Linkungan   2025/02/09 10:44 WIB

Pantai Segredo Jadi 'Kuburan' Sampah dari Asia, 'yang Sebagian Besar Kepiting Pertapa Sudah Gunakan Cangkang dari Bahan Plastik'

Pantai Segredo Jadi 'Kuburan' Sampah dari Asia, 'yang Sebagian Besar Kepiting Pertapa Sudah Gunakan Cangkang dari Bahan Plastik'
Sebagian besar dari barang yang digunakan kelomang atau kepiting pertapa sebagai cangkang terbuat dari plastik.

LINGKUNGAN - Pantai Segredo di Brasil menarik perhatian publik karena keindahan alamnya yang masih alami. Namun jika diamati lebih dekat, terungkap rahasia menyedihkan: pasir pantainya menjadi "kuburan" bagi sampah-sampah yang berasal dari Asia, termasuk Indonesia.

Pada pantai itu di Desember lalu ditemukan puluhan kemasan yang diproduksi di negara-negara Asia, seperti Indonesia, China, Singapura, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Korea Selatan.

Sampah yang paling umum ditemukan adalah botol minuman non-alkohol, produk pembersih, dan wadah oli mesin. Hampir semua kemasan terbuat dari plastik, tetapi ada juga berbahan kaleng, seperti penghapus cat.

Sebagian besar sampah-sampah ini diproduksi dalam beberapa tahun terakhir dan kemasan mereka pun masih hampir utuh.

Diselimuti oleh hamparan pasir yang luas, Pantai Segredo terletak di pusat wilayah Natal di Brasil.

Namun, pantai ini lebih sepi jika dibandingkan pantai-pantai lain yang lebih urban di ibu kota Rio Grande do Norte, seperti Ponta Negra.

Di beberapa bagian, pantai ini terasa sepi. Pada Selasa sore, kemasan dengan warna cerah tampak mencolok di pantai, di tengah pasir putih dan vegetasi pesisir.

Bukan hanya barang-barang dari Asia yang ditemukan di kemasan-kemasan tersebut, ada juga produk-produk yang dibuat di Brasil, Amerika Serikat, dan negara-negara Afrika.

Namun, di antara kemasan yang masih dalam kondisi utuh—dan bisa diidentifikasi asalnya—kemasan produk Asia adalah yang terbanyak.

Bagaimana sampah dari Asia sampai ke Brasil?

Pada Juli 2024, sebuah penelitian yang dilakukan perusahaan Verocel mendeteksi banyak sampah asing di pantai-pantai kota Belmonte, wilayah Bahia selatan.

Pada saat itu, sebanyak 140 kilogram sampah plastik dibersihkan dari pasir dalam waktu lima minggu.

"Analisis sampah menunjukkan botol plastik mayoritas berasal dari Asia," kata laporan tersebut.

Namun, bagaimana barang-barang yang diproduksi di belahan dunia lain ini bisa berakhir ke pantai Brasil?

Menurut profesor di Institut Oseanografi Universitas São Paulo (USP) dan spesialis polusi laut, Alexander Turra, dugaan yang paling mungkin adalah sampah berasal dari pembuangan kapal.

Menurut Bank Dunia, transportasi laut menyumbang sekitar 90% dari perdagangan global, dan Asia adalah rumah bagi 20 dari 30 pelabuhan tersibuk di dunia.

Lalu lintas pelayaran antara Brasil dan negara-negara Asia sangat padat: Brasil mengimpor banyak produk industri dari negara-negara Asia dan menjual banyak bahan mentah dalam jumlah besar.

"Kapal-kapal ini mengangkut orang, dan orang-orang ini mengonsumsi produk yang seringkali dibuang ke laut," kata Turra.

"Dan barang-barang yang ada di kapal dan yang dibeli di pelabuhan asal, bisa berasal dari Singapura, Vietnam, China... di mana pun."

Sampah-sampah tersebut biasanya dibuang di sekitar pelabuhan, tempat kapal akan bersandar. Lalu barang ini berakhir ke pantai karena terbawa arus laut, kata peneliti itu.

Menurut Turra, pembuangan sampah oleh kapal-kapal asing berdampak pada sebagian besar pantai di Brasil, namun lebih terlihat di pantai-pantai terpencil atau yang tidak sering dibersihkan.

Kota-kota di daerah pelabuhan juga lebih rentan—seperti Natal, yang memiliki salah satu pelabuhan terbesar di wilayah Brasil bagian timur laut.
Masalah sampah di laut

Alexander Turra mengatakan sampah-sampah ini menyebabkan berbagai dampak pada pantai dan kehidupan laut.

"Salah satunya adalah pariwisata: siapa yang ingin mengunjungi pantai yang penuh sampah?"

Polusi lingkungan ini juga mengancam hewan yang terjebak di dalam kemasan atau memakannya.

"Dan dengan itu ada kemungkinan mereka mati tercekik atau merasakan rasa kenyang palsu lalu mati," kata peneliti.

"Belum lagi kerusakan pada pelayaran, karena produk-produk ini merusak mesin, baling-baling, dan sistem pendinginan."

Degradasi sampah plastik menjadi partikel-partikel kecil (mikroplastik) juga menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia, karena ikan yang mengonsumsi partikel ini dapat dimakan oleh manusia.

Apa solusinya?

Turra bilang sejak 1972, resolusi internasional telah melarang pembuangan sampah non-organik ke laut (meskipun pembuangan sampah organik diizinkan dengan kondisi tertentu).

Namun, menurutnya, banyak kapal yang melanggar larangan ini dengan berbagai alasan.

Alasan pertama, kata peneliti, masih banyak kapal yang belum memisahkan sampah organik dengan limbah plastik. Mereka membuang semua sampah ke laut untuk menghindari bau yang tidak sedap.

Alasan kedua adalah biaya. Pelabuhan mengenakan biaya yang bervariasi sesuai beratnya terhadap pengumpulan material, seperti sampah.

Akhirnya, banyak kapal memilih untuk membuang sampah ke laut untuk menghemat biaya pengumpulan ini, menurut peneliti.

Solusinya, kata Turra, adalah mengenakan biaya tetap yang tidak tergantung pada jumlah sampah.

Langkah lain adalah melakukan pengawasan dan mengenakan denda pada kapal yang tidak memisahkan sampah organik dari non-organik.

Siapa yang bertanggung jawab?

Asosiasi Pemilik Kapal Asia (ASA) berkomentar rasa menyesalkan pembuangan sampah di pantai Brasil ini dan mempromosikan "praktik pelayaran yang ramah lingkungan".

ASA mengeklaim asosiasinya mewakili 52% dari armada kapal niaga dunia.

"Anggota kami mengoperasikan kapal mereka sesuai dengan peraturan internasional tentang pembuangan sampah," kata organisasi tersebut.

Namun, ASA mengaku tidak semua produk Asia yang ditemukan di pantai Brasil dibuang oleh kapal Asia.

Menurut mereka, kapal dari semua benua dapat berlabuh dan mengisi bahan bakar di pelabuhan Asia.

"Meskipun ada beberapa operator kapal yang tidak teratur di dunia, ASA bertindak untuk memastikan hukum dan peraturan dipatuhi," kata lembaga tersebut.
Dan, bagaimana dengan di Brasil?

Di Brasil, misi untuk memerangi polusi di pantai dan perairan pesisir menjadi tanggung jawab berbagai lembaga pemerintah.

Lembaga yang bertanggung jawab untuk menentukan pedoman tarif di pelabuhan berada di tangan Badan Transportasi Laut Nasional (Antaq), sedangkan regulasi sektor pelabuhan di bawah kewenangan Kementerian Pelabuhan dan Bandara.

Antaq belum memberikan tanggapan terhadap pertanyaan ini.

Sementara itu, Kementerian Pelabuhan dan Bandara mengatakan pelabuhan-pelabuhan Brasil mengikuti "praktik terbaik global" tentang pengelolaan sampah.

Saat ditanya mengenai usulan untuk menetapkan biaya tetap atas pembuangan sampah oleh kapal, kementerian ini mengatakan bahwa aturan tarif saat ini mengikuti "kriteria teknis dan ekonomi".

Mereka bilang tetap "berdialog dengan agen sektor untuk mengidentifikasi peluang perbaikan dalam kerangka regulasi yang ada".

Institut Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Terbarukan Brasil (Ibama) adalah lembaga federal yang bertanggung jawab untuk perlindungan lingkungan di pantai dan pesisir.

Ibama tidak menanggapi pertanyaan terkait apakah pihaknya akan mengambil langkah-langkah terhadap pembuangan sampah oleh kapal.

Mereka hanya mengatakan bahwa "tanggung jawab untuk pembersihan rutin pantai adalah tanggung jawab pemerintah kota".

"Menimbang bahwa Natal merupakan kota wisata dan terstruktur dengan baik secara administratif, pemeliharaan ini harus dilakukan sesering yang diperlukan," kata badan tersebut.

BBC News Brasil kemudian bertanya kepada Departemen Lingkungan Hidup daerah Natal tentang seberapa sering Pantai Segredo dibersihkan dan apakah ada inisiatif lain untuk memerangi sampah asing di pantai-pantai ini.

Lembaga itu tidak memberikan tanggapan.

Namun mereka menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan kepada Urbana, perusahaan yang bertanggung jawab atas kebersihan umum kota, yang juga tidak memberikan komentar.

Angkatan Laut Brasil, yang bertanggung jawab untuk memeriksa kapal-kapal di perairan Brasil, mengatakan bahwa mereka "memeriksa laut dan sungai tanpa henti dan, ketika mengetahui adanya pelanggaran lingkungan dalam yurisdiksinya, mereka melakukan proses administratif lingkungan untuk menghukum para pelanggar."

Menurut Angkatan Laut, perubahan aturan pada awal 2000-an meningkatkan hukuman bagi kapal yang mencemari laut, "dengan denda yang dapat mencapai hingga R$50 juta [sekitar Rp140 miliar]."

Profesor Hukum Maritim dari Universitas Federal Pernambuco (UFPE) Ingrid Zanella mengatakan lembaga Ibama dan Angkatan Laut memiliki tugas untuk mengoordinasikan perang melawan pencemaran laut, seperti bekerja sama dengan badan-badan kota dan negara bagian yang kompeten.

"Responsnya harus bersama-sama, sesuai dengan tugasnya masing-masing, tetapi terserah pada badan-badan uni untuk meningkatkan pemantauan dan menghukum para pelanggar", kata Zanella.

Profesor itu mengatakan bahwa polusi laut sekarang menjadi prioritas badan lingkungan hidup global, tetapi Brasil masih belum memberi perhatian yang layak atas isu itu.

Dia menyadari bahwa memerangi pembuangan sampah ilegal di pesisir Brasil merupakan hal yang rumit.

"Kami memiliki garis pantai yang sangat panjang dan sulit untuk mengidentifikasi kapal mana yang membuang limbah, tetapi kami perlu mencari teknologi baru untuk mencoba melacak limbah ini," katanya. (*)

Tags : Pariwisata, Brasil, Perubahan iklim, Industri pariwisata dan hiburan, Lingkungan, Alam,