MASAYA MARUYAMA ; istrinya, Junko; dan saudara laki-lakinya, Koichi; sedang duduk berteduh di belakang truk bak milik mereka seraya berulang kali meneguk soda jeruk dari botol-botol besar.
Keluarga tukang pipa ini telah bekerja memperbaiki saluran pipa di bawah sengatan sinar matahari sejak pukul 08.00 waktu setempat.
Pada pukul 11.00, suhu di lokasi tempat mereka bekerja, yaitu di Isezaki, berkisar 42 derajat celsius.
"Suhunya bahkan sempat mencapai 47 derajat celsius sore kemarin," ujar Maruyama.
Ketika ditanya bagaimana dia bisa bekerja pada suhu yang begitu terik, dia berkata: "Ini menakutkan, saya belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya."
Mereka bertiga mengenakan jaket yang dilengkapi kipas listrik guna meniupkan udara sejuk ke sekitar tubuh mereka. Tapi tampaknya alat itu tak begitu menolong.
'Aneh dan agak menakutkan'
Bagi banyak orang di Jepang, panas selama beberapa hari terakhir terasa aneh dan agak menakutkan.
Saat ini seharusnya sudah memasuki pertengahan musim hujan di negara itu.
Namun di seluruh Jepang, langit cerah dan suhu tertahan pada 30-an derajat celsius dan sudah dua kali menembus 40 derajat celsius pada pekan ini.
Itu hanyalah suhu yang resmi terpantau - jika beraktivitas di luar ruangan acapkali jauh lebih terasa panas.
Walaupun musim panas baru saja dimulai, 263 tempat di seluruh Jepang telah mencatat rekor suhu dalam enam hari terakhir, menurut pakar meteorologi, Sayaka Mori.
Suhu di Kota Tokyo pada Kamis (30/06) menyentuh 36,4 derajat celsius - suhu tertinggi yang pernah tercatat di ibu kota Jepang pada Juni sejak 1875.
Jepang tidak sendirian terpanggang suhu panas pada saat ini.
Tetapi yang mungkin mengejutkan adalah Jepang sedang kewalahan menjaga agar lampu dan AC tetap menyala.
Pada Selasa (28/6), ketika permintaan listrik mencapai puncaknya pada sore hari, pasokan listrik berada pada 97% dari kapasitas.
Itu artinya sudah mendekati pemadaman listrik.
Pemerintah Jepang telah meminta masyarakat agar "memadamkan" sebanyak mungkin lampu dan peralatan listrik. Tetapi pada saat yang sama, ada juga peringatan supaya warga tidak mematikan AC miliknya.
Ketakutan mereka adalah terulangnya kejadian pada 2018, yaitu ketika terakhir kali Jepang dilanda gelombang panas .
Kala itu, puluhan orang yang sebagian besar berusia lanjut meninggal dunia karena serangan panas dan lebih dari 22.000 orang dilarikan ke rumah sakit.
Untuk mencegah hal itu terulang, beberapa pemerintah daerah membuka pusat-pusat "pendinginan", di mana para lansia dapat berlindung.
'Saya bisa meninggal, jika tak hidupkan AC'
Di Distrik Sumide, bagian utara Tokyo, Kiyoji Saito yang berusia 86 tahun, sedang bermain Shogi (catur Jepang) dengan beberapa orang yang seusia dengannya.
Seperti banyak orang lanjut usia di Jepang, dia sangat tidak suka menggunakan AC
"Saya menghabiskan tiga atau empat ribu yen [Rp332.00 - Rp442.000] per bulan untuk listrik pada tahun ini," katanya.
"Sangat menyenangkan mereka menyediakan tempat ini [lokasi pendinginan], kita bisa datang di siang hari, bertemu dan tetap rileks."
Di seberang meja, Yukimasa Nakano, 81 tahun, mengatakan bahwa dia membatasi penggunaan AC menjadi satu jam di pagi hari, dan tiga jam di malam hari.
"Selama delapan dekade saya, saya tidak pernah merasakan panas bulan Juni seperti ini," katanya.
"Saya tinggal sendiri jadi rasanya sia-sia menggunakan AC," ujar Kiyoji Saito, salah satu anggota kelompok catur.
"Tapi jika tidak menggunakan AC, saya bisa meninggal terpapar suhu panas seperti ini". (*)
Tags : Asia, Perubahan iklim, Jepang, Bencana alam, Alam, Artikel,