KEPULAUAN RIAU, RIAUPAGI.COM - PT Megatama Pinang Abadi (MPA) berencana akan bangun pabrik rokok telah investasikan dana segar Rp200 miliar yang bakal menyerap tenaga kerja ribuan orang di Dompak Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri).
"Tetapi sebagian pengamat melihat bisnis berantai (industri tembakau) itu dinilai terlalu mengerikan bisa timbulkan jumlah kematian setiap tahunnya."
"Petani tembakau masih menjadi korban senyap (silence victim) dari industri rokok. Hal itu disebabkan oleh produksi dan konsumsi rokok yang meningkat namun tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan para petani," kata Wawan Sudarwanto dari Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan (LP3) Anak Negeri dalam percakapannya saat dikontak ponselnya, Rabu (11/12).
Menurutnya, industri rokok selain dapat menguntungkan bagi daerah (sektor penyerapan tenaga kerja), tentunya sumber PAD bertambah.
Tetapi masalahnya, rencana membangun industri rokok kerap selalu dibayang-bayangi oleh tudingan telah terjadi pelanggaran HAM kepada petani dalam hal pengaturan harga jual tembakau yang selama ini diatur oleh industri.
Seperti yang ada di Provinsi Kepulauan Riau (Kperi) telah mendapat dan hadirnya investor sekaligus menanamkan investasi besar ingin membuka industri tembakau (pabrik rokok) yang setelah sekian lama, para investor mengembangkan usaha besar dikawasan Free trade zone (FTZ) Tanjungpinang.
PT Megatama Pinang Abadi, investor yang akan mengembangkan industri rokok yang berencana membangun pabrik rokok ekspor di Dompak Tanjungpinang.
Masa Wakil Wali Kota Tanjungpinang, Syahrul langsung menerima investor tersebut mengatakan, ini adalah kabar yang sangat baik bagi masyarakat kota Tanjungpinang.
"Setelah dibangun, pabrik ini akan membutuhkan banyak sekali tenaga kerja."
"Ini sangat bagus dan BP2T yang berperan penting disini. Berikan sosialisasi untuk perizinan, agar semuanya mudah dan berjalan lancar," kata Syahrul juga mengharapkan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) memberikan kemudahan perizinan sesuai dengan regulasi yang telah ditentukan.
"Masyarakat diharapkan dapat menerima industri ini, karena perusahaan menggandeng pekerja yang banyak. Pengangguran di Tanjungpinang kita harapkan akan berkurang dengan adanya industri baru ini," tutur Syahrul didepan wartawan belum lama ini.
Sementara itu, Komisaris Utama PT Megatama Pinang Abadi, Ribin Huseng mengaku tetap mengikuti aturan yang berlaku di Tanjungpinang.
Dia berjanji akan mengutamakan penerimaan tenaga kerja lokal dari Tanjungpinang untuk mengisi berbagai posisi di pabriknya nanti.
"Kita memakai tenaga kerja lokal dari Tanjungpinang, dan ada sekitar ratusan tenaga kerja yang direkrut. Karena kalau kita pakai tenaga kerja dari daerah Jawa terlalu mahal," kata Ribin sesudah melakukan MoU bersama pihak BP Kawasan Tanjungpinang dan Pemko Tanjungpinang, Kamis (27/4) kemarin.
Ribin mengatakan, pabrik rokok yang akan dibangun memproduksi berbagai macam jenis rokok, mulai dari kretek hingga mild.
Melalui pabrik di Tanjungpinang, pihaknya juga melakukan ekspor rokok, khususnya untuk wilayah FTZ.
Kendati sudah MoU, Ribin berharap izin dan regulasi usaha yang dibangunnya tersebut jelas dan disesuaikan dengan peraturan yang ada di Pemerintah daerah.
"Kita akan mendirikan pabrik rokok ini untuk jangka panjang dan kita akan ikuti peraturan daerah yang ada khusus bagian BP Kawasan," ucapnya.
"Kita akan dirikan pabrik dikawasan FTZ, karena oriantasinya untuk ekspor selain pangsa pasarnya untuk kawasan Tanjungpinang," tambahnya.
Kembali seperti disebutkan Wawan Sudarwanto, industri rokok diakui memang memiliki plus minus. Selain dapat memecahkan jumlah pengangguran tiap tahun semakin meningkat, sumber pendapatan daerah jadi meningkat pula.
"Tetapi mungkin benar adanya, jika berandai diadakannya sebuah ajang penganugerahan bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia (HAM), maka korporasi rokok mungkin akan keluar sebagai salah satu pemenang utama untuk kategori pelaku non-negara," sebutnya.
Konsumsi rokok di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Mengutip data dari “Tobacco Atlas” tahun 2020, Indonesia sendiri merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia, setelah Cina dan India. Mirisnya, sebanyak 11,4 juta anak usia 0-4 tahun terpapar asap rokok (Rosdianti, 2012).
Industri tembakau turut andil atas setidaknya delapan juta kematian prematur akibat epidemi rokok global. Di Indonesia sendiri, rokok telah merenggut lebih dari 300.000 nyawa setiap tahunnya. Angka tersebut melebihi jumlah korban kematian akibat penyalahgunaan narkotika.
"Hal yang lebih ironis, hampir sepertiga dari jumlah korbannya justru bukanlah perokok aktif melainkan perokok pasif."
Sekali lagi, Wawan Sudarwanto menyinggung soal petani tembakau merupakan korban senyap dari industri rokok ini.
Menurutnya, pelanggaran HAM kepada petani terjadi dalam hal pengaturan harga jual tembakau yang selama ini diatur oleh industri. Para petani tidak bisa melakukan banyak hal untuk mengupayakan haknya.
"Pada akhirnya harga yang mengatur industri, sehingga mereka lebih baik menjual tembakaunya secara murah daripada tidak dijual sama sekali."
"Asosiasi Petani Tembakau Indonesia juga menolak kenaikan cukai sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 dipastikan akan membuat petani tembakau makin menderita dan tidak sejahtera. Bagaimana tidak, walaupun petani sudah berkontribusi besar terhadap penerimaan negara, tetapi kondisi mereka tidak kunjung diperhatikan," terang Wawan.
Dia melihat, persoalan tembakau sendiri juga disebut sebagai melanggar hak asasi manusia. Itu artinya, rokok bukan hanya menjadi persoalan kesehatan semata, tetapi juga beririsan dengan isu HAM.
"Hal itu karena hak atas kesehatan juga masuk ke dalam hak ekonomi sosial dan budaya," tutur Wawan.
Permasalahan industri rokok memang tidak ada habisnya bila diperdebatkan. Di satu sisi cukai rokok menjadi penyokong dana terbesar bagi penerima cukai negara, namun disisi lain industri rokok sendiri juga menjadi beban terbesar negara karena hampir 30% anggaran Jaminan Kesehatan Nasional dihabiskan untuk biaya perawatan kesehatan yang disebabkan oleh produk rokok.
Bahkan, Kementerian Perindustrian mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Jumlah sebanyak itu bukan tidak mungkin akan menimbulkan korban paparan tembakau. Banyak pekerja yang berkontak langsung dengan bahan utama yaitu tembakau dan berdampak pada kesehatannya.
"Dari segi kesehatan, buruh dan karyawan pabrik rokok sangat berisiko terpapar dampak negatif dari pekerjaannya. Seharusnya, masalah ini diperlukan penyaringan secara periodik agar mampu menemukan kasus-kasus seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, TBC, dan HIV," kata Wawan memperkirakan.
Jadi menurutnya, pentingnya penyaringan secara berkala terhadap risiko paparan penyakit tidak menular (PTM) maupun pemeriksaan penyakit menular (P2M), ini bertujuan sebagai upaya kesehatan masyarakat (UKM) yang berorientasi kepada upaya promotif dan preventif dalam pengendalian jumlah kasus penyakit berisiko.
"Jika itu dijalankan, setidaknya bisa segera ditangani dan dapat menurunkan angka kematian. Adapun langkah lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan yaitu dengan pemberian vitamin yang didistribusikan kepada buruh di pabrik," himbaunya.
Seorang mantan penjual tembakau akhirnya terkena kanker paru-paru setelah mendapatkan rokok gratis selama bekerja dan membuatnya kecanduan.
Rokok tersebut diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan setelah didiagnosis menderita penyakit mematikan, mantan pekerja tersebut berharap bisa menuntut perusahaan tempatnya bekerja atas penyakit yang dideritanya.
"Industri punya tanggung jawab besar atas dampak negatif rokok, seperti isu lingkungan hingga kesehatan. Perusahaan juga bertanggung jawab atas nasib pekerja yang berujung menjadi korban rokok dengan menyediakan akses pemulihan bagi korban," harap Wawan.
Kebijakan pengendalian tembakau termasuk di dalam beberapa peraturan, antara lain UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Peraturan tentang perlindungan dan pemberdayaan petani secara umum sudah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2013. Dalam Pasal 9 Ayat 1 disebutkan jika perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani disusun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan petani. Maka, secara aturannya jelas dikatakan bahwa petani harus dilibatkan dalam prosesnya.
Terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja juga telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 86 dan 87 diatur tentang hak buruh, diantaranya hak perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama, "selain itu diatur juga bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan," kata Wawan.
Jadi, rokok, menurut Wawan, produk yang membuat sektor kesehatan dan bisnis berhadapan yang akan selalu menjadi pro dan kontra yang abadi. Masalahnya karena adanya keuntungan serta kerugian yang dihasilkan tidak cukup memecahkan solusi terbaik bagi industri. Pemulihan terhadap korban juga harus terus dilakukan. Bukan hanya korban yang berasal dari konsumen, tetapi juga korban yang statusnya sebagai pekerja dalam industri itu. (*)
Tags : rokok, pabrik rokok, kepri, investasi perusahaan rokok, bisnis industri tembakau, plus-minus industri rokok,