SABAN hari deru mesin kapal pompong menggema hingga terdengar disekeliling pelabuhan rakyat [kecil] di Desa Pancur terpaut 3 kilomter dari Kota Daik Lingga, Kepulauan Riau [Kepri].
Pagi itu, jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, para penumpang kapal pompong hilir mudik menuju pulau-pulau kecil seperti Pulau Benan, Tajur Biru, Duyung dan pulau Senayang.
Disekitar pelabuhan tampak nelayan tradisional beradu nasib di atas gelombang laut yang kurang bersahabat.
Di pulau-pulau kecil juga tampak kelong, alat tangkap ikan yang menyerupai rumah. Pelabuhan Pancur menunjukkan keindahan alamnya, yang selama ini menjadi salah satu destinasi Kabupaten Lingga.
Begitupun pada pulau-pulau kecil lainnya seperti pulau Benan yang cukup ternama bagi warga Tanjungpinang suka berlibur di daerah pesisir.
Rumah-rumah warga di Desa Pancur tampak sederhana, rumah panggung sederhana yang terbuat dari papan dan kayu.
Rumah yang sangat sederhana ini juga tampak di bibir Pulau Benan, Duyung dan Tanjur Biru pun tidak terlalu padat.
Nelayan tampak menggunakan perahu kecil untuk menangkap ikan. Air laut terkadang tampak tenang bahkan terkadang gelombang kelihatan besar.
Aktifitas di Pelabuhan Pancur terlihat setiap penumpang diidentifikasi oleh petugas dari Dinas Kesehatan setelah diperiksa suhu tubuhnya.
Begitupun terlihat penumpang ada yang meneruskan perjalanan di daratan pulau yang berhadapan dengan Gunung Daik.
Di pelabuhan itu tidak terlalu banyak aktivitas, termasuk pedagang makanan siap saji. Menuju pusat pemerintahan Kabupaten Lingga, ternyata masih membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan ojek atau pun mobil dari Pelabuhan Pancur.
Ongkos ojek ke Daik Rp100.000, sedangkan mobil tambang pribadi yang tunggu di halte hanya Rp16.000.
Perjalanan menuju Daik, ibu kota Kabupaten Lingga melintasi jalan sempit. Salah satu kawasan yang dilalui Sungai Besar.
Di Sungai Besar terdapat pemukiman penduduk, meskipun tidak padat.
Di lokasi itu tampak sawah yang ditumbuhi padi. Ada pula sejumlah petakan sawah yang sudah tidak terurus, ditumbuhi semak belukar.
"Ya, inilah Daik, seperti perkampungan," ucap Ridwan, salah seorang penumpang bus.
Suasana di Daik tampak sepi. Para pedagang mulai bersiap-siap menutup usahanya. Mereka mulai berjualan pagi hingga sore hari.
Namun di sekitar Pancur tampak ramai, jumlah ruko tidak terlalu banyak. Warga juga memanfaatkan kediamannya untuk berjualan.
Pedagang makanan siap saji menghiasi pelabuhan itu. Namun menuju Kota Daik, sepanjang jalan mulai dari Desa Pancur kawasan terlihat gelap karena tidak ada lampu jalan.
Sementara kendaraan bermotor hanya sesekali melintasi jalan.
"Di sini sepi. Kalau malam seperti ini," kata Amril, salah satu pedagang makanan siap saji di Pelabuhan Pancur.
Amril merupakan warga asli Daik. Ia mengatakan sejak dahulu Daik sepi, walaupun Kabupaten Lingga sudah berusia belasan tahun.
"Kalau di Dabo Singkep lebih ramai dari pada Pancur," katanya.
Tidak Ada Investasi
Desa Pancur berkembang pesat, seperti di Dabo Singkep. Salah satu penyebabnya, aktivitas perekonomian yang tumbuh pesat.
Namun tidak ada investasi baik berskala besar maupun sedang di desa itu. Jikapun ada investasi pengusaha lokal yang melakukan pengiriman ikan kepasar domestik [Singapura dan Malaysia].
Pelaku usaha lokal di Desa Pancur disebut-sebut dilakoni kakak beradik Tek Seng dan Sucing. Aktifitas yang dilakukan pengusaha lokal yang sudah menahun itu membawa ikan bawal menuju negara jiran Malaysia dan Singapura.
"Kami hanya memasok ikan bawal dengan memakai kapal kargo 'Riau Jaya' dari Pelabuhan Pancur, Daik Lingga menuju luar negeri (LN). Sebelumnya, melakukan singgah sebentar mengurus surat-surat dokumen perjalanan ke Tanjung Pinang, Kepri," kata Tek Seng saat bincang-bincangnya dengan riaupagi.com.
Dia membantah dituduhkan pelaku penyeludupan ikan bawal [berkualitas], namun diakui kapal yang membawa ikan hasil tangkapan nelayan dilakukan seminggu tiga kali, "jika hasil tangkapan ikan nelayan banyak kita melakukan ekspor ikan tiga kali seminggu," ungkapnya yang juga terlihat telah menyediakan sebuah gudang bangunan tempat penyimpanan ikan di desa itu.
Tek Seng mengaku sebelum melakukan bongkar muat ikan yang akan dipasarkan terlebih dahulu mempersiapkan dokumen seperti Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), Surat Izin Pengangkutan Ikan (SIPI), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL), maupun surat-surat perijinan lainnya yang dibutuhkan.
"Kapal yang digunakan berkapasitas 30 GT (grosse tonage) dan konstruksinya sudah mencukupi syarat untuk mengangkut ikan. Namun, untuk mengangkut ikan, banyak surat [dokumen] penting yang harus dipersiapkan seperti SIKPI, SIPI, SIUP, dan SIUPAL. Jumlah ikan yang dibawa jika lebih dari 80 % dari total yang diangkut, itu harus ada dokumen-dokumen," terangnya.
Sepi dan tidak adanya investasi yang menanamkan modalnya di Kabupaten Daik Lingga seikitarnya pernah dikritisi Aziz Martindas yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Lingga.
Pemerintah dinilai gagal dalam membangun Daik sebagai ibu kota Kabupaten Lingga.
Anggota Dewan di Daik Lingga itu juga menyoroti tentang fasilitas umum yang masih minim dan jalan di sejumlah kawasan masih gelap gulita kalau malam hari.
"Fasilitas dan mutu kesehatan dan pendidikan belum dapat bersaing dengan daerah lain. Warga yang sakit agak parah kebanyakan dirujuk ke rumah sakit Batam atau di Tanjungpinang. SPBU tak ada, padahal ibu kota kabupaten. Warga sejak dahulu sampai sekarang beli premium eceran," katanya.
Wilayah yang rentan jadi area pencurian ikan
Menyimak kembali seperti disebutkan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan ada tiga wilayah yang rentan jadi area pencurian ikan yang diseludupkan ke luar negeri.
"Kami mengidentifikasi tiga area yang memang perlu kita waspadai terkait dengan kapal ikan asing ilegal ini, tiga area tersebut adalah Laut Natuna Utara, Selat Malaka dan Laut Sulawesi," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Tb Haeru Rahayu pada media.
Ketegasan Pemerintah Indonesia untuk memerangi aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) terus diperlihatkan hingga sekarang.
Sudah 488 kapal ikan asing (KIA) pelaku IUUF ditenggelamkan di berbagai wilayah laut Indonesia.
Tetapi, selama kurun waktu tersebut, aksi pencurian ikan masih sulit untuk dihentikan dan itu masih terus berlangsung hingga sekarang.
Bahkan, KKP merilis pelaku IUUF selama 2,5 bulan terakhir, sudah ada 16 kapal pencuri ikan yang ditangkap oleh kapal penjaga lautan yang dikawal oleh KKP, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Bahkan ada juga kapal berbendera Malaysia yang ditangkap karena telah melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia karena menerobos perbatasan dan menangkap ikan di WPP-NRI.
KKP juga menangkap KIA pencuri ikan di wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara.
Kapal yang ditangkap oleh kapal pengawas perikanan adalah kapal berbendera Vietnam dengan nama BV 9845 TS dan diawaki oleh lima orang berkewarganegaraan Vietnam.
Kapal tersebut ditanglap oleh KP Paus 001 sekitar pukul 07.50 WIB pada posisi koordinat 03.09.091 N – 110.01.925 E.
Seperti kapal pencuri sebelumnya yang ditangkap, kapal Vietnam tersebut juga melakukan pelanggaran hukum karena menangkap ikan di WPP NRI tanpa dilengkap dengan dokumen dan perizinan yang sah dari Pemerintah Indonesia.
“Tak hanya itu, kapal Vietnam tersebut juga menggunakan alat tangkap trawl yang dilarang di Indonesia,” sebutnya.
Untuk kapal-kapal yang ditangkap juga ditemukan kapal yang melakukan berbagai tindakan pidana di bidang perikanan, seperti menangkap atau mengangkut di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) tanpa surat izin usaha perikanan (SIUP).
Selain itu, pelanggaran lain adalah menangkap ikan di WPP RI tanpa surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan mengangkut ikan tanpa surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).
Menyimak disebutkan Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim, kebijakan penenggelaman hingga saat ini masih belum memberikan efek jera.
Itu terbukti dengan masih maraknya aktivitas pencurian ikan di berbagai wilayah perairan Indonesia.
Halim menyebutkan kenapa hingga sekarang pencurian ikan masih terus terjadi, adalah karena terus menurunnya stok sumber daya ikan yang ada di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Kondisi seperti itu, memaksa nelayan untuk tetap mencari ikan, meskipun harus mencuri dari perairan laut Indonesia.
Alasan kedua kenapa praktik pencurian ikan masih terus terjadi, menurut Halim adalah karena diterapkannya sejumlah aturan berkaitan dengan upaya menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Aturan tersebut tidak hanya muncul di satu negara saja, melainkan di hampir semua negara Asia Tenggara.
“Alasan ketiga, adalah Pemerintah terlalu fokus pada kebijakan pengeboman atau penenggelaman kapal ikan dan justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri,” tuturnya.
Tiga alasan tersebut, menurut Halim, bisa menjelaskan bagaimana kondisi sektor kelautan dan perikanan Indonesia untuk saat ini. Selama 48 bulan atau 4 tahun usia kabinet kerja Presiden RI Joko Widodo, pengelolaan sumber daya kelautan sektor tersebut justru terlihat kehilangan arah. (*)
Tags : desa pancur, daik lingga, aktivitas nelayan di pancur, kepri, bongkar muat ikan di pancur, warga desa pancur, artikel,