"Pasokan dan limbah pengelolaan buah sawit masih menjadi ancamanan keselamatan lingkungan, namun Pemerintah Provinsi [Pemprov] Riau selama dekade satu tahun terakhir tidak merasa khawatir"
LINGKUNGAN - Laporan End Of File [EOF] masih menyoal bagaimana minyak sawit mentah [CPO] ditanam secara ilegal di kawasan lindung milik Negara seperti habitat satwa langka harimau Sumatera, gajah dan orangutan di hutan Sumatera telah memasuki rantai pasokan sejumlah pemasok sawit [Perusahaan Perkebunan].
“Kami kecewa terlepas dari komitmen grup-grup perusahaan untuk menghentikan deforestasi, tak satupun mampu melarang minyak sawit yang diragukan legalitasnya dari rantai pasokan mereka,” kata Nursamsu dari Divisi Pemantauan Deforestasi WWF-Indonesia. “Sawit dihasilkan dari penanaman ilegal yang terus meningkat, bertambahnya jumlah pemasok dan pabrik kelapa sawit [PKS] tanpa perkebunan mereka sendiri, maka para pembeli perlu fokus melacak semua sawit yang dipasok secara menyeluruh hingga ke perkebunan.”
Hasil analisanya hampir seluruh pabrik CPO di Sumatera beresiko membeli buah sawit secara ilegal atau tercemar karena ditanam di area deforestasi, bahkan ada PKS berdiri terang-terangan tak memiliki lahan perkebunan {sebagaimana yang telah diatur Peraturan Menteri Pertanian-red], "ada perusahaan dengan sengaja menerapkan lokasi kebun terletak pada hutan dilindungi dan jarak pabrik sawit dari hutan alam bukanlah indikator bagus akan adanya resiko membeli produk ilegal ini," ungkapnya.
“Kami mendukung pemerintah pada persoalan ini menelusuri TBS hingga ke sumbernya. Namun kami peringatkan hal ini bisa menjadi celah yang membiarkan pasokan tandan buah segar berasal dari perkebunan yang sangat merusak sumber daya alam Negara,” tambah Nursamsu.
Penjual menggabungkan TBS dari ‘perkebunan pihak ketiga’ yang berpotensi ditanam dari perkebunan sawit ilegal atau merusak lingkungan, dan ini harus diperhatikan oleh seluruh manajer pabrik. “Pabrik-pabrik sawit seharusnya mempertimbangkan pendekatan waspada terhadap pemasok yang tak dapat membuktikan lokasi, legalitas serta keberlanjutan semua sumber TBS mereka,” Nursamsu menilai.
Para pembeli seharusnya hanya berurusan dengan pabrik yang mampu membuktikan mereka memiliki sistem kerja untuk melacak TBS yang mereka terima. Selama bertahun-tahun kelapa sawit telah menyebabkan deforestasi yang besar di Sumatera. "Menebangi hutan untuk perkebunan sawit di kawasan-kawasan yang kami selidiki biasanya menggunakan praktek pembakaran untuk persiapan lahan untuk ditanam sawit".
"Kurangnya ketegasan pemerintah dan penegakan aturan ditambah meningkatnya permintaan global untuk minyak sawit menjadi penyebab utama karhutla. Ini juga mendorong terjadinya perambahan dalam skala besar di hutan lindung untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ilegal. Perambahan ini harus dihentikan," kata Woro Supartinah, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [Jikalahari].
"Beberapa perusahaan mencoba untuk bersembunyi di balik petani kecil dan mata pencahariannya sehingga ada alasan pembenaran agar sumber TBS mereka tak dipertanyakan. Namun, hasil dari investigasi ditemukan, banyak pengembang perkebunan ilegal malah dibiayai oleh segelintir elit dan perusahaan yang banyak meraup untung,” ujar Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Riau.
“Jika perusahaan benar-benar peduli terhadap petani kecil, mereka harus bekerja secara langsung dengan petani kecil di daerah sebagai gantinya."
Dia menyebutkan, kelompok-kelompok yang disebutkan dalam laporan ini merupakan kelompok industri yang banyak menerima keuntungan dari deforestasi selama bertahun-tahun. Saat ini, tutupan hutan aman Nasional Tesso Nilo hanya tinggal 18 persen, sisanya adalah sawit. TBS tersebut diproses dan diolah di pabrik.
Kembali EoF menghimbau agar perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pengrusakan habitat unik ini untuk mengatasi warisan perusakan hutan mereka dengan segera berkontribusi untuk konservasi dan restorasi ekosistem negeri ini yang telah jadi korban dari perluasan ilegal kebun sawit. "Ini adalah waktu yang tepat bagi semua pemangku kepentingan bersama-sama mengatasi ilegalitas sistemik dan tidak berkelanjutan di sektor kelapa sawit Indonesia. Serta memastikan bahwa industri benar-benar mengubah jalannya menjadi ekonomi hijau dan berkelanjutan".
Perusahaan sawit di antara keuntungan dan kerusakan lingkungan
Mengingat apa yang disebutkan Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam bincang-bincangnya dan menyikapi banyaknya PKS tumbuh 'liar' di Riau secara langsung membuat perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan. Limbah cair dan gas buang crude palm oil [CPO] turut dikaitkan dengan pemanasan global. "Tudingan miring terus ditujukan kepada perkebunan kelapa sawit," kata Made.
Diakuinya, pegiat lingkungan memang bergantian mengkritik industri perkebunan kelapa sawit yang dianggap tidak ramah lingkungan. "Jikalahari paling terdepan menyoroti pengelolaan limbah sawit yang didefinisikan sebagai palm oil mills effluent [POME] dan gas buang metana.
Made mengaku maraknya tekanan dalam dan luar negeri menyoroti pengelolaan limbah pada sebuah PKS perusahaan perkebunan sawit. "Ada sebagian pabrik tak membangun instalasi Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant."
Menurutnya, mmbangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant penting ketika PKS melakukan pengolaan buah, limbah POME melalui instalasi bio gas dapat memisahkan gas metana dari ampas POME menjadi kompos. "Sebenarnya instalasi itu yang telah melakukan proses fermentasi POME dapat menghasilkan gas metana dan ampas POME. Gas ini bisa menjadi bahan bakar penggerak turbin pembangkit listrik. Kenapa pemerintah setempat tidak memanfaatkan untuk mengatasi krisis listrik," tanya dia.
Disatu sisi, jika perusahaan dapat menggunakan dan membangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant yang bisa menghasilkan daya listrik di area pabrik perkebunan itu secara otomatis perusahaan bisa berhemat secara maksimal. "Bukan hanya itu saja, warga di sekitar perkebunan pun bisa menikmati aliran listrik secara tidak langsung. Atau perusahaan malah bisa menjual pasokan listrik ke PLN," terangnya.
Sebaliknya, sekarang kebanyakan perusahaan-perusahaan PKS yang ada di Riau masih mengabaikan perlunya membangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant ini, hal ini untuk meminimalkan dampak negatif perkebunan kelapa sawit dan mendukung kelestarian lingkungan.
Made Ali sebelumnya juga menilai persoalan utama perkebunan sawit dan pabrik sawit bisa disebutkan selama ini 'merampas keanekaragaman hayati'. Perkebunan sawit terbukti merusak kekayaan flora fauna dan ekosistem. Dia mengkritik anggapan perkebunan sawit berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat, "justru selama ini perkebunan sawit maupun para pengusaha pengelola sawit di Riau hanya memberikan keuntungan bagi segelintir kelompok pemodalnya."
"Pada hakekatnya pekerja tetap selamanya sebagai buruh, namun keuntungan sawit tetap tidak sebanding dengan risiko ditanggung masyarakat pada masa depan," ujarnya. (rp.sdp/*)
Tags : Perusahaan Kebun Sawit, Limbah Sawit, Pabrik Kelapa Sawit, Kebun Sawit di Riau,