KULINER - Pada suatu pagi yang gelap dan basah di musim dingin, para staf dapur di Ryokan Adumaya tampak sibuk. Para pekerja penginapan tradisional Jepang yang terletak di sebuah desa kecil bernama Yunomine itu menyiapkan hidangan khas lokal untuk para tamu.
Di satu sudut dapur yang terang, Jitsuo Shinka mengaduk bubur nasi di sebuah panci logam besar. Dia menciduk dengan sendok, lalu perlahan-lahan menuangkannya kembali ke adonan. Ketika bubur mulai mendidih, busa tebal berwarna kekuningan terbentuk dan hampir meluap ke tepian panci. "Kita harus membiarkan udara masuk ke adonan bubur agar tetap dingin sehingga tidak mendidih sampai meluap," kata Shinka dirilis BBC News.
Dia membiarkan busa kekuningan itu naik sampai ke tepian panci sebelum mengaduknya lagi. "Perlu sekitar 12 sampai 13 menit sampai nasi matang dan kemudian perlu dikukus di dalam panci selama 15 menit. Busa semakin tebal saat dimasak dan buburnya menjadi semakin tebal."
Waktu terbaik untuk menyantapnya, saya diberi tahu, adalah sekitar 15 menit setelah dimasak. Bubur di dapur penginapan itu tidak perlu diperhatikan begitu rinci jika dimasak menggunakan air biasa. Tapi ini bukanlah bubur biasa karena dibuat dengan air dari telaga air panas alami (onsen) yang kuno di Yunomine.
Di antara lebih dari 3000 onsen di seluruh Jepang, Yunomine, yang ditemukan sekitar 1.800 tahun lalu, disebut-sebut sebagai yang tertua. Telaga ini dihormati sebagai bagian tak terpisahkan dari rute perjalanan sakral Kumano Kodo yang melewati Yunomine. Selama berabad-abad, para pengembara yang menyusuri jalan berusia 1.000 tahun itu selalu mampir untuk membersihkan diri usai perjalanan panjang mereka.
Tradisinya, para pengembara akan berendam di arus air dingin Sungai Yunotani. Arus itu bercampur dengan air panas kaya sulfur yang mengalir ke atas dari bawah tanah. Kebiasaan berendam itu dilakukan mereka sebelum berdoa di kuil Kumano Hongu Taisha, satu dari tiga kuil agung di Kumano.
Kini, bak mandi dari bebatuan alam yang disebut Tsuboyu telah dibangun di tempat itu. Tak seperti pemandian air panas lain di Jepang, yang merupakan spa mewah dengan bak mandi terbuat dari kayu cedar dan lantai berubin, Tsuboyu hanyalah kabin satu kamar sederhana di atas sungai.
Namun tempat Tsuboyu terkenal sebagai satu-satunya pemandian air panas yang terletak di situs warisan dunia. Selain menjadi pemandian populer bagi para pengembara, telaga air panas di desa itu juga sejak lama menjadi tempat populer bagi warga lokal untuk memasak.
Beberapa meter dari hilir Tsuboyu, warga lokal mengubah kolam kedua yang dialiri Sungai Yunotani, yang dinamai Yusutzu, menjadi semacam dapur umum. Catatan sejarah menunjukkan, warga Yunomine sudah memasak menggunakan air bersuhu 90 derajat celsius dari telaga itu setidaknya sejak zaman Edo (1603-1868). Keterangan itu dipaparkan Yoshiki Kobuchi dari Asosiasi Wisata Kumano Hongu.
Akibat budaya dan hidangan khas onsen Yunomine yang antik, desa kecil ini mulai meraup ketenaran. Yunomine lebih dari sekadar desa dengan deretan rumah kayu yang dibangun di tepi Sungai Yunotani. Hanya ada satu jalan dengan 26 keluarga dan total 50 warga di desa ini. Pada 2015, tidak banyak orang luar yang berkunjung ke sini. Tapi kabar tentang pemandian air panas unik di desa ini telah menyebar. Sekarang ada 14 penginapan untuk mengakomodasi pengunjung yang berdatangan.
Terdapat lebih dari 35.000 turis yang datang ke desa ini pada 2018. Ryokan Adumaya, yang berdiri sejak zaman Edo, bahkan pernah jadi tempat menginap keluarga kerajaan. Berdirilah di titik manapun di tepian Sungai Yunotani, antara Tsuboyu dan Yusutzu, maka Anda bisa melihat sebagian besar desa.
Beberapa pengunjung yang datang membeli telur dan sayur-mayur di toko terdekat lalu memasaknya bersama warga lokal di telaga air panas Yusutzu. Sementara itu, banyak turis lainnya memilih mengunjungi kuil kecil Toko-ji di tengah desa. Saat saya berkunjung, dua warga berusia enam-puluhan tahun, Yoshifumi Takeshita dan Takashi Nakamichi, tengah meringkuk di sekitar kolam Yuzutsu. Mereka memasak kentang dalam jaring yang mereka gantung di salah satu kail, tepat di atas telaga air panas itu.
Dua sekawan itu adalah pengunjung rutin telaga air panas. Tapi itu adalah kali pertama mereka mandi di Onsen Yunomine. "Tempat ini sangat terpencil, seperti pemandian air panas tersembunyi. Tidak ada bangunan baru, jadi sangat memicu nostalgia," kata Takeshita.
Malam harinya, Hiroko Kikuchi, Yoshiko Wada, dan Takeko Kuraya, tiga anggota asosiasi pemilik penginapan di Yunomine, berkumpul di sekitar Yuzutsu. Mereka menunjukkan pada saya khasiat memasak sayur-mayur dengan air panas telaga. "Lihat betapa indahnya warna hijau ini?" kata Kuraya sambil menyodorkan sepotong brokoli yang telah ia rebus di Yuzutsu. Bahkan di bawah cahaya remang lampu jalan pada malam hari, warna hijau terang itu begitu jelas terlihat.
"Memasak di air panas telaga menghilangkan rasa pahit pada sayuran," ujar Kikuchi.
Ketika saya mengunyah brokoli yang renyah itu, saya terkejut mendapati bahwa rasanya sedikit manis. Tidak ada bau sulfur yang biasanya dikaitkan dengan air dari telaga air panas. Air onsen membuat semua makanan terasa lebih lembut, menurut Wada. Selain sayuran dan telur, tahu yang dimasak di air panas telaga juga merupakan makanan favorit warga lokal.
"Kami juga minum air onsen setiap pagi, karena katanya bagus untuk perut," ucap Kuraya. Ketiga perempuan itu meminta saya mencoba kopi yang dibuat dengan air onsen.
Saat ini, warga lokal makin jarang memasak di Yuzutsu karena air panas dari telaga disalurkan langsung lewat pipa ke rumah-rumah. Tapi semua orang pergi ke sana untuk memasak takenoko (tunas bambu) ketika musimnya, kata Yosuke Tamaki, penanggung jawab Ryokan Adumaya. "Ini disebut kemacetan takenoko," katanya sambil tersenyum.
Pada musim semi, warga akan menggali tunas bambu di bawah tanah, merendamnya di Yuzutsu sebelum berangkat kerja. Ketika mereka pulang pada sore hari, bambu sudah matang dan rasa pahit tunas bambu mentah sudah hilang. Saya berkunjung saat musim tunas bambu belum tiba. Akan tetapi, malam itu saya disajikan makan malam mewah di Ryokan Adumaya. Saya menyantap berbagai hidangan yang dimasak dengan air onsen. Jujur, saya hanya merasakan sedikit perbedaan dalam tekstur dan rasanya.
Namun, sup labu kuning memiliki kepedasan yang biasanya tidak dikaitkan dengan sayuran itu dan terasa kurang manis dibandingkan kabocha pada umumnya. Sajian shabu-shabu daging sapi di atas piring panas yang dibuat dengan air onsen terasa lebih bermineral, meski tidak mengandung rasa sulfur. Meski nasi yang ditanak dengan air onsen rasanya sama dengan nasi biasa, teksturnya lebih legit.
Menurut warga setempat, memasak dengan air onsen tidak secara radikal mengubah rasa makanan, tapi membuat rasanya jadi lebih lembut. Tidak seperti air keran biasa, air panas telaga juga berkhasiat menjaga keempukan daging, walau Anda memasaknya dalam waktu lama. Air telaga Yunomine memiliki keseimbangan mineral yang pas untuk memasak, kata Tamaki. Jika mengandung terlalu banyak zat besi atau sulfur, mustahil menggunakan air itu untuk memasak, apalagi meminumnya, seperti yang dilakukan warga setempat.
Pada pagi keesokan harinya, saya mendapat pengalaman terbaik dalam kunjungan saya ke desa itu. Saya mencicipi bubur nasi yang disiapkan dengan air onsen di dapur Adumaya. Bubur itu sangat legit dan kuning. Ini bertolak belakang dari hidangan yang disajikan untuk makan malam, yang berbau belerang, meski tidak terlalu menyengat.
Butuh sedikit waktu sampai terbiasa pada rasanya, tapi setelah beberapa suap, saya ketagihan. Saya biasanya tidak menikmati bubur nasi, tapi bubur ini cukup enak untuk dimakan tanpa lauk. Namun, kopi onsen yang direkomendasikan pemilik penginapan adalah yang paling enak. Rasanya lembut dan kaya rasa. Ini mungkin kopi terbaik yang pernah saya rasakan.
Karena begitu enak, saya tidak mau mengencerkan rasanya dengan menambahkan susu. Saya dengan mudah menghabiskan teko pertama yang mereka sajikan dan tidak bisa menahan keinginan untuk meminta kopi tambahan. Selain mungkin merupakan telaga tertua di Jepang, Tsuboyu mungkin juga yang terkecil. Gubuk kecil itu terletak tepat di atas sungai dan bisa menampung hanya dua sampai tiga orang.
Karena kepopulerannya, seringkali terbentuk antrean mengular di luar, dan setelah mendapat tiket, tamu hanya boleh berendam di air panas selama 20 menit. Mungkin ada lebih banyak turis daripada pengembara yang singgah di Yunomine dewasa ini, tapi entah itu dengan mandi atau memasak, Tamaki mengatakan bahwa orang-orang kini datang ke desa kecil ini untuk mengonsumsi onsen, baik 'dari dalam dan dari luar'.
Tags : Makanan Khas Jepang, Makanan Dimasak di Pemandian Air Panas ,