TRAVELING - Pandemi Covid-19 mengakibatkan berbagai aktivitas penerbangan dihentikan dan sejumlah negara menutup perbatasannya. Hal ini menyebabkan orang-orang memilih menempuh perjalanan untuk pulang kampung dengan cara-cara yang cukup ekstrem.
Berikut ini kami rangkum kisah perjalanan dari empat orang yang menempuh perjalanan jarak jauh selama pandemi virus corona. Annabel Symes menempuh perjalanan dengan menunggang kuda dari kawasan terpencil di Argentina sejauh 1,600km. Annabel Symes adalah seorang remaja asal Inggris yang bekerja sebagai relawan di sebuah peternakan kuda dan sapi di wilayah terpencil Patagonia, Argentina. Jadwal penerbangannya dibatalkan akibat pembatasan perjalanan selama pandemi virus corona.
Ini artinya Annabel harus tetap tinggal di kawasan peternakan sambil melewati musim dingin yang suhunya bisa berada di bawah 0 Celcius. Remaja berusia 19 tahun itu berencana pulang ke rumah pada akhir musim panas dan dia hanya membawa sedikit pakaian. Di tengah kecemasan yang kian menjadi, dia lantas menelepon Kementerian Luar Negeri Inggris, yang mencari jalan keluar agar bisa pergi ke bandara Buenos Aires yang berjarak 1,600 km dan dari sana dia akan terbang dengan pesawat menuju ke negaranya.
Tahap pertama perjalanan yang ditempuh Annabel dan kekasihnya dimulai dengan menunggang kuda selama setengah hari untuk mencapai jalan raya terdekat, ditemani beberapa keledai yang mengangkut tas mereka. Setelah sampai di jalan raya, Annabel kemudian naik taksi selama sembilan jam ke kota terdekat. Di sepanjang jalan terdapat pos pemeriksaan untuk mengecek suhu tubuh dan menyemprot kendaraan dengan disinfektan.
Selepas pemeriksaan, Annabel kembali melanjutkan perjalanan yang cukup berat dengan menumpang bus selama 17 jam ke bandara. "Menunggangi kuda adalah bagian dari perjalanan yang cukup membuat saya takut," ujarnya kepada koran The Argus setelah kembali ke rumah.
"Saya takut terjerembab ke sebuah perabadan yang dikelilingi virus corona dan saya sangat stres melihat orang-orang sekeliling mengenakan masker wajah dan diukur suhu tubuhnya di beberapa pos pemeriksaan."
Kleon Papadimitriou menempuh perjalanan sejauh 3,200km dengan sepeda.
Seorang mahasiswa Kleon Papadimitriou mengatakan "banyak faktor" yang membuatnya memutuskan untuk bersepeda dari kampusnya di Skotlandia untuk kembali ke negaranya di Yunani.
Berbagai penerbangan dibatalkan karena pandemi dan sewa apartemennya di kota Aberdeen, Skotlandia pun sudah selesai. Namun pria berusia 20 tahun itu mengatakan dia senang menyambut "tantangan besar" dalam hidupnya. Dia juga menggunakan kesempatan bersepeda jarak jauh ini untuk menguji kemampuan fisiknya. "Saya ingin menguji diri saya sendiri dan saya tidak punya hal lain lagi yang harus dilakukan," katanya dirilis BBC.
Ini merupakan perjalanan paling jauh yang pernah ia tempuh, sebelumnya Kleon hanya bersepeda "untuk berkeliling" di sekitar tempat tinggalnya. Namun dia yakin cukup sehat untuk melakukan perjalanan jauh. Berbekal makanan, kantung tidur dan tenda, pada bulan Mei dia pergi dengan menaiki sepedanya menempuh perjalanan selama 48 hari ke Athena, ibukota Yunani.
Dia mengatakan sudah merancang rencana perjalanannya dengan mempertimbangkan pembatasan perjalanan dan tidak menemui kendala ketika melintasi perbatasan. Perjalanan sejauh 3.200 km membuatnya lelah, namun menurutnya ada tantangan paling sulit yang dia hadapi yakni kesepian. "Saya berjuang melawan kesepian yang saya alami," kenangnya. "Sepeda saya kerap bermasalah, yang paling sering bannya kempes dan saya harus membereskannya."
Namun banyak hal yang membuatnya asyik bersepeda.
"Sepanjang perjalanan saya melihat medan luar biasa, tempat-tempat menakjubkan, saya bertemu banyak orang dan berbagai tempat yang indah," katanya.
Kleon akhirnya tiba di rumahnya di Yunani pada akhir Juni, dia disambut oleh keluarga, teman, kenalan dan orang-orang yang mendengar kabar tentang perjalanannya dari Skotlandia. Dia mengatakan perjalanan tersebut telah mengajarkannya bahwa dia "mampu untuk melakukan lebih dari yang dia kira" dan kini menurutnya dia lebih mampu menghadapi situasi yang penuh tekanan.
Namun dia berencana untuk melakukan perjalanan kembali ke Aberdeen pada bulan September dengan pesawat. "Ini adalah pengalaman besar saya, namun jika saya bersepeda lagi saya tidak akan menempuh rute yang sama."
Garry Crothers bertekad untuk menghadiri pernikahan putri bungsunya. Jadi ketika penerbangannya ditunda dia memutuskan untuk melakukan perjalanan pulang sejauh 6.500 km dengan berlayar sendirian melintasi Atlantik. Garry sudah berlayar di sekitar Karibia di kapalnya, Kind of Blue, sejak awal 2019, di berbagai titik berlabuh banyak teman dan keluarga bergabung dengannya.
Dia dijadwalkan terbang pulang ke Irlandia Utara pada akhir Maret, untuk menghadiri putri bungsunya menikah pada bulan September. Namun ketika virus corona merebak, pria 64 tahun itu terjebak di kapalnya di Sint Maarten, dan tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Ketika pembatasan wilayah berlanjut sampai bulan April dan musim badai semakin mendekat, dia mulai menyusun rencana untuk kembali ke rumah, memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk melakukannya adalah berlayar sendirian.
Mungkin bagi sebagian orang perjalanan melintasi Atlantik sendirian terdengar menakutkan, Garry menghadapinya. Perjalanan itu jadi lebih menantang karena salah satu tangannya sudah diamputasi, setelah mengalami kecelakaan sepeda motor. "Berlayar jarak jauh, seorang diri adalah tantangan bagi siapa pun, bahkan bagi mereka yang lengkap memiliki dua tangan. Anda harus mempersiapkan diri dengan baik, memiliki rencana darurat untuk setiap kemungkinan," katanya.
Salah satu tantangan terbesar dari pelayaran selama 37 hari itu adalah menyempatkan waktu untuk memasak dan makan. "Karena saya sendirian, setiap waktu luang dihabiskan untuk melihat pola cuaca, membetulkan layar kapal, mengubah arah seperlunya, melihat kapal-kapal lain dan tentu saja mencoba tidur," katanya.
"Saya takut jika saya nantinya letih, karena jika capek saya akan membuat kesalahan."
Perjalanan Garry diwarnai cuaca yang dingin serta "badai yang dahsyat" meski menurutnya dia menikmati berbagai pemandangan seperti menyaksikan bintang jatuh dan melihat ikan paus serta lumba-lumba. Namun hal terpenting baginya "ada rasa puas ketika bisa mencapai sesuatu yang diinginkan meski dalam kondisi disabilitas". Ketika kembali ke daratan dia disambut oleh teman-temannya, keluarga dan para pendukungnya.
Kini Garry punya waktu dua bulan jelang pernikahan putrinya. Keluarga masih berharap pernikahan itu akan tetap berlangsung, meski jumlah para tamu undangan akan dikurangi.
Juan Manuel Ballestero menempuh perjalanan11,000km dengan perahu.
Pelaut Argentina Juan Manuel Ballestero terjebak di Portugal ketika penerbangannya dibatalkan karena pandemi virus corona. Dia bertekad pulang untuk menghadiri ulang tahun ayahnya yang ke 90, dia memutuskan naik perahu sederhananya sepanjang 9 meter dan mulai berlayar. "Saya pikir cara terbaik untuk pulang ke rumah adalah terus berlayar dan tidak singgah di negara-negara lain untuk menghindari penularan," katanya.
"Saya tidak mempersiapkan diri. Saya hanya langsung menaiki perahu dengan membawa banyak makanan. Tapi saya lupa membawa obat."
Pelaut 47 tahun yang sudah berpengalaman itu berpikir perjalanan trans-Atlantik mungkin memakan waktu antara 60 dan 80 hari. Ternyata dia sendirian di laut selama 85 hari hanya ditemani radio. "Hanya ada saya dan alam semesta, di malam hari ada banyak bintang dan kadang-kadang ada lumba-lumba yang datang menghampiri," katanya.
Juan tidak sempat merayakan ulang tahun ayahnya yang ke-90, namun mereka bisa merayakan Hari Ayah bersama-sama setelah Juan tiba di kota kelahirannya Mar del Plata pada bulan Juni. "Kami adalah pelaut. Itu adalah misi lain yang diselesaikan," ujar Juan bercerita tentang pengalaman berlayarnya. (*)
Tags : Pandemi Covid-19, Perjalanan Ekstrem, Traveling ,