Sejarah   2024/07/13 11:20 WIB

Orang Bugis Punya Peran Penting dalam Kerajaan Johor, Pahang Hingga Lingga-Riau

Orang Bugis Punya Peran Penting dalam Kerajaan Johor, Pahang Hingga Lingga-Riau

SEJARAH - Dalam catatan sejarah, orang Bugis mempunyai peran penting dalam pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga Lingga-Riau.

Konflik perebutan tahta Kerajaan Johor antara Raja Kecik yang mengaku anak Sultan Mahmud Syah (1685-1699) dengan Tengku Sulaiman anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1717) telah melibatkan turut campurnya orang Bugis Luwu lima bersaudara.

Upu Daing Perani dan empat adik laki-lakinya yang datang untuk mencari kekuasaan di sebelah barat tanah Bugis telah diminta bantuan oleh Tengku Sulaiman untuk mengalahkan Raja Kecik yang telah berhasil merampas tahta Kerajaan Johor dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Pada tahun 1722 Upu Daing Perani bersama adik-adiknya, Opu Daing Manambun, Opu Daing Marewah, Opu Daing Celak dan Opu Daing Kemasi berhasil mengalahkan Raja Kecik.

Pasukan Bugis berhasil mengusir Raja Kecik dari Riau dan mendudukkan Tengku Sulaiman sebagai Sultan Yang Dipertuan  Besar Johor, Pahang, dan Riau bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah.

Untuk balas jasa, Upu Daing Marewah Kelana Jaya Putra dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah menjabat Yang Dipertuan Muda berkedudukan di Riau.

Jabatan Yang Dipertuan Muda adalah kepala pemerintahan kerajaan, dan membuat kedudukan orang Bugis berpengaruh besar dalam politik Kerajaan Johor, Pahang dan Riau.

Untuk memperkuat hubungan, para bangsawan Bugis melakukan pernikahan dengan para perempuan bangsawan Melayu keluarga Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah.

Tengku Sulaiman juga mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Datuk Bandar Hasan seorang syahbandar Riau keturunan Bugis.

Datuk Bandar Hasan anak dari Daing Tersulah bin Pateh Baka seorang Bugis dari Makasar. Catatan hubungan kerabat ini dapat ditemukan dalam manuskrip silsilah keluarga Haji Encik Usman bin Datuk Laksamana Haji Encik Muhammad Yusuf.

Silsilah ditulis oleh Haji Encik Usman bin Datuk Laksamana Lingga Haji Encik Muhammad Yusuf pada 29 Safar 1347 H/15 Agustus 1928.

Manuskrip berasal dari rumah Haji Encik Usman di Kampung Tengah, Daik, dan selanjutnya dihibahkan ke Museum Linggam Cahaya, Kabupaten Lingga.

Dalam silsilah dicatat, ibu Sultan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah bernama Encik Nusamah keturunan dari Aceh.

Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis juga menyebutkan Encik Nusamah seorang perempuan Aceh (Winstedt, 1932:81).

Dalam silsilah catatan Haji Encik Usman, ayah Encik Nusamah adalah Encik Ibrahim bin Datuk Megat bin Datuk Muhammad di Aceh.

Encik Nusamah mula-mula dipanggil Datuk Tengah, dan selanjutnya digelar Encik Puan.

Gelar tengku di Johor, Pahang, Riau dan Lingga merupakan keturunan Encik Nusamah.

Ada saudara laki-laki atau adik-beradik dari Encik Ibrahim yang bernama Encik Jat atau nama lainnya Datuk Bakudrat yang pergi ke Makasar dan menikah di sana.

Anak bungsu Enjik Jat dari isteri wanita Makasar seorang perempuan bernama Encik Aisyah.

Encik Nusamah dengan Encik Aisyah adalah saudara sepupu.

Encik Aisyah bersuamikan seorang laki-laki Bugis yang bernama Tersulah bin Pateh Bakak yang berasal dari Makasar.

Dari pernikahan ini lahir Datuk Bandar Hasan yang menjadi saudara sepupu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah.

Datuk Bandar Hasan menjabat syahbandar Riau dan selanjutnya anak-anaknya menjadi orang penting di lingkungan istana.

Datuk Bandar Hasan mempunyai dua orang isteri yang masih kerabatnya. Istri pertama bernama Encik Nonit anak Datuk Nakhoda Abdul Samad bin Datuk Nakhoda Ismail bin Encik Jat bin Datuk Muhammad di Aceh.

Datuk Bandar Hasan mendapatkan tiga orang anak,  dan salah satunya adalah Haji Ahmad yang syahid pada 18 Juni 1784 bersama Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah saat perang melawan VOC di Teluk Ketapang Melaka.

Peristiwa syahidnya Haji Ahmad dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ali Haji dikisahkan, maka mengamuklah Dahing Saliking dan Panglima Talibang serta Haji Ahmad maka ketiganya menyerbukan dirinya kepada baris Holanda yang berlapis-lapis itu.

Maka seketika ia mengamuk itu maka matilah ia syahid fisabilillah ketiganya itu dengan nama laki-laki (Winstedt, 1932:164)

Selepas berpisah dengan Encik Nonit, Datuk Bandar Hasan menikah dengan Encik Seni adik kandung Encik Nonit.

Ada perbedaan besar antara catatan silsilah Haji Encik Usman dan Begbie dalam The Malayan Peninsula Embracing Its History, Manners and Customs of The Inhabitants, Politics, Natural, History, Etc. from Its Earliest Records terbit tahun 1834.

Dalam catatan silsilah Haji Encik Usman, istri kedua Bandar Hasan yakni Encik Seni saudara kandung Encik Nonit namun menurut Begbie, Encik Seni yang disebutnya Encik Senaay perempuan dari Bali yang dikenal dengan nama Peties seorang hamba atau budak milik isteri Datuk Bandar Hasan yang bernama Inchi Sungei Barro anak perempuan Laksamana Dain Toomo kerabat Engku Puteri.

Menurut silsilah catatan Haji Encik Usman pernikahan Datuk Bandar Hasan dengan Encik Seni binti Nakhoda Abdul Samad mendapatkan empat orang anak yakni Encik Ibrahim, Encik Muhammad, Encik Abu, dan  Encik Mariam.

Encik Ibrahim bersama  abang tirinya Haji Ahmad melibatkan diri mengikuti Raja Haji Fisabilillah berperang dengan VOC di Teluk Ketapang, Melaka.

Encik Ibrahim bersama pasukannya dalam kubu terpisah dengan Raja Haji. Sebelum menyerang kubu pertahanan Raja Haji, pasukan VOC terlebih dahulu menyerang kubu pertahanan Encik Ibrahim.

Gempuran pasukan VOC membuat Encik Ibrahim dan pasukannya tidak mampu bertahan sehingga terpaksa berundur pindah ke kubu Raja Haji.

Mengenai mundurnya Suliwatang Encik Ibrahim dan seterusnya berpindah ke kubu Raja Haji dalam Tuhfat al-Nafis Raja Ali Haji mengisahkan,

Maka naiklah seldadu Holanda beberapa ribu sebelah Pernu dipintasinya daripada sebelah darat belakang kubu Tanjung Palas kubu yang besarnya sekali tempat Yang Dipertuan Muda itu dan satu kubu kecil sebelah darat, yaitu kubu Encik Ibrahim anak Bandar Hasan.

Maka Holanda itu pun menyerkaplah kepada kubu Encik Ibrahim itu lalulah berperang beramuk-amukan. Kubu itu pun alahlah maka Encik Ibrahim itu pun larilah ke kubu tempat Yang Dipertuan Raja Haji itu memberi tahu mengatakan seldadu sudah dekat memintas sebelah darat (Winstedt, 1932:163)

Encik Ibrahim menjabat suliwatang di Lingga pada zaman Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar (1806-1831).

Suliwatang merupakan nama jabatan yang berasal dari Bugis.

Menurut Haji Ibrahim dalam bukunya Cakap2 Rampai2 Bahasa Melayu Johor  Jilid 1 terbit 1868, pada bagian kisah Arti Segala Gelaran di Dalam Kerajaan Johor, dikisahkan gelaran suliwatang merupakan gelaran orang Bugis yang bermaksud ganti batang tubuh raja.

Ganti batang tubuh raja di Riau yakni ganti batang tubuh Yang Dipertuan Muda.

Menduduki jabatan suliwatang menjadikan Encik Ibrahim pejabat penting dan bagian dari orang kepercayaan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar di Lingga.

Datuk Suliwatang Encik Ibrahim di Lingga bertugas menjaga ketertiban dan ketentraman rakyat.

Menegakkan undang-undang kerajaan, dan menindak mereka yang melakukan pelanggaran. Encik Muhammad saudara kandung Datuk Suliwatang Encik Ibrahim juga mendapat jabatan penting sebagai Datuk Syahbandar di Lingga.

Encik Mariam adik kandung Encik Ibrahim juga tokoh penting istana. Encik Mariam istri ketiga dari Sultan Mahmud Riayat Syah. Encik Mariam bergelar Encik di Atas.

Pernikahan Encik Mariam dengan Sultan Mahmud Riayat Syah dilaksanakan di Riau. Encik Mariam melahirkan Tengku Abdurrahman.

Selepas kemangkatan Sultan Mahmud Riayat Syah tahun 1812 di Daik, Pulau Lingga, Tengku Abdurrahman dengan dukungan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar naik tahta kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga bergelar Sultan Abdurrahman Syah.

Menurut Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, pada hari Kamis jam pukul 12 tanggal 15 Zulhijah 1225 Sultan Mahmud Riayat Syah telah berwasiat kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar, jika baginda mangkat Tengku Abdurrahman yang akan diangkat sebagai sultan.

Datuk Suliwatang Encik Ibrahim dan Syahbandar Encik Muhammad termasuk orang-orang yang menjadi saksi saat Sultan Mahmud Riayat Syah  berwasiat kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar (Winstedt, 1832:208)

Dua orang anak laki-laki Datuk Suliwatang Encik Ibrahim dari isteri yang berbeda yakni Encik Ismail dan Haji Encik Hasan menjabat posisi penting dalam kerajaan di Lingga.

Encik Ismail dilahirkan Encik Penuh binti Encik Abdul Majid dan Haji Encik Hasan dilahirkan Encik Saamah.

Encik Ismail menjabat laksamana di Lingga pada zaman Sultan Muhammad Syah (1832-1841) Sultan Lingga-Riau ke-2 hingga ke zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883) Sultan Lingga-Riau ke-4.

Jabatan laksamana merupakan jabatan penting sejak zaman kerajaan Melaka dan laksamana disebut juga raja di laut.

Dalam Qanun Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1760) tentang jabatan laksamana pada pasal ke-23 disebutkan,

Adapun laksamana itu memerintahkan segala kelengkapan raja dan kendaraan dan kenaikan dan segala senjata dan tafahus mentafahus segala hulubalang dan panglima-panglima yang sudah diaturkan raja muda dan bendahara dan memberi aturan memegang bendera dan tunggul dan segala bedil sambut menyambut mengaturkan adat raja berangkat dan raja berperang dan jikalau raja berangkat ke laut perahu laksamana dahulu daripada kenaikan pada tempat inilah laksamana raja di laut (Said, 1938:11-12).

Haji Encik Hasan menjabat punggawa di Lingga era Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Jabatan datuk punggawa bertugas sebagai panglima perang di darat.

Menurut Haji Ibrahim dalam bukunya Cakap2 Rampai2 Bahasa Melayu Johor  Jilid 1 terbit 1868, pada bagian kisah Arti Segala Gelaran di Dalam Kerajaan Johor, dikisahkan jabatan punggawa asalnya gelar yang digunakan orang Bugis dan bertugas sebagai panglima perang di darat.

Hulubalang di darat berada di bawah datuk punggawa. Di era Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, Datuk Punggawa Haji Encik Hasan bertugas sebagai ketua Bugis yang bermukim dan musafir di Lingga.

Urusan orang Bugis di Lingga, Datuk Punggawa Haji Encik Hasan yang mengurusinya.

Semasa hidupnya Datuk Laksamana Encik Ismail tinggal di Kampung Hilir yang berdekatan dengan Kampung Cina, Daik.

Datuk Laksamana Encik Ismail meninggal 29 Januari 1869 dan dimakamkan di Kampung Tengah, Daik.

Anak Datuk Laksamana Encik Ismail  yang bernama Haji Encik Muhammad Yusuf juga menjabat laksamana pada zaman Sultan Lingga-Riau terakhir, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911). Haji Encik Muhammad Yusuf dilantik menjabat laksamana oleh sultan pada 26 April 1889.

Sebelum Haji Encik Muhammad Yusuf menjabat laksamana, pada 7 September 1884 dia diangkat oleh Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf (1858-1899) menjadi kepala beberapa kampung di Daik.

Kampung-kampung yang dikepalai oleh Haji Encik Muhammad Yusuf yakni, Kampung Laksamana, Kampung Seranggung dan Kampung Bakau.

Datuk Laksamana Haji Encik Muhammad Yusuf juga seorang Ahli al-Mahkamah kerajaan di Lingga.

Menurut catatan Haji Encik Usman tanggal 22 Oktober 1926, senjata serta perlengkapan Datuk Laksamana Encik Ismail dan Datuk Laksamana Haji Encik Muhammad Yusuf yang digunakan jika terjadi rusuh atau pergaduhan di dalam negeri yakni satu buah kalung dari kayu berbentuk papan, satu baju berantai besi, satu kampilan besi, dan satu utar-utar tembaga. 

Encik Haji Usman anak Datuk Laksamana Haji Encik Muhammad Yusuf seorang pegawai kerajaan. Haji Encik Usman dilahirkan ibunya Encik Halijah di Kampung Hilir, Daik, pada 24 Januari 1871.

Haji Encik Usman pada mulanya bekerja sebagai juru tulis di Daik dan selanjutnya pindah ke Dabo, Singkep.

Selepas berhenti bekerja, Haji Encik Usman kembali menetap di Daik dan tinggal dirumahnya di Kampung Tengah.

Haji Usman meninggal di era tahun 1960-an di Daik dan dimakamkan Kampung Tengah di lokasi yang tidak jauh dari rumahnya.

Haji Usman merupakan keturunan Laksamana berdarah Bugis yang melewati tiga zaman yakni era Kerajaan Lingga-Riau, era pemerintah Belanda langsung paska Kerajaan Lingga-Riau dihapuskan Belanda dan era kemerdekaan.

Keturunan Haji Usman pada masa kini berada di luar Daik, Pulau Lingga. Sebagian keturunan Haji Usman tinggal di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. (*)

Tags : suku bugis, orang bugis, peran penting orang bugis, pemerintahan kerajaan johor dan pahang, bugis punya peran di kesultanan lingga-riau, sejarah,