"Aktivitas warga di kampung-kampung ummumnya di kepulauan Daik Lingga seperti biasa, tetapi para nelayan masih merasa was-was lingkungan rusak karena kehadiran industri yang berakhir penjarahan kayu di hutan yang terus mengancam"
eperti pada industri galangan kapal kayu di Desa Bakong tepian pantai Kecamatan Dabo Singkep Kabupaten Daik Lingga Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terus menggeliat. Puluhan orang sedang sibuk membuat kapal kayu, bahkan suara gergaji dan pukulan palu terdengar nyaring.
Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] khawatir pada Kabupaten termuda di Kepulauan Riau itu yang memiliki hutan yang lebat masih menjadi ancaman dari aksi illegal logging.
"Pelaku illegal logging [Ilog] di Pulau Lingga masih saja terjadi. Aparat penegak hukum harus gencar menindak. Bila tidak segera dicegah maka hutan di Lingga akan gundul dan yang merasakan akibatnya anak cucu kita nanti,” kata Ir Marganda Simamaora M.Si, Ketua Salamba menyampaikan melalui Whats App [WA] nya tadi, Senin (18/3/2024).
Ia juga memuji atas keberhasilan Satreskrim Polres Lingga mengungkap dugaan tindak pidana Illegal Logging di Kabupaten Lingga pada Kamis 11 Januari 2024 lalu.
Dalam pengungkapan kasus tersebut petugas mengamankan pelaku berinisial E (49) warga Kecamatan Singkep. Tersangka E diamankan selasa 9 Januari 2024 beserta barang bukti 6 ton papan dan bloti, kayu bulat belum diolah 61 batang dan 3 unit mesin untuk mengolah kayu.
Seorang nelayan menepi dengan pemandangan pohon mangrove di Pasir Pantai Diak Lingga
Atas perbuatannya pelaku dikenakan pasal 83 Ayat (1) huruf b Undang – undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 Tahun kurungan serta denda maksimum 2.5 miliar rupiah.
Kapolres Lingga melalui Kasat Reskrim Polres Lingga AKP Idris, S.E., Sy., M.H. mengungkapkan kasus itu dapat memberikan efek jera kepada pelaku untuk tidak melakukan suatu tindak pidana serupa dan mengimbau kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati agar tidak menjadi korban atau pelaku suatu tindak pidana.
'Kehadiran industri jadi ancaman'
Marganda Simamora juga melihat kehadiran industri [galangan kapal dan tambang pasir] masih menjadi ancaman terhadap kelestarian lingkungan.
Dibeberapa lokasi kegiatan galangan kapal, bengkel parabot yang ada di Kabupaten Lingga, didapati bahwa hampir seluruh bahan baku pembuatan kapal dan parabot rumah tangga tersebut menggunakan kayu yang diduga hasil dari kegiatan pembalakan liar dikawasan hutan Kabupaten Lingga.
Adapun jenis kayu yang digunakan yaitu kayu kampar (kapur), kayu meranti, kayu resak, balau dan kayu jenis mangrove serta beberapa jenis kayu campuran lainnya, diduga jenis kayu yang digunakan berasal dari kawasan hutan yang tidak termasuk dalam Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Lingga sudah memberikan himbauan kepada masyarakat tidak terlibat pembalakan, dan penebangan liar yang dapat merusak hutan terutama untuk daerah-daerah yang memiliki sumber mata air.
"Himbauan ini terus kami lakukan sebagai sumber mata air dapat dimanfaatkan sampai kerumah-rumah warga," kata Bupati Lingga M. Nizar dalam pada kesempatan pertemuan dengan warga.
Menurutnya, sumber mata air dapat menjadi bahan baku air bersih yang dapat dipergunakan oleh masyarakat.
"Bagi desa-desa yang memiliki sumber air dapat menginformasikan kepada pemerintah daerah."
"Tentunya kita harapkan agar dapat mengusulkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Lingga melalui Dinas PUTR," sebutnya.
Bupati Lingga M. Nizar
Ia berpesan, masyarakat tetap harus menjaga jangan ada pembalakan ataupun penebangan liar maupun pengerusakan hutan.
"Terutama untuk di daerah-daerah yang memang ada sumber mata air untuk bahan baku air bersih," imbuh Nizar.
Tambang pasir sumbang PAD
Semetara sektor tambang pasir di Kabupaten Linggga menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp2,56 miliar hingga pertengahan 2022.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Lingga Sumiarsih mengungkapkan pendapatan itu sudah disetor langsung ke rekening kas daerah yang bersumber dari pertambangan mineral bukan logam pada tahun berjalan 2022.
Tambang pasir sumbang pendapatan asli daerah
“Sektor pertambangan pasir menjadi salah satu pemasukan terbesar di Lingga selain sektor pertanian, perkebunan dan perikanan,” sebutnya.
Sumbangan tersebut berasal dari tiga perusahaan pertambangan yang beroperasi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Singkep Pesisir dan Kecamatan Singkep Barat.
Sebelumnya pada 2021 PAD dari pertambangan pasir mineral bukan logam menyumbang Rp19.554.325.063,5 yang mendongkrak PAD di Kabupaten Lingga.
Sebelumnya Bupati Lingga Muhammad Nizar di awal 2021 menyebutkan bahwa PAD Kabupaten Lingga melonjak melebihi target awal, naik menjadi 117 persen dengan jumlah Rp62,9 miliar lebih pada tahun 2021.
Dari total Rp62,9 miliar tersebut, pemasukan dari sektor pertambangan mineral bukan logam merupakan yang tertinggi pada tahun 2021 yang lalu.
Dan diyakini sumber PAD dari sektor pertambangan pasir ini lebih meningkat lagi pada tahun 2022, seiring dengan beberapa perizinan yang sudah diterbitkan oleh Kementerian ESDM untuk pertambangan pasir silika di Kabupaten Lingga.
“Alhamdulillah team work yang ada di Bapenda Lingga ini terus konsisten dan itu justru memacu semangat. Sehingga bisa menambah Rp10 miliar dari target yang ditetapkan,” ujar Nizar beberapa waktu yang lalu.
Nelayan khawatir lingkungan rusak
Pada awal Januari 2024 lalu, masyarakat pulau yang dominan nelayan ini mulai terlihat masih banyak kembali melaut. Mereka mulai menjalankan aktivitas seperti biasa.
Beberapa dari mereka pada setiap sore hari naik ke darat sambil membawa berbagai jenis hewan laut hasil melaut hari itu.
Hasil laut mereka berbagai jenis ikan karang, gonggong, udang kipas, kepiting, rajungan dan lain-lain.
Tangkapan ikan mereka jual ke Pulau Batam, untuk memasok restoran-restoran seafood besar di kota itu.
“Ini hasil dari pesisir laut di depan, semua masih segar dan hidup,” kata Amran, nelayan di Kampung Cenut, Lingga.
Dilokasi kampung itu, selain terdapat nelayan menangkap ikan juga terdapat nelayan Kelong [penangkap ikan bilis].
Meski kembali melaut, tetapi keceriaan Amran dan beberapa nelayan di sekitar perairan Lingga, tidak lagi seperti dulu.
Mereka mengaku masih was-was setelah hadirnya tambang pasir yang mengenai dampak lingkungan (amdal) perairan laut.
Nelayan lainnya mengatakan, setelah konsultasi amdal nelayan khawatir dampak yang akan ditimbulkan.
Mereka baru menyadari industri tambang pasir hanya mengambil ruang hidup masyarakat yang sudah ratusan tahun tinggal di darat.
Juga akan merusak ekosistem laut nelayan sekitar.
“Jadi, disinilah proyeknya. Ini sudah pasti laut kami di depan ini akan dikeruk, pesisir akan direklamasi, tentu ini sangat mengganggu mata pencaharian kami,” kata Dorman nelayan di Kampung Cenut.
Dia juga khawatir, industri tambang pasir akan merusak terumbu karang di pesisir kampung.
Padahal, katanya, karang menjadi tempat ikan dan biota laut berkembang biak.
“Otomatis dampak pasti kepada kondisi laut, karang rusak, ikan hilang, udang juga akan hilang,” kata pria 43 tahun itu.
Setidaknya, di Kampung Cenut terdapat puluhan kepala keluarga.
“Mayoritas kami ini melaut, jadi kami berharap pemerintah memperhatikan kami juga, kalau memang merusak, kami menolak pembangunan ini,” kata Rudi Ketua kelompok Nelayan Kelong dan sekitarnya ini.
Sampai saat ini, kata Rudi, nelayan masih satu suara menolak adanya industri tambang pasir ini kalau tidak memperhatikan dampak kerusakan lingkungan yang akan timbul.
Nelayan di pesisir dan sekitarnya merupakan nelayan tradisional yang menangkap dengan alat tradisional.
“Kami pakai bubu, jaring, menyelam kadang pancing,” kata Rudi.
Setiap sore hari nelayan memasang jaring. Pada esok harinya, jaring diangkat ke darat.
“Dalam satu hari rata-rata nelayan bisa dapat Rp150.000-Rp200.000- lah,” katanya.
Pokmaswas kawasan laut di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri, kata Rudi, di perairan Lingga mereka juga ada kawasan laut konservasi.
Gongong salah satu kekayaan laut di Pesisir Pulau
Mereka pun khawatir, kalau kawasan konservasi terdampak.
Di perairan itu, nelayan masih banyak menemukan satwa-satwa langka dilindungi seperti dugong, penyu dan lumba-lumba.
“Kalau dipesisirnya marak tambang pasir, tentu kawasan perairan ini akan rusak, kami jadi risau, tugas kami menjaga kawasan konservasi ini.”
Selain maraknya tambang pasir, industri galangan kapal kayu di beberapa juga terus menggeliat, karena kapal kayu masih menjadi kebutuhan nelayan untuk mencari ikan.
Industri galangan kapal marak
Seperti di Desa Bakong tepian pantai kecamatan Dabo Singkep Daik Lingga, yang tak seberapa jauh dari Kampung Cenut puluhan orang sedang sibuk membuat kapal kayu.
Ditengah sengatan matahari, mereka tetap tekun bekerja menyelesaikan kapal kayunya. Kapal-kapal kayu berukuran besar yang baru setengah jadi, sudah terlihat megah.
Ditambah dengan pilar-pilar kayu berukuran besar membentang dari depan hingga belakang.
“Pilar-pilar ini nantinya untuk menempatkan mesin kapal dan penyangga utama sehingga harus kuat dan tidak mudah rapuh,” kata pekerja dan tukang kayu di galangan itu.
Panjang dan lebar serta ketinggian kapal kayu yang dibuat cukup bervariasi, sesuai dengan jenis, tonase, dan bentuk yang dikehendaki.
Seperti kapal mini poursein 25 gross tonnage (GT) memiliki panjang 22 meter, lebar 5,6 meter, dan tinggi 2,2 meter.
Bahkan ada kapal berukuran lebih besar lagi hingga dua-tiga kali lipat, disesuaikan dengan kapasitas mesin yang mencapai 60-120 GT.
Pesanan kapal dari luar wilayah Provinsi Kepri juga cukup banyak, sayangnya industri kapal di Bakong ini tidak bisa memproduksi kapal dengan cepat sebab hampir sebagian besar kapal dikerjakan secara manual oleh tangan-tangan terampil, diakui salah satu pemilik galangan kapal berinisial SL.
Belakangan para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong kesulitan bahan baku kayu. Kayu Resak yang biasa dijadikan bahan bakunya mulai terbatas.
Selain kuat dan tahan air, harganya pun selangit. Kayu jenis Resak sebagai bahan baku menjadi langka, akibatnya ilegalloging (Illog) pun terjadi.
Kayu Resak diburu oleh para pelaku illog diperoleh dari hutan lindung di Pulau Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
"Perusahaan galangan kapal mulai kewalahan, akhir-akhir ini kesulitan bahan baku mulai dari kayu hingga besi membuat tak bisa memperbaiki kapal-kapal nelayan yang butuh perbaikan"
"Sebenarnya cukup banyak kapal-kapal milik nelayan, maupun kapal ikan yang butuh perbaikan, namun kami tolak untuk memperbaiki, karena sulitnya untuk mendapatkan bahan baku kayu untuk mengganti badan kapal yang sudah rusak," kata SL, salah seorang pemilik usaha patungan galangan kapal nelayan di Desa Bakong dalam percakapannya dengan riaupagi.com via ponselnya belum lama ini.
Ia mengaku sampai-sampai sakit kepala memikirkan bahan baku yang kian sulit didapat, "walaupun Daik Lingga boleh dibilang masih banyak sumber-sumber kayu berkualitas untuk keperluan pembuatan kapal nelayan namun tak semudah itu untuk memperolehnya," sebutnya.
Dengan keterbatasan bahan baku kayu kualaitas terbaik itu, Ia kini hanya menerima kapal-kapal kayu nelayan untuk dilakukan renovasi ketimbang dengan membuat baru kapal-kapal yang bahan bakunya terbuat dari kayu yang tahan terhadap air laut.
"Setiap bulan cukup banyak kapal-kapal kayu meminta perbaikan, namun terkadang kami tolak karena sulitnya kayu berkualitas untuk pergantian rangka kapal yang sudah lapuk," katanya.
Menurut Saleh, usaha patungan galangan kapal yang dibangun sejak 1990 itu, hingga kini masih tetap bertahan, walaupun hanya mengutamakan kapal kayu untuk diperbaiki.
"Kapal-kapal yang masuk dalam perbaikan di galangan itu, umumnya milik nelayan sejenis kapal ikan," katanya.
Perbaikan kapal membutuhkan waktu sesuai dengan kondisi kerusakan kapal.
Kapal yang masuk dalam perbaikan biasanya memakan waktu antara 20 hingga 25 hari dengan tingkat kerusakan antara 10-35 persen.
"Kalau kapal-kapal kayu yang berbobot 30 gross tonnage (GT) hingga 40 gross tonnage (GT), biasanya butuh waktu hingga satu bulan lebih, disebabkan ada mesin harus diganti dipesan dari luar Daerah dan bahkan impor, sehingga membutuhkan waktu cukup lama," ujaranya tanpa menyebut biaya perbaikan untuk setiap kapal.
Pengusaha galangan kapal di Desa Bakong bukan hanya SLyang berusaha untuk bertahan dari terpaan sulitnya bahan baku, melainkan seperti Acai, Ato, Toni, Smin, Alai dan Ationg yang kesemuanya beroperasi di Dusun II Desa Kuala Raya dan Desa Bakong, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga juga rata-rata merasa kesulitan bahan baku Kayu Resak.
Mereka mengandalkan pembelian bahan baku kayu yang tak tau asal muasal kayu diperoleh.
"Berdasakan informasi yang saya dapat dari warga di Desa Bakong sampai kini pengusaha galangan kapal itu belum ditertibkan, bang," kata Zuhardi dari lembaga swadaya masyarakat (lsm) Gema Lingga dalam bincang-bincangya belum lama ini.
Untuk bahan kapal ini pengusaha galangan menggunakan kayu jenis Resak, “tapi jika dibiarkan kegiatan ini terus berlangsung, hutan terus terusik,” sebutnya menambahkan, lemahnya pengawasan oleh instansi terkait mengakibatkan hutan negara bisa hancur.
Di Desa Bakong sejak lama sebagai tempat operasi usaha galangan kapal.
Salah seorang pengusaha galangan kapal yang minta tidak disebutkan namanya mengaku, kesulitan untuk memenuhi bahan kayu untuk pembuatan kapal.
"Kami harus pandai-pandai untuk mendapatkan bahan kayu, bermitera dengan sala seorang pengusaha kayu. Dari mereka diperoleh bahan kayu yang selanjutnya bisa memenuhi permintaan konsumen untuk membuat kapal seukuran 30 GT," ungkapnya.
Para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong disebut-sebut dikoordinir oleh seseorang yang bernama Berlin, yang konon sebagai putera asli Desa Bakong dan dia mengatur semua hal atas keamanan kegiatan galangan kapal termasuk soal kedekatannya dengan aparat hukum.
Berlin sendiri dikontak ponselnya, membantah soal keterlibatannya terhadap para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong.
"Coba hubungi mereka sajalah, saya tak dapat komentari soal itu,” sebutnya singkat sambil menutup ponselnya.
Akibat aktivitas galangan kapal ini, kayu jenis Resak yang tumbuh di kawasan hutan lindung di Lingga terusik karena pengusaha galangan kapal memenuhi pesanan kapal dari beberapa daerah baik dalam dan luar wilayah provinsi Kepri yang menjadikan pohon kayu Resak menjadi korban.
Asmin Patros, putra asli kelahiran Dabo Singkep berharap Pemkab Lingga dapat membantu kesulitan para nelayan demi meningkatkan taraf perekonomian di daerah.
"Solusinya pemkab dapat memberikan keberpihakan kepada penggiat hasil sumber daya kelautan yang sudah jelas menjadi andalan wilayah Kabupaten Tanah Bunda Melayu [Daik Lingga]," sebutnya.
“Sebagai kawasan berporos maritim sebaiknya Pemkab Lingga memperhatikan kelompok-kelompok nelayan untuk diberi bantuan kapal yang lebih baik,” ujar politisi yang duduk di Komisi II DPRD Provinsi Kepri ini pada media belum lama ini.
Menurutnya, jika kelompok nelayan mendapat bantuan kapal yang besar, Asmin memperkirakan akan mendapatkan hasil yang lebih baik pula. Sebab, menurut pria kelahiran Pulau Singkep ini, semakin ke tengah laut, ikan yang didapat tentunya ikan yang bernilai ekonomis lebih tinggi.
Tentunya, kapal bertonase besar tersebut harus memiliki fasilitas yang mendukung pula, seperti alat pendingin untuk mengawetkan ikan dan sebagainya agar hasil tangkapan dapat dijaga mutunya dan tentunya bernilai ekonomi tinggi.
Dia juga mencontohkan sejumlah negara yang membekali nelayannya dengan kapal besar dan sarana yang lengkap.
Jika ini berjalan dengan baik, Asmin memperkirakan dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Tanah Bunda Melayu ini.
Hal ini dikarenakan kondisi geografis Kabupaten Lingga terdiri dari laut yang luas dan kaya akan hasilnya.
Pemkab Lingga melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lingga telah banyak memberikan bantuan alat tangkap dan sejumlah kapal seperti Inkamina dan bantuan lainnya.
Bagaimana amdal?
Tetapi kembali dalam tanggapan pihak Yayasan Sahabat Alam Rimba, mereka menyatakan, seharusnya pemerintah fokus konsultasi amdal terlebih dahulu terhadap industri-industri tambang pasir yang kembali marak di pulau itu.
“Pemerintah, seperti biasa hanya menyampaikan iming-iming lapangan pekerjaan, tapi tidak jujur menyampaikan berapa banyak mata pencaharian, sejarah, dan hal lain yang bakal hancur,” kata Marganda Simamora, Ketua Salamba meprediksinya.
Konsultasi publik soal amdal dalam melengkapi syarat baik dikawasan hutan maupun pada pantai sangat penting.
Dari kajian amdal, katanya, akan keluar strategi-strategi meminimalisir dampak lingkungan dari pembangunan.
"Dari penyusunan amdal dan konsultasi publik akan ditemukan ada beberapa risiko kerusakan lingkungan kalau ada tambang pasir. Seperti gangguan biota perairan, penurunan pendapatan nelayan, dan lain-lain," terangnya.
“Karena kita melihat jika ada tambang pasir, tentu dipesisir, nelayan akan resah gangguan itu, memberikan dampak,” katanya.
Marganda Simamora tidak hanya mengkhawatirkan atas kerusakan ekosistem laut dampak adanya tambang pasir.
Menurutnya, besar kemungkinan lokasi tambang-tambang untuk pemenuhan bahan baku pabrik ini akan diambil dari wilayah pesisir, laut dan pulau kecil di sekitar Daik Lingga.
Marganda mengatakan, tak hanya berdampak kepada lingkungan, proyek tambang pasir juga bisa mendorong kepunahan Masyarakat Adat Melayu, memisahkan mereka dari tanah leluhur dengan cara penggusuran dan menghancurkan sumber kehidupan dari pesisir dan laut.
“Ini menurut kami, apabila dikaji lebih dalam masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, pengusiran paksa sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan,” katanya.
Jadi ini tidak tentang budaya seperti biasa, tetapi laut bagi masyarakat adat di Lingga adalah bagian wilayah kultural.
“Laut bagi mereka bukan soal menangkap ikan, tetapi itu wilayah kultural, wilayah hidup, dimasa mendatang, nasib mereka tidak tahu seperti apa,” katanya.
Masyarakat adat, katanya, sering terabaikan karena bagi pemerintah uang segalanya.
“Kalau ada janji akan dibangunkan kampung nelayan modern, bukan soal modern atau tidak, ini soal kehilangan ruang hidup, tanah, laut yang dirampas," sebutnya.
Jadi pada kesimpulan, memang selama hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus-kasus perampasan wilayah adat cukup meningkat. Atas nama investasi, pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat yang hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya. (*)
Tags : galangan kapal, kapal nelayan, bahan baku industri kapal, daik lingga, kepri, lingkungan, kerusakan hutan, pengusaha kapal kesulitan bahan baku kayu, pengusaha galangan kapal bertahan, Sorotan, riaupagi.com,