PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kini banyak orang tua wali murid mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta padahal biaya pendidikan sekolah swasta berbayar.
Sejumlah sekolah dasar [SD] di beberapa daerah mengeluhkan kekurangan murid lantaran orang tua murid ”lebih memilih” sekolah swasta dan sekolah berbasis agama.
Meski tidak terjadi di seluruh Indonesia, Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri menilai fenomena ini sebagai “peringatan” bagi dunia pendidikan.
Tahun ajaran baru sudah dimulai seiring berakhirnya masa penerimaan peserta didik baru [PPDB], dan perjalanan panjang Annisa beserta suami dalam mencari sekolah untuk anak laki-lakinya sejak 2023 lalu pun telah usai. Sekolah swasta berbasis agama di Pekanbaru, menjadi pilihan mereka.
Sejak 2023, Annisa dan suaminya—yang tinggal di Gobah—sudah mencari sekolah yang tepat untuk anaknya.
Mereka melakukan survei ke beberapa sekolah untuk membandingkan kurikulum, biaya, fasilitas, dan juga mempertimbangkan kenyamanan sang anak.
Sejak awal, Annisa mantap menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berbasis agama. Menurut dia, masa-masa SD sangat penting untuk pembentukan karakter anak, sehingga dia ingin memberikan kualitas pendidikan yang terbaik.
“SD negeri juga banyak yang [siswanya] pintar-pintar, tapi kalau dari segi fasilitas, untuk yang di sekitaran daerah rumah saya, sepertinya SD negerinya belum sebagus swasta,” kata Annisa menceritakan.
Berbeda dengan Annisa, Nuriy—warga Tangkerang—sempat ingin menyekolahkan anak perempuannya di sekolah negeri pada tahun ajaran 2023/2024.
Namun, akhirnya dia memilih sekolah swasta, yang juga berbasis agama, karena berdasarkan perhitungan yang sudah dia lakukan, anaknya berpotensi tersingkir dari PPDB sekolah negeri akibat sistem zonasi.
Waktu itu usia anaknya 6 tahun 6 bulan, sementara sistem zonasi mengutamakan calon siswa yang berusia 7 tahun atau bisa di bawah itu, tetapi harus mengikuti rata-rata minimum usia pendaftar.
“Jadi sempat gambling sih kalau misalkan sudah mengikuti prosedur [PPDB], tapi enggak diterima. Apalagi yang kami incar sekolah dasar negeri yang cukup favorit, takutnya nanti terpental [dari daftar], jadi ya sudah akhirnya milih di swasta saja,” ujar Nuriy.
Nuriy dan suaminya khawatir jika anaknya tidak bisa mendapatkan SD negeri incaran mereka, maka putrinya akan terlempar ke SD negeri lain yang kualitasnya berbeda dengan yang mereka harapkan.
Annisa dan Nuriy adalah dua dari sekian banyak ibu yang memilih memasukkan anak mereka ke SD swasta.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kota Pekanbaru memiliki jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dibandingkan sekolah negeri.
Artinya, Annisa dan Nuriy punya lebih banyak pilihan untuk menyekolahkan anaknya di SD swasta.
Jumlah SD negeri di Kota Pekanbaru pada semester ganjil Tahun Ajaran 2023/2024 sebanyak 200 sekolah dan SD swasta berjumlah 318 sekolah.
Apa yang membuat sekolah swasta menjadi pilihan?
Annisa dan Nuriy memiliki kegelisahan sama, yakni kualitas sekolah yang tidak merata, sehingga mereka memercayakan pendidikan dasar anaknya pada sekolah swasta.
Selain fasilitas yang lebih baik, menurut Annisa dan Nuriy, ada hal lain dari sekolah swasta yang tidak mereka dapatkan di sekolah negeri, yaitu soal guru dan kualitas belajar mengajar.
Sekolah swasta—setidaknya yang dipilih Annisa dan Nuriy—memiliki dua guru yang bertanggung jawab untuk satu kelas dengan jumlah murid 20-30 orang. Sedangkan sekolah negeri, dengan jumlah siswa yang sama atau bahkan lebih, hanya ditangani oleh seorang guru.
Konsep satu guru untuk menangani puluhan anak-anak itu dinilai Nuriy “tidak proporsional”. Sebab, tes baca, tulis, hitung (calistung) sudah dihapus sebagai syarat penerimaan siswa baru sejak tahun ajaran lalu, tetapi buku-buku pelajaran murid kelas 1 SD memiliki teks yang cukup panjang.
“Jadi kalau di SD negeri, misalkan anak kita enggak bisa mengejar pelajarannya, kayaknya pendidiknya enggak akan ada waktu, deh. Konsentrasi [guru] pasti lebih terpecah karena satu kelas cuma satu guru,” Nuriy menjelaskan.
Sementara, Annisa berharap dengan jumlah pendidik yang lebih banyak, anak-anak akan mendapat perhatian yang lebih besar, sementara para guru tidak merasa kewalahan.
“Dengan murid yang lebih sedikit dan jumlah guru lebih banyak, harapannya sih anak-anak bisa lebih diawasi dan meminimalisasi kemungkinan terjadi bullying, walau memang tidak jaminan 100%,” tambah Annisa.
Berbicara soal sekolah memang tidak semata membahas pendidikan, tapi juga hubungan antarmurid.
Faktor lingkungan dan pergaulan juga menjadi alasan Annisa dan Nuriy memilih sekolah swasta.
Melihat kondisi sekolah negeri di sekitar tempat tinggal mereka, Annisa dan Nuriy khawatir pembentukan karakter anaknya tidak seperti yang mereka harapkan.
Menurut Nuriy, ketika anak memasuki usia SD, mereka sudah mulai terbuka dengan lingkungan luar dan “menerima orang-orang baru di luar keluarga”.
Artinya, anak-anak akan menyerap dengan cepat berbagai hal yang dia terima.
“Kalau sekolah negeri itu pergaulannya lebih bebas, sudah begitu dari segi tutur kata sehari-hari saja lah [sudah berbeda dari yang diajarkan di rumah], mungkin tontonan atau gim yang dikonsumsi [juga berbeda]. Lebih ‘bebas’ dibanding anak-anak yang ada di swasta, itu sih yang agak ditakuti,” papar Nuriy.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Annisa juga mengkhawatirkan hal yang sama. Memiliki rumah yang lokasinya “sangat dekat” dengan SD negeri, membuat dia bisa menyaksikan langsung bagaimana anak-anak SD bersosialisasi.
“Jadi kalau pagi atau sore itu pas anak-anak pulang sekolah, mungkin karena latar belakangnya terlalu beragam, kadang [saya] dengar omongan-omongan yang bahasa-bahasanya sebenarnya kami upayakan agar anak kami jangan ngomong kayak begitu,” kata Annisa.
“Bukan berarti [semua pergaulan] SD negeri kayak begitu, ya. Dalam arti begini, latar belakang yang beragam itu lebih susah dikontrol,” ujarnya.
Annisa dan Nuriy juga memutuskan memilih sekolah berbasis agama dengan pelajaran agama lebih intens agar anak-anak mereka memiliki “pegangan” untuk bekal kehidupan mereka kelak.
Di sekolah swasta pilihan Annisa dan Nuriy, anak-anak mereka diajarkan mengaji, salat berjamaah, dan pemahaman agama yang lebih mendalam.
“Ibaratnya nanti dia remaja, mulai mengenal kenakalan remaja, tapi dia punya dasar-dasar [nilai] agama yang kuat, yang menjadi batasan dirinya,” ujar Annisa.
Keputusan para orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah swasta ternyata tidak berhenti pada masalah pilihan pribadi saja.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan [Kadisdik] Kota Pekanbaru, Dr Abdul jamal MPd, mengatakan beberapa sekolah di wilayahnya sempat melaporkan hanya mendapatkan murid kurang dari 10 orang, dan ratusan sekolah negeri lainnya hanya mendapat sekitar 20 murid baru.
Jumlah itu tidak memenuhi kuota rombongan belajar yang berjumlah 28 orang.
“Orang tua sekarang itu banyak yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah yang berbasis agama. Itu kita lihat di daerah-daerah yang kebetulan ada sekolah swasta berbasis agama,” kata Abdul Jamal.
Pada awal Mei lalu, Disdik Kota Pekanbaru, mengumumkan rencana regrouping atau merger belasan sekolah di kota itu akibat kekurangan murid.
Abdul Jamal berkata, “mungkin lebih [memilih untuk bersekolah] ke swasta meski dia juga menekankan itu bukan satu-satunya alasan."
Abdul Jamal kembali mengatakan, belasan sekolah di wilayahnya kekurangan murid karena bukan alasan sejumlah faktor antara lain, berkurangnya jumlah anak sekolah, persebaran penduduk ke pinggiran kota, dan efisiensi manajemen untuk peningkatan mutu.
Pihaknya tidak melihat preferensi orang tua siswa memasukkan anaknya ke sekolah swasta—ketimbang sekolah negeri—sebagai kalah saing.
“Kalau memang pada akhirnya, teman-teman itu terdorong untuk [menyekolahkan anaknya] ke [sekolah] swasta, saya yakin, dan saya malah berterima kasih,” kata dia.
“Jadi artinya kami akan memfokuskan sekolah negeri itu untuk anak-anak yang mungkin berkekurangan, yang kalau masuk ke [sekolah] swasta juga tidak bisa. Kami bisa fokus,” cetusnya kemudian.
Tetapi seperti disebutkan Wawan Sudarwanto dari Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri, berpendapat sekolah negeri atau swasta bukanlah masalah, selama memiliki mutu dan kualitas yang sama dan bisa membuat anak didik lebih cerdas dan berakhlak.
Namun, pada kenyataannya, Wawan Sudarwanto juga tidak menampik bahwa sekolah negeri—tidak semuanya—memang mengalami “penurunan kualitas”, sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta yang dinilai lebih baik.
Meski memang tidak terjadi secara merata di seluruh wilayah di Kota Pekanbaru, tetapi Wawan Sudarwanto bilang fenomena ini “tidak bisa diabaikan begitu saja” dan menjadi “peringatan” yang membutuhkan perubahan untuk menghindari masalah di masa mendatang.
“Orang tua sekarang kan lebih kritis ya, misalnya melihat anaknya kok belum bisa berhitung matematika, literasinya kurang baik, sementara dia membandingkan dengan tetangganya atau saudaranya yang lain di sekolah swasta, kok lebih baik,” kata Wawan Sudarwanto, Rabu (31/7).
"Salah satu hal yang sering menjadi perbandingan—selain fasilitas—adalah soal guru."
Wawan juga menyinggung soal kurikulum merdeka yang dirancang untuk memberikan keleluasaan bagi para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, menurutnya, malah membuat kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta semakin terlihat.
Guru-guru di sekolah negeri dinilai “tidak siap” untuk meningkatkan kompetensi secara mandiri, sementara sekolah swasta—mulai dari instansinya hingga guru-gurunya—“sudah terbiasa mandiri” dan cepat merespons perubahan untuk diterapkan dalam pembelajaran.
Wawan mencontohkan, saat pandemi Covid-19 terjadi dia melihat guru-guru sekolah swasta “bergerak cepat”, menyesuaikan dan mengadaptasi teknologi yang diperlukan untuk memastikan proses belajar mengajar berjalan normal.
“Sementara di [sekolah] negeri menunggu instruksi, menunggu panduan. Jadi, beda modus, beda cara bekerjanya,” ujar Wawan Sudarwanto, seraya menyebut guru-guru di sekolah negeri “dibatasi regulasi”.
“Fleksibilitas” yang dimiliki sekolah swasta itulah yang dinilai Wawan membuat mereka menjadi “lebih kreatif” ketika menghadapi kendala maupun hambatan.
Jadi Wawan memprediksi bagaimana semua orang menghadapi berbagai perubahan, termasuk juga banyaknya mesin gim yang menjadi judi online, kemudian juga hal-hal yang mengandung kekerasan, diperagakan di media sosial secara vulgar. Itu semuanya membutuhkan guru-guru yang sigap dan cerdas menghadapi perubahan.
Dia menilai, berbagai hal yang menjadi pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke SD swasta sebenarnya “bisa dipahami”.
Pasalnya, sebagian orang tua masih menganggap pendidikan sebagai “investasi” keluarga, dan di sinilah “mekanisme pasar bekerja”.
Dia bilang, semakin sejahtera keluarga, semakin besar kemungkinan anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Buktinya, para orang tua sekarang rela membayar lebih agar anaknya mendapatkan yang terbaik, meski mereka harus menanggung konsekuensi secara finansial. (*)
Tags : pendidikan, anak-anak, keluarga, sekolah swasta, sekolah negeri, pekanbaru, orang tua memilih sekolah swasta,