Headline Agama   2025/10/12 20:50 WIB

Pakar UI Soroti Kuota Haji yang Kerap Disalahpahami dan Bukan Bagian dari Keuangan Negara

Pakar UI Soroti Kuota Haji yang Kerap Disalahpahami dan Bukan Bagian dari Keuangan Negara

Penyelenggaraan haji disebut sebagai pelayanan keagamaan, bukan kegiatan ekonomi.

AGAMA - Pakar Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang menjelaskan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji tidak termasuk dalam instrumen keuangan negara.

“Bipih sepenuhnya berasal dari jamaah, bukan dari APBN. Karena itu, tidak dapat dikategorikan sebagai keuangan negara, sebab penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan jamaah haji,” ujar Dian Puji, Kamis (9/10/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan untuk menanggapi polemik mengenai status hukum Bipih dan kuota haji dalam perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan. Menurut Dian, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, Bipih dan Bipih Khusus merupakan biaya yang dibayarkan langsung oleh calon jamaah haji.

“Karena tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana tersebut tidak termasuk penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” jelasnya.

Dian menegaskan, Bipih berstatus sebagai dana titipan jamaah haji sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan dana titipan jamaah haji tidak dicatat dalam APBN.

“Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk ke kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara,” ujarnya.

Ia juga menilai tidak tepat jika dana Bipih yang belum digunakan dianggap berpotensi menimbulkan kerugian negara. Menurutnya, apabila jamaah batal berangkat, dana Bipih wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan.

“Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jamaah, bukan milik pemerintah, dan tidak menjadi milik negara ketika jamaah batal berangkat,” kata Dian.

Selain soal dana, Dian menyoroti status kuota haji yang kerap disalahpahami sebagai hak negara. Ia menegaskan kuota haji tidak dapat dinilai dengan uang dan bukan bentuk penerimaan negara.

“Kuota haji adalah hak administratif bagi jamaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan,” katanya.

Menurut Dian, penetapan kuota haji merupakan kewenangan administratif Menteri Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Penetapan tersebut didasarkan pada kondisi faktual dan prinsip kemanfaatan bagi jamaah.

“Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, bukan berdasarkan asumsi,” katanya. 

Dian menilai pandangan yang menyebut kuota haji bernilai uang bagi negara merupakan kekeliruan konseptual.

“Kuota bukan pajak, bukan PNBP, dan tidak menambah kas negara ataupun penerimaan negara. Penyelenggaraan haji adalah kegiatan pelayanan publik yang bersifat nirlaba,” ujarnya.

Dian menyampaikan hingga kini tidak ada dokumen resmi pemerintah yang mencatat Bipih sebagai penerimaan negara.

“Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara dari dana Bipih, karena dana tersebut tidak pernah menjadi bagian dari APBN,” katanya.

Ia menekankan penyelenggaraan ibadah haji harus dipahami sebagai pelayanan keagamaan, bukan kegiatan ekonomi atau fiskal. Oleh karena itu, wacana hukum mengenai Bipih dan kuota seharusnya diarahkan pada penguatan tata kelola dan transparansi demi kemaslahatan jamaah. 

Dian Puji Nugraha Simatupang juga menyoroti Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji yang kerap disalahpahami status hukumnya dalam wacana publik. Ia menilai perlu pelurusan agar tidak terjadi kekeliruan dalam memandang pengelolaan dana dan kebijakan haji di Indonesia.

Menurut Dian, Bipih bukan merupakan bagian dari keuangan negara karena dananya tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dibayarkan langsung oleh calon jamaah haji.

“Bipih sepenuhnya berasal dari jamaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi keuangan negara karena penggunaan dan pemanfataan sepenuhnya bagi jamaah haji,” ujar Dian dalam keterangan di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Ia menjelaskan, hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dijelaskan bahwa dana Bipih berstatus dana titipan milik jamaah.

“Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk dalam kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara,” ucapnya.

Dian pun menilai keliru apabila ada pihak yang menyatakan bahwa dana Bipih berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ia menegaskan, narasi tersebut tidak memiliki dasar hukum karena negara tidak memiliki hak atas dana Bipih.

Ia menegaskan, apabila jamaah batal berangkat, dana Bipih wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan. “Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jamaah, bukan milik pemerintah dan tidak menjadi milik negara ketika jamaah batal berangkat,” kata Dian.

Bahkan, kata Dian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam berbagai auditnya tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara atas dana Bipih karena dana tersebut memang berada di luar struktur APBN.

Selain dana haji, Dian juga menyoroti kesalahpahaman serupa terkait kuota haji. Menurutnya, ada anggapan keliru yang menyebut kuota haji memiliki nilai ekonomi dan menjadi potensi sumber penerimaan negara.

“Kuota haji adalah hak administratif bagi jamaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.

Ia menegaskan, penetapan kuota haji adalah kewenangan administratif yang diberikan kepada Menteri Agama berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2019. Dengan demikian, kuota tidak dapat diperlakukan sebagai komoditas negara.

“Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, bukan asumtif,” ujarnya.

Ia pun mengingatkan bahwa isu dana dan kuota haji seharusnya tidak dijadikan polemik tanpa dasar, tetapi diarahkan pada penguatan tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang transparan, amanah, dan akuntabel.

Ia menegaskan dua prinsip penting dalam penyelenggaraan haji. Pertama, Bipih dan Bipih Khusus bukan keuangan negara, melainkan dana titipan jamaah yang dikelola untuk kepentingan haji. Kedua, kuota haji bukan aset negara dan tidak memiliki nilai uang, karena bersifat administratif dan layanan publik.

“Prinsip dasarnya jelas: ini soal amanah dan pelayanan, bukan soal penerimaan negara,” ucapnya. (*) 

Tags : biaya haji, bipih, bpih haji, keuangan haji, haji 2026, Bipih kuota haji.Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang, keuangan negara, jamaah haji, Kemenag, BPK, UU Haji, dana haji,