Oleh: A SYALABY ICHSAN
TAK LAMA lagi kita akan menikmati Ramadhan. Sebuah momentum istimewa di mana pintu rahmat dan ampunan dibuka seluas-luasnya. Puasa sebulan penuh menjadi ibadah utama dari bulan ini yang membedakannya dari bulan lain.
Pergeseran pola makan dari tiga kali sehari—bahkan lebih sering tak beraturan—menjadi ketika menjelang Subuh dan selepas Maghrib membuat tubuh kita jauh lebih sehat.
Badan Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) bahkan pernah menegaskan jika puasa terbukti menyehatkan dari berbagai sisi, yakni fisik, psikis, sosial, hingga spiritual. Dari kesehatan fisik, ternyata puasa menimbulkan manfaat yang menakjubkan.
Ketika puasa, tentu tidak ada asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh kita sehingga sumber energi dalam tubuh akan dibakar habis.
Ahmad Rifa'i Rif'an dalam bukunya, Izrail Bilang ini Ramadhan Terakhirku menjelaskan, energi kita peroleh dari glukosa hasil makan (sahur). Setelah cadangan glukosa habis, energi diperoleh dari glikogen dalam darah.
Setelah kandungan glikogen dalam darah berkurang, otak akan menginformasikan tubuh sedang lapar sehingga kita harus segera makan. Otak yang mengidentifikasi jika kita sedang puasa alias tidak boleh makan akan merespons dengan menghidupkan program autolisis.
Apakah autolisis itu? Autolisis secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu sistem automatisasi dalam tubuh yang berfungsi memformat ulang tubuh menuju kondisi yang ideal.
Saat autolisis diaktifkan, ia akan mencari database mengenai rancangan dasar manusia. Secara keseluruhan, ada sekitar 50 triliun sel penyusun tubuh yang terdiri atas sekitar 200 jenis sel. Berbekal data detail setiap sel tubuh, autolisis akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel, di bagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlah tiap jenis sel yang ideal bagi tubuh.
Autolisis ini akan menghampiri sel-sel liar yang tak ada dalam database rancangan dasar manusia. Dia akan menghilangkan sel-sel rusak, sel-sel mati, benjolan tumor, serta timbunan lemak yang sering menjadi sarang zat beracun.
Demikian kuasa Allah yang mengatur mekanisme dalam tubuh kita untuk menguatkan imunitas. Sungguh besar kasih sayang Allah kepada kita para hamba-Nya yang penuh dosa.
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS adz-Dzariyat: 20-21).
Dilansir dari Tafsir Kementerian Agama (Kemenag), ayat ini mengisyaratkan kepada manusia bahwa pada diri manusia terdapat bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah, seperti perbedaan kemampuan, perbedaan bahasa, kecerdasan dan banyak macamnya anggota tubuh yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Lewat puasa, tanda-tanda kebesaran Allah itu semakin terkuak.
Tidak cuma fisik, ada faktor psikis yang membuat emosi kita semakin stabil selama Ramadhan. Rasulullah SAW menyuruh kita untuk menahan amarah saat puasa. Padahal, tubuh kita sedang menahan lapar. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW menyarankan kita untuk menghindari amarah, emosi, pertengkaran.
Diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Jika salah seorang kalian berpuasa, maka hendaklah ia tidak berkata atau berbuat jorok, berteriak-teriak, membuat gaduh. Kemudian jika ada seorang yang memaki-maki atau menantang berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan 'saya sedang puasa'" (HR Bukhari dan Muslim).
Selain menjadi sarana latihan pembersihan jiwa, hikmah dari larangan ini sebenarnya untuk melindungi diri kita sendiri. Emosi negatif akan menguras energi dalam tubuh kita. Otak pun akan memerintahkan tubuh untuk berdetak lebih cepat sehingga semakin banyak energi terkuras. Pada titik tertentu, emosi tersebut berpotensi memicu hadirnya stres.
Dr Abdul Jawwad ash-Shawi dalam bukunya, Terapi Puasa, bahkan menjelaskan, ketika seseorang yang sedang puasa kemudian emosi dan marah, adrenalin akan meningkat tajam. Jumlahnya bisa 20 kali lipat lebih banyak dari saat tidak puasa.
Jika marah dan pertengkaran terjadi pada masa penyerapan, proses pencernaan makanan akan terganggu.
Untuk aspek sosial, Ramadhan juga dikenal sebagai bulan kedermawanan. Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita tentang keutamaan bersedekah selama bulan puasa.
Ibnu Abbas Ra bahkan menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Alquran. Dan kedermawanan Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wasallam melebihi angin yang berembus” (HR Bukhari, no 6).
Dikatakan melebihi angin yang berembus karena Rasulullah amat ringan dalam memberi. Beliau SAW tak pernah berpikir panjang dan cepat dalam bersedekah.
Terakhir, puasa tentu saja meneguhkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Sebagai ibadah sunyi yang tak bisa tampak oleh mata manusia, pertanggungjawaban kita hanyalah kepada Allah Ta’ala.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS al-Baqarah ayat 183).
Sumber: Republika.co,id
Tags : puasa, ramadhan, tarawih, berbuka, sahur,