JAKARTA - Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini SH MH mempertanyakan pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari terkait status caleg terpilih jelang Pilkada 2024.
Sebelumnya, Hasyim menyebut caleg terpilih yang mencalonkan diri pada Pilkada 2024 tak berkewajiban melepas kursi dewan yang ia raih untuk periode 2024-2029.
"Saya mempertanyakan apakah pernyataan itu merupakan sikap resmi KPU ataukah pernyataan pribadi Ketua KPU?" kata Titi Anggraini seperti dirilis Kompas.com, Jumat (10/5).
Ia mengungkit bahwa Hasyim sebagai Ketua KPU RI pernah disanksi peringatan keras oleh DKPP karena membuat pernyataan terbuka soal sistem pemilu legislatif proporsional tertutup, yang ketika itu masih diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga belum berkepastian hukum.
Pernyataan Hasyim sontak menimbulkan kegaduhan. Karena khalayak luas, utamanya pemilih dan partai politik peserta pemilu, berkepentingan langsung atas sistem pileg yang hendak digunakan pada Pemilu 2024.
DKPP ketika itu menilai, pernyataan Hasyim selaku Ketua KPU RI yang notabene simbol penyelenggara pemilu berpengaruh luas terhadap proses penyelenggaraan pemilu, sekalipun tujuannya menyampaikan perkembangan tahapan pemilu.
"Mestinya, kalau bukan merupakan kebijakan resmi Ketua KPU menghindarkan diri dari berwacana yang bisa berdampak kegaduhan, ketidakpastian hukum, dan kebingungan di masyarakat," ucap Titi.
Dalam pernyataannya baru-baru ini, Hasyim tidak menganggap masalah jika caleg terpilih tidak dilantik sesuai jadwal, agar dapat maju sebagai calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024.
Sebagai informasi, caleg DPR dan DPD RI terpilih hasil Pileg 2024 seyogianya dilantik secara resmi serentak pada 1 Oktober 2024, tepat pada akhir masa jabatan anggota DPR dan DPD RI periode sebelumnya.
Sementara itu, pemungutan suara Pilkada 2024 berlangsung pada 27 November 2024.
Hasyim berujar bahwa Indonesia tidak mempunyai aturan tentang pelantikan anggota dewan secara serentak.
Dengan anggapan ini, maka caleg terpilih yang maju pilkada bisa dilantik belakangan, menunggu hasil perolehan suaranya tanpa harus kehilangan kursi dewan.
"Tidak ada pula larangan dilantik belakangan (setelah kalah dalam pilkada)," ucap dia.
"Caleg dicalonkan oleh parpol. Calon kepala daerah dicalonkan oleh parpol. Bagaimana bila parpol mengajukan surat yang menginformasikan bahwa calon terpilih belum dapat hadir pelantikan (pengucapan sumpah janji)?" ujar Hasyim.
Sebab, berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024, KPU diminta mempersyaratkan caleg terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan, bahwa ia bersedia mundur "jika telah dilantik secara resmi" menjadi anggota dewan.
Akan tetapi, KPU membuka tafsir bahwa frasa "jika telah dilantik secara resmi" ini memungkinkan caleg terpilih tidak hadir pelantikan anggota dewan pada jadwal yang ditentukan, sehingga dirinya tak perlu mundur karena masih mencoba peruntungan di Pilkada 2024.
"Yang wajib mundur adalah anggota (dewan). Anggota adalah calon terpilih yang sudah dilantik (pengucapan sumpah/janji)," kata Hasyim.
"Bila pada 1 Oktober 2024 belum dilantik, maka status (yang bersangkutan) masih sebagai calon terpilih (sehingga tak perlu mundur jika maju Pilkada 2024). Lha, kan, belum dilantik dan menjabat, lalu mundur dari jabatan apa," tambah dia.
Seandainya ini sikap resmi KPU, maka lembaga penyelenggara pemilu itu dianggap mengingkari aturan mereka sendiri.
Pasalnya, dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024, KPU RI telah mengatur pelantikan caleg DPR dan DPD RI terpilih hasil Pileg 2024 dilakukan pada 1 Oktober 2024, sesuai akhir masa jabatan anggota dewan periode sebelumnya.
Sementara itu, pelantikan caleg DPRD dilangsungkan menyesuaikan akhir jabatan anggota dewan di masing-masing wilayah tersebut.
"Pelantikan susulan bagi yang maju pilkada adalah bentuk akal-akalan untuk memuluskan kepentingan segelintir orang dan jelas-jelas merupakan pembangkangan atas Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024," kata Titi.
"Jangan sampai pernyataan tersebut merupakan pesanan dari caleg terpilih DPR dan DPD yang maju pilkada 2024 tapi tetap mau mengamankan kursi DPR dan DPD apabila kalah pilkada. Artinya kita telah memanipulasi dan merekayasa hukum untuk kepentingan pribadi segelintir orang," tegasnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), pelantikan/pengucapan sumpah/janji anggota dewan dilakukan "secara bersama-sama".
Namun demikian, UU MD3 juga membuka opsi bahwa anggota dewan yang berhalangan hadir pelantikan secara bersama-sama, mengucapkan janji/sumpah secara terpisah. (*)
Tags : KPU, Pilkada 2024, Pakar Hukum UI Titi Anggraini, Status Caleg Terpilih Jelang Pilkada 2024, News ,