungkapkan label kawasan elite Menteng pertama kali muncul sejak zaman kolonial Belanda.

"Ya itu memang sudah pasti, karena kita tahu itu landscape maupun infrastruktur itu kan dibangun dari zaman kolonial dulu kan, itu kan daerah elitenya dari zaman kolonial. Jadi sudah pasti infrastruktur, dan tata ruangnya pun pasti nyaman," ungkapnya.

Menteng bahkan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya di Jakarta. Namun seiring berkembangnya zaman, tidak sedikit dari pemilik rumah di Menteng yang mengubah huniannya dengan desain modern.

"Dan itu kawasan tua di mana pohon-pohon juga rindang, dan sekarang apalagi dengan adanya proteksi pemerintah bahwa kawasan tersebut kan ada merupakan heritage, kawasan yang dilindungi untuk cagar budaya. Jadi ada rumah yang orang bisa beli tapi gak bisa dirubah, atau ada rumah yang bisa dibeli tapi tampak luar harus sama belakang boleh direnovasi. Itu ada faktor itu juga," jelasnya.

Rumah mewah seharga Rp700 juta

Menteng selama ini dikenal sebagai kawasan elite di Jakarta Pusat. Deretan rumah bergaya kolonial, pepohonan tua yang rimbun, dan jaraknya yang sangat dekat dari pusat pemerintahan dan bisnis menjadikannya simbol kemapanan yang hampir tak tersentuh oleh warga kelas menengah.

Namun pada 2025, sesuatu yang tak biasa terjadi di kawasan ini. Sebuah bangunan empat lantai berdiri tanpa tembok tinggi, tanpa pagar kokoh yang menutupi pandangan publik.

Di balik pagar rendah, pejalan kaki bisa langsung melihat taman kecil, balkon, dan jendela besar dari setiap unit hunian.

Bangunan ini adalah rumah flat koperasi pertama di Indonesia yang dibangun oleh dan untuk warga kelas menengah.

Rumah flat ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah eksperimen sosial—dan kritik halus—atas sistem hunian Jakarta yang selama ini terasa menindas bagi warga kelas menengah: terlalu mahal, terlalu jauh, atau terlalu sempit.

Rumah flat di Menteng dikelola dalam skema koperasi. Setiap penghuni ikut serta dalam pembangunan, pembiayaan, dan pengelolaan bangunan.

Skema ini memungkinkan harga unit jauh lebih rendah dibanding pasar konvensional.

Contohnya:

  • Unit terkecil berukuran 40 m² seharga Rp380 juta
  • Unit menengah 53 m² seharga Rp700 juta
  • Unit terbesar 128 m² seharga Rp1,2 miliar

Jika dibandingkan dengan harga rumah tapak atau apartemen sekelas di Menteng yang bisa menyentuh puluhan miliar rupiah, harga ini terasa seperti mimpi.

Namun bukan hanya harganya yang membuat proyek ini istimewa.

Letaknya hanya 15 menit jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia. Dikelilingi stasiun MRT, KRL, dan halte TransJakarta, rumah flat ini memungkinkan warganya untuk hidup tanpa bergantung pada kendaraan pribadi.

Di dalam unit, ventilasi dan cahaya alami menjadi prioritas. Balkon hadir di setiap hunian. Pohon-pohon yang ditanam bersama-sama oleh para penghuni menciptakan nuansa teduh dan damai.

Apakah Ini Solusi untuk Krisis Hunian Jakarta?

Dengan kebutuhan hunian yang terus meningkat dan harga properti yang terus meroket, terutama di pusat kota, rumah flat koperasi bisa menjadi model baru.

Masalahnya tentu ada: legalitas lahan, resistensi pasar, dan tantangan birokrasi. Namun keberhasilan rumah flat di Menteng menunjukkan bahwa model ini mungkin dan layak direplikasi.

Kini, skema serupa kabarnya akan dibangun di beberapa titik lain di Jakarta. Bila didukung kebijakan publik dan regulasi yang berpihak, rumah flat koperasi bisa menjadi senjata baru dalam menjawab ketimpangan perumahan kota besar.

Proyek rumah flat Menteng adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Ia bukan hanya soal tempat tinggal, tapi tentang merebut kembali hak warga kota untuk hidup layak di ruang kota yang selama ini dikuasai segelintir elite dan spekulan.

Dengan skema koperasi, warga kelas menengah menemukan celah untuk memiliki hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga layak secara sosial, ekologis, dan ekonomis.

Dan yang lebih penting, mereka menunjukkan bahwa mimpi tinggal di Menteng, bagi sebagian orang, bukan lagi mimpi yang mustahil. (*)

Tags : menteng, kawasan elite menteng, rumah belanda di menteng, properti,