"Kini omicron menyebar sangat cepat, bila asupan vaksinasi rendah bisa berpotensi kematian tinggi pada lanjut usia (Lansia)"
enyebaran kasus Covid-19 varian Omicron pada provinsi dengan cakupan vaksinasi yang rendah seperti Papua dikhawatirkan berdampak fatal pada kelompok lanjut usia. Menurut Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, penyebaran varian Omicron yang diasumsikan "lebih ringan" dibanding varian Delta tidak bisa "dianggap remeh" karena berpotensi meningkatkan kematian pada kalangan lansia dan pengidap komorbid.
"Modal imunitas di luar Jawa-Bali masih sangat minim, banyak yang (vaksinasinya) belum sampai 50 persen. Ini akan menempatkan potensi angka hunian rumah sakit dan kematian tinggi pada kelompok lansia," kata Dicky Budiman, Minggu (6/2/2022) kemarin.
Di Kota Jayapura, Papua, penyebaran varian Omicron telah meningkatkan jumlah kasus baru hampir dua kali lipat dalam kurun empat hari, tetapi progres vaksinasi berjalan lambat. Baru sekitar 10% lansia di Papua yang telah menerima dua dosis vaksin.
Meski mayoritas kasus Omicron yang dilaporkan bergejala ringan, Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Papua, Silwanus Sumule, mengatakan ada kekhawatiran dampak yang lebih fatal terjadi pada kelompok rentan.
"Itu kekhawatiran kami, makanya kami berupaya meningkatkan cakupan vaksinasi dan menyiapkan rumah sakit, karena kekhawatiran itu ada," kata Silwanus melalui sambungan telepon.
Kekhawatiran serupa juga terjadi di Sumatra Barat, di mana lebih dari 90% sampel kasus yang diperiksa sejak akhir Januari lalu merupakan varian Omicron.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kasus kematian yang terjadi belakangan ini membuktikan bahwa varian Omicron dapat berdampak fatal terhadap lansia dengan penyakit penyerta (komorbid).
Penularan Omicron sangat cepat, vaksinasi berjalan lambat
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Papua, Silwanus Sumule, mengatakan pola peningkatan kasus di Jayapura meningkat sangat cepat dalam sepekan. Satgas mencatat ada 155 kasus baru pada 2 Februari, tetapi jumlahnya meningkat menjadi 312 kasus baru pada 5 Februari.
"Pola penyebarannya cepat sekali, dari pola itu kami mencurigai bahwa ini adalah varian Omicron," kata Silwanus Sumule seperti dirilis BBC News Indonesia.
Sejauh ini, Silwanus mengatakan belum ada kasus kematian yang disebabkan oleh varian Omicron di Papua. Namun, dia mengatakan angka infeksi yang diprediksi masih akan meningkat cepat dalam beberapa pekan ke depan bisa berdampak fatal bagi lansia dan orang-orang yang belum divaksin.
Silwanus mengklaim pemerintah dan Satgas Covid-19 telah berupaya mempercepat program vaksinasi. Tetapi data menunjukkan baru 14,37% lansia yang telah menerima dosis pertama, dan 10,6% lansia yang telah mendapat dosis kedua.
Menurut dia, hal itu bukan karena vaksin tidak tersedia, tetapi "butuh waktu menyadarkan masyarakat akan pentingnya vaksinasi."
"Upaya sudah dilakukan, tapi fakta di lapangan belum semua orang divaksin, memang perlu effort yang kuat untuk meyakinkan mereka," ujar Silwanus.
Di Bukittinggi, Sumatra Barat, seorang warga bernama Widiriyani, 55, mengaku cemas akan risiko terinfeksi varian Omicron yang kini telah teridentifikasi di wilayah itu.
Hal itu membuat Widi kemudian berupaya mencari vaksin booster, mengingat dia menerima vaksin dosis kedua pada Juni 2021.
"Saya sempat tanya ke petugas puskesmas tentang vaksin booster, tapi belum ada karena mereka masih menyelesaikan vaksinasi dosis satu dan dua, sementara di sini banyak masyarakat enggan divaksin," kata Widiriyani.
"Walaupun sudah dua kali vaksin, rasanya dengan usia yang sudah di atas 50 itu daya tahan tidak seperti anak muda," lanjut dia.
Menurut Widi, banyak orang-orang di sekitarnya tidak lagi menggunakan masker saat beraktivitas. Berbagai acara digelar dengan protokol kesehatan yang longar, tanpa membatasi jumlah orang yang hadir.
Belakangan, dia juga mendengar kabar dari orang-orang sekitarnya yang mengalami demam berbarengan satu keluarga. Namun lantaran tidak dites, tidak diketahui apakah mereka terinfeksi Covid-19 atau bukan. Hal itu menambah kekhawatiran Widi terhadap risiko terinfeksi varian Omicron.
"Saya cuma bisa berusaha semaksimal mungkin pakai masker setiap keluar rumah dan menghindari kerumunan," kata dia.
Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran di Universitas Andalas, Andani Eka Putra, mengatakan mayoritas kasus Omicron yang terdeteksi sejauh ini bergejala ringan dan menjalani isolasi mandiri.
Sampai Minggu 6 Februari 2022, penyebaran varian Omicron di Sumatra Barat belum menyebabkan tekanan pada fasilitas kesehatan. Tetapi dia mewanti-wanti agar pemerintah daerah segera menggencarkan vaksinasi dan memperketat penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
Pasalnya, baru 50% penduduk Sumatra Barat yang telah divaksin lengkap sejauh ini, sehingga apabila infeksi sampai pada kelompok yang belum divaksin dampaknya bisa fatal seperti yang sudah terjadi di berbagai negara, seperti Amerika Serikat.
"Kecemasan kita seperti itu. Fenomena yang terjadi di luar (kematian tinggi pada lansia dengan komorbid) akan berimbas ke kondisi kita di sini, meskipun sampai saat ini itu belum nampak," kata dia.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan memprediksi lonjakan kasus Omicron yang saat ini terjadi di Pulau Jawa akan bergeser ke luar Pulau Jawa dalam tiga hingga empat minggu ke depan.
Varian Omicron kini telah mendominasi 80% penularan di Pulau Jawa, sehingga angka infeksinya diprediksi masih akan meningkat tiga hingga enam kali lipat sampai akhir Februari.
Omicron 'tidak bisa diremehkan'
Dengan pola penularan yang sangat cepat, program vaksinasi yang lambat, dan ancaman yang mengintai lansia serta pengidap komorbid, Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan ancaman Omicron yang mengintai di luar Pulau Jawa tidak bisa dianggap remeh.
Menurut dia, satu hal yang membuat varian Omicron terkesan "lebih ringan" dibanding varian Delta karena penyebarannya terjadi di saat lebih banyak masyarakat telah memiliki kekebalan terhadap Covid-19.
Namun ketika varian ini merebak di wilayah yang mayoritas masyarakatnya belum terlindungi, Dicky mengaku khawatir dampaknya bisa sama buruknya dengan varian Delta.
"Kalau bicara di luar Jawa, modal imunitasnya saja sudah lemah di populasi umum, apalagi pada kelompok lansia yang cakupan vaksinasinya masih rendah," ujar Dicky.
"Kalau tidak dilakukan mitigasi akan berbahaya, yang terinfeksi akan leluasa menularkan ke orang lain, dan akan menembus ke kelompok rawan. Akhirnya beban di fasilitas kesehatan meningkat, kematian meningkat," kata dia.
Berkaca dari kasus di Pulau Jawa yang cakupan vaksinasinya sudah tinggi saja, Dicky menyoroti angka kematian yang meningkat beberapa waktu terakhir.
Pada Januari lalu, Indonesia melaporkan kurang dari 10 kematian per hari, tapi sepekan terakhir jumlahnya bertambah menjadi puluhan kasus per hari.
"Ini membuktikan bahwa Omicron tidak bisa dianggap enteng. Kalau Omicron lemah, ya enggak ada kematian," ujarnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan mayoritas pasien yang meninggal adalah lansia dengan penyakit penyerta. Sebagian kecil sudah divaksin, dan sebagian besar belum divaksin.
"Jadi jangan Omicron dianggap remeh. Walaupun lebih banyak yang gejala ringan dan tidak bergejala, tapi risiko berat, parah, kritis itu akan tetap terjadi. Kami melihat pola itu pada orang-orang yang komorbidnya tidak terkontrol," ujar Nadia.
Percepat vaksinasi pada kelompok lansia
Strategi utama yang perlu dilakukan pemerintah saat ini, menurut Dicky, adalah membentuk tim yang bergerak cepat menjangkau lansia dan orang-orang yang memiliki penyakit komorbid untuk divaksinasi.
"Tidak bisa hanya dengan undangan untuk vaksinasi melalui [aplikasi] Peduli Lindungi. Harus ada tim gerak cepat yang datang ke rumah-rumah atau mobile clinic. Kalau tidak, angka kematian akan tetap meningkat meskipun mereka diam di rumah saja," ujar Dicky.
Selain itu, Dicky merekomendasikan agar pemerintah menaikkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ke level 3 di daerah yang cakupan vaksinasinya rendah untuk membantu pengendalian dan pelacakan kasus.
"Tentu berat kalau sampai PPKM Darurat, tapi PPKM Level 3 harus dilakukan setidaknya, karena banyak aktivitas, mobilitas, dan interaksi dibatasi, tidak sangat ekstrem jauh lebih membantu," kata dia.
Sementara itu, Epidemiolog Masdalina Pane mengatakan penting untuk mengendalikan penularan lewat pelacakan kasus yang masif.
Vaksinasi, kata dia, bukan satu-satunya cara untuk mencegah fatalitas. Sebab pada wilayah dengan cakupan vaksinasi yang telah mencapai 105% di Jakarta pun, angka kematian tetap meningkat.
"Kalau [cakupan vaksinasi] sudah 105 persen harusnya tidak ada lagi yang terbaring di ICU, itu Jakarta. Jadi enggak usah bicara tentang daerah, jauh sekali kualitas cakupan vaksinasinya di Jawa-Bali dengan luar Jawa-Bali," kata Masdalina.
Menurut Masdalina, penyebaran varian Omicron yang telah sampai ke berbagai provinsi saat ini menunjukkan bahwa sistem cegah tangkal yang diterapkan pemerintah tidak efektif.
Sedangkan Epidemiolog asal Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, meminta pemerintah bersiap dengan potensi terburuk yang mungkin terjadi akibat penularan Omicron di luar Pulau Jawa.
"Pemda harus segera disuplai kebutuhan pemeriksaannya dari pemerintah pusat, harus dicek (kesiapan) fasilitas kesehatannya seperti apa, bagaimana jalur screening di bandara untuk mencegah impor dari daerah lain yang kasusnya tinggi. Itu harus diaktifkan semua," ujar Laura. (*)
Tags : Virus Corona, Indonesia, Kesehatan,