Artikel   2024/05/25 15:24 WIB

Novel 'Bumi Manusia' Karya Pramoedya Ananta Toer Sempat Dilarang Era Orde Baru, Kini Masuk Kurikulum Sekolah 

Novel 'Bumi Manusia' Karya Pramoedya Ananta Toer Sempat Dilarang Era Orde Baru, Kini Masuk Kurikulum Sekolah 
Pramoedya Ananta Toer sedang membubuhkan tanda tangan di halaman salah-satu buku karyanya di suatu acara di Jakarta, 19 Desember 2000

PRAMOEDYA ANANTA TOER, dikenal mencetuskan berbagai karya tulisan sejak di era orde lama. Novel berjudul 'Bumi Manusia' karya miikya sempat dilarang pada masa Orde Baru.

Di masa itu, membaca, memiliki, ataupun menjual buku-buku Pramoedya bisa membuat Anda dijebloskan ke penjara.

Tetapi kini, pemerintah Indonesia memasukkan buku itu dalam daftar rekomendasi sastra kurikulum agar dibaca dan dipahami oleh siswa di seluruh Indonesia.

Novel Bumi Manusia menceritakan perjuangan anak bupati bernama Minke melawan diskriminasi Belanda terhadap pribumi pada masa kolonial di awal abad ke-20.

Minke, yang bisa bersekolah karena privilesenya, menggunakan pengetahuannya untuk melawan kolonialisme Belanda.

Pramoedya Ananta Toer sendiri menjadi tapol (tahanan politik) di bawah pemerintahan Orde Baru karena afiliasinya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibubarkan karena terkait dengan Partai Komunis Indonesia.

Di Pulau Buru, Pramoedya masih tetap produktif menulis: salah satunya adalah tetralogi Bumi Manusia yang mencakup Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988)

Bumi Manusia sendiri dilarang Kejaksaan Agung dengan surat larangan nomor SK-052/JA/5/1981 setahun setelah terbit - sementara tiga buku sisanya langsung dilarang tak lama setelah dipublikasikan.

Beberapa mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan Bumi Manusia – salah satunya adalah Bonar Tigor Naipospos, yang diseret aparat dari kamar kosnya di Pondok Pinang, Jakarta Selatan pada Agustus 1989.

Bonar kemudian diinterogasi, dituntut, dan dijebloskan ke penjara hampir sembilan tahun.

Dia dianggap sebagai aktor intelektual penyebar novel itu sekaligus menyebarkan ideologi komunisme.

“Ironis” adalah kata yang digunakan Bonar beberapa kali saat menanggapi kabar Bumi Manusia, novel sastrawan kawakan Pramoedya Ananta Toer, masuk daftar rekomendasi buku sastra ke dalam Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran baru.

"Saya enggak pernah membayangkan bahwa saya terkena hanya karena kasus buku. Bukan kita pula juga penulisnya. Ironisnya di situ," kata Bonar Tigor Naipospos seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (22/05).

Bonar kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute – LSM yang fokus terhadap riset dan advokasi untuk demokrasi, kebebasan berpolitik, dan hak asasi manusia.

Bagi Bonar, Bumi Manusia “sangat baik” dan “harus dibaca” semua anak muda yang “memiliki kecintaan kepada negeri ini”.

Dia berpendapat pemerintah “sangat naif” apabila tidak memasukkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dalam rekomendasi sastra di kurikulum.

“Pemerintah tidak bisa mengabaikan bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah raksasa dalam sejarah Indonesia. Bukunya diterjemahkan dalam banyak bahasa [asing] dan [nama Pramoedya sempat didiskusikan] beberapa kali untuk mendapatkan Nobel [Sastra],” ujarnya.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menempatkan sastra ke dalam Kurikulum Merdeka per tahun ajaran baru untuk tingkatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dalam konferensi pers pada Senin (21/05), Kemendikbud-Ristek menyebutkan ada 177 karya sastra termasuk novel, cerita pendek, puisi, dan non-fiksi yang bisa digunakan tenaga pengajar dalam menunjang proses pembelajaran di sekolah.

Bagaimana proses 'Bumi Manusia' – dan 176 buku lainnya – masuk rekomendasi sastra dalam Kurikulum Merdeka?

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo, mengatakan menegaskan bahwa Sastra Masuk Kurikulum ini bukan mata pelajaran tersendiri.

“Buku-buku yang direkomendasikan bisa digunakan sebagai bahan belajar mata pelajaran yang sudah ada, mulai bahasa Indonesia sampai IPA dan IPS,” ujar Anindito.

“Sebagai contoh, buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bisa didiskusikan dan dianalisis di kelas sejarah untuk memahami pengalaman menjadi orang Indonesia di zaman kolonial Belanda dan dampak kolonialisme terhadap alam pikir masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan.”

Ditanya tentang pemilihan Bumi Manusia – yang dulu dilarang Orde Baru – Anindito hanya mengatakan pemilihan karya yang direkomendasikan dilakukan tim kurator yang terdiri dari sastrawan mumpuni dan guru-guru yang berpengalaman menggunakan karya sastra di kelasnya.

“Jadi silahkan gali dari tim kurator untuk menanyakan mengapa karya Pram masuk dalam daftar rekomendasi,” ujarnya.

Okky Madasari, sastrawan dan sosiolog yang masuk ke dalam tim kurator Sastra Masuk Kurikulum, mengatakan Bumi Manusia dipilih berdasarkan kriteria tujuan pembelajaran untuk jenjang SMA “antara lain [untuk] memahami sejarah kebangsaan”.

“Karya Pramoedya memang sudah seharusnya diperkenalkan di bangku sekolah. Ketika memperkenalkan karya sastra, kita juga sedang memperkenalkan sejarah pergulatan intelektualisme dan capaian-capaian penting kreativitas Indonesia,” ujarnya via pesan teks pada Selasa (21/05).

“Karya Pramoedya tidak mungkin luput dan sudah seharusnya masuk. Bumi Manusia ditempatkan di jenjang SMA, karena mempertimbangkan kompleksitas cerita dan ketebalan.”

Selain Pramoedya, buku Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul, penyair dan aktivis yang dinyatakan hilang sejak 1998, dan Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang mengisahkan penculikan aktivis tahun 1998 juga masuk ke dalam daftar.

Okky menyebut puisi-puisi Wiji Thukul “penting dibaca untuk membangun kesadaran politik dan berpikir kritis [sehingga] direkomendasikan untuk dibaca pelajar SMA yang baru punya hak pilih.”

Adapun Laut Bercerita, menurut Okky, “cocok digunakan untuk mempelajari apa yang terjadi di seputar Reformasi 98”.

“Mempelajari sejarah juga merupakan tujuan pembelajaran,” jelasnya.

Walaupun peluncuran program ini bertepatan dengan peringatan 26 tahun kerusuhan Mei 1998 – dan ada buku-buku yang berkelindan dengan represi Orde Baru, Okky menyebut Sastra Masuk Kurikulum tidak berhubungan dengan Mei 1998.

“Pemilihan 20 Mei karena dalam rangkaian Hari Buku Nasional,” ujar Okky.

“Jika dianggap memperbaiki citra, citra yang ingin diperbaiki oleh Sastra Masuk Kurikulum adalah citra dunia pendidikan kita.”

Okky menyebut setelah perilisan rekomendasi, program dilanjutkan dengan penyusunan modul ajar yang diharapkan bisa menjadi contoh bagaimana buku-buku ini digunakan.

“Pekerjaan rumah besarnya sekarang ada pada peningkatan kesadaran dan pelatihan guru. Juga pada upaya agar buku-buku yang direkomendasikan tersedia luas. Perlu kerjasama dengan institusi lain seperti Perpustakaan Nasional, juga penerbit swasta,” ujar Okky.

Salinan digital Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra dari situs Kemendikbud-Ristek menyebut seluruh 177 judul karya sastra yang menjadi rekomendasi.

Tim kurator beranggotakan 17 orang yang terdiri dari sastrawan, akademisi, guru-guru sekolah memulai proses pemilihan buku sejak pertengahan tahun 2023.

Kurasi buku dibagi dalam tiga jenjang – SD, SMP, SMA – untuk menyesuaikan tingkat kemampuan dan tujuan pembelajaran.

"Hanya ada satu buku dari satu nama penulis. Selain untuk pemerataan representasi, diharapkan guru dan siswa akan terpancing untuk mencari karya-karya lainnya dari penulis tersebut," jelas Okky.

Pedoman juga meliputi bagian-bagian dari buku mana yang perlu dijadikan perhatian staf pengajar – seperti penggunaan kata dan istilah yang mungkin perlu dijabarkan kepada para siswa.

Komik Mahabharata (2001) dari R.A. Kosasih dan Majalah Bobo: Edisi Koleksi 50 Tahun (2023) masuk ke daftar rekomendasi untuk tingkatan SD.

Adapun untuk tingkat SMP, judul-judul seperti Laskar Pelangi (2008) karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara (2012) karya A Fuadi, dan Madre (2015) karya Dewi Lestari. 

Di buku 99 Cahaya di Langit Eropa (2017) karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, pedoman mencantumkan penafian (disclaimer) karena ada kata-kata “pasangan sesama jenis juga tanpa malu-malu memamerkan romantisme mereka [di tempat umum di Eropa]” yang menurut tim Kemendikbud-Ristek “mengandung LGBTQ+”.

Di jenjang SMA, beberapa judul antara lain novel karya Ayu Utami berjudul Saman (1998) bertemakan seksualitas dari sudut pandang perempuan dan kumpulan puisi Perempuan Yang Dihapus Namanya (2010) karya Avianti Armand yang mengisahkan ulang tokoh-tokoh perempuan dalam kitab suci. Selain itu ada pula Orang-Orang Bloomington (1980) karya Budi Darma.

“Dalam proses [kurasi] ada beberapa buku yang akhirnya gugur, harus ditukar jenjang, atau dicari judul lain dari penulis yang sama,” ujar Okky Madasari.

Buku-buku yang gugur antara lain Aksara Amananunna karya Rio Johan dan kumpulan puisi M. Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. Okky menjelaskan meski Aksara Amananunna adalah karya yang bagus dan memenangkan penghargaan, bagian yang menggambarkan hubungan sejenis dinilai belum layak dibaca anak sekolah.

“Tim pengkaji guru meminta agar karya tersebut tidak masuk. Adapun buku puisi Aan setelah dicek kembali ada ilustrasi orang telanjang,” ujarnya.

Apa reaksi guru dan orang tua murid terhadap 177 buku sastra rekomendasi ini – terutama buku Pramoedya?

Yulianeta, dosen di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Jawa Barat dengan fokus di bidang studi sastra, mengapresiasi masuknya rekomendasi sastra-sastra untuk jenjang SD, SMP, dan SMA – khususnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang masuk jenjang SMA.

“Dulu ada cap kiri ketika membaca karya-karya Pramoedya ketika Orba, tapi setelah reformasi karya-karya Pram bebas dibaca dan bahkan dicetak ulang kembali oleh Hasta Mitra, dan seterusnya,” ujar Yulianeta yang sebagai pengajar selalu mewajibkan mahasiswanya minimal membaca tiga karya Pramoedya untuk bahan diskusi.

“Saya masih ingat tahun 1990-an, mahasiswa sembunyi-sembunyi membaca dan diskusi karya Pramoedya. Apa yang ditakutkan oleh pemerintah masa itu dengan sebuah kisah?”

Yulianeta menilai pemikiran Pramoedya sangat penting untuk diketahui generasi muda karena karyanya mengajak orang-orang berpikir kritis dan percaya diri sebagai bangsa.

Dia pun menelaah novel-novel Pramoedya dan, di kelasnya, Yulianeta menjadikan perempuan-perempuan yang menjadi tokoh di karya Pramoedya sebagai contoh konkret perempuan berdaya.

“Meskipun sastra ada imajinasi di dalamnya tetapi selalu ada kebaikan di dalamnya. Saya yakin dengan semakin banyak membaca sastra terutama karya-karya yang beragam dan bernilai akan memotivasi lahirnya penulis-penulis yang baik di masa depan,” katanya.

Fransiskus Balo, 30 tahun, guru di Nita, Maumere, Nusa Tenggara Timur, mengatakan dirinya siap mengenalkan karya-karya seperti Bumi Manusia kepada anak didiknya.

Menurutnya, buku seperti karya Pramoedya perlu dikenalkan kepada generasi muda.

“Justru dengan menghilangkan kisah-kisah sejarah itu, bangsa kita kehilangan jati diri, bangsa yang berdiri di atas narasi palsu. Saya kira sudah saatnya bangsa kita sudah harus lebih jujur akan eksistensi dirinya. Sebagai guru, saya bersedia mengajarkan kepada peserta didik saya,” ujarnya.

Fransiskus berharap 177 judul karya sastra itu tidak membuat para pendidik dan peserta didik menjadi terpaku apabila ingin mengakses karya-karya sastra dari tokoh-tokoh daerahnya sendiri yang barangkali lebih mereka minati.

Di sisi lain, Fransiskus menilai sastra sering diabaikan dalam pembelajaran karena “lebih sering dianggap minat”.

Dia pun berharap Kemendikbud-Ristek dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk memfasilitasi guru-guru di daerah untuk mengajarkan karya-karya sastra ini.

“Lakukan sosialisasi, pembinaan, pembekalan, dan lain-lain. Terutama kepada para tenaga pendidik.

Indriati Yulistiani, 52 tahun, yang tinggal di Tangerang, Banten, dan memiliki putri kelas 5 SD, mengakui adanya “sejarah yang kelam” dari novel Bumi Manusia.

Meski begitu, Indri yang sudah membaca dan mempunyai buku karya Pramoedya mengatakan tidak masalah apabila anak perempuannya suatu saat membaca buku-buku yang dulu dinilai kontroversial itu.

“Malah bagus karena itu buku-buku berat yang tidak semua anak akan membacanya,” ujarnya.

Seperti apa langkah pemerintah ke depan setelah muncul rekomendasi sastra ini?

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo, mengatakan setelah peluncuran program Sastra Masuk Kurikulum, buku-buku yang direkomendasikan sudah resmi menjadi bagian dari bahan pembelajaran Kurikulum Merdeka.

“Guru sudah bisa mulai mengeksplorasi, mempelajari, dan mulai merencanakan pembelajaran untuk tahun ajaran yang akan datang,” ujarnya.

Selain rekomendasi buku, sambung Anindito, Sastra Masuk Kurikulum juga menyediakan perangkat ajar yang membantu guru memilih buku atau karya sastra yang sesuai dengan minat dan kemampuan muridnya.

“Sosialisasi dan berbagai modul ajar disediakan di Platform Merdeka Mengajar agar guru bisa membayangkan cara menggunakan karya sastra dalam pembelajarannya,” ujarnya.

Secara terpisah, pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti mengapresiasi kebijakan Kemendikbud-Ristek yang memasukkan buku-buku rekomendasi yang “sudah mulai variatif” termasuk “buku-buku yang dilarang sekarang mulai diperkenankan bahkan didorong untuk dibaca para peserta didik.

“Saya rasa ini sesuatu yang sangat positif. Anak-anak kita berhak membaca apa pun. Kalau kita keberatan akan suatu isi buku, kita melawannya dengan menulis buku tandingan, bukan dengan membakarnya atau melarangnya – misalnya Bumi Manusia,” ujar Retno.

“Biarkan [anak-anak] belajar berpikir. Kalau Kurikulum Merdeka, ya, seharusnya memerdekakan cara berpikir. Biarlah anak-anak kita itu menemukan kebenaran dalam sejarah bangsanya.”

Selain itu, Retno juga menyambut baik upaya Kemendikbud-Ristek ini karena menurutnya Indonesia termasuk dalam kategori “nol buku”.

“Dari hasil riset, yang dijadikan sampel beberapa negara oleh UNESCO, anak-anak Indonesia itu ternyata hanya membaca 37 halaman buku dalam satu tahun,” ujarnya.

“Mudah-mudahan [program ini] meningkatkan minat baca karena ada kebebasan membaca tanpa rasa ditakut-takuti.”

Data UNESCO dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mendapati indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen, menurut Kompas.com.

Pendapat Retno senada dengan Bonar Tigor Naipospos, aktivis yang pernah dipenjara karena Buku Manusia yang kini masuk rekomendasi pemerintah.

Bonar lebih memikirkan bagaimana generasi muda yang mengandalkan dunia digital tetap bisa menerima buku-buku sastra yang direkomendasikan Kemendikbud. Dia mencontohkan ketika Bumi Manusia difilmkan pada tahun 2019 dan bisa dikatakan tidak terlalu sukses.

Film Bumi Manusia yang disutradarai Hanung Bramantyo dan dirilis Falcon Pictures pada 2019 ditonton sekitar 1,3 juta orang, menurut data situs Film Indonesia.

Sebagai perbandingan, film paling laris tahun itu, Dilan 1991, film drama romantis tentang problematika remaja 1990-an yang dirilis Max Pictures, ditonton 5,2 juta orang.

“Mesti dipikirkan bagaimana supaya nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya besar kemudian tetap relevan untuk anak muda,” uja Bonar. (*)

Tags : pramoedya ananta toer, novel bumi manusia karya pramoedya ananta toer, novel bumi manusia sempat dilarang era orde baru, novel bumi manusia masuk kurikulum sekolah, buku, sastra, pendidikan, anak-anak, Artikel,