GUNUNG Daik di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki ketinggian sekitar 1.165 mdpl, merupakan salah satu ikon wisata yang masuk dalam ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2018 dalam kategori dataran tinggi populer di Indonesia.
Keunikan gunung ini sebagai bentuk puncaknya yang membuatnya juga disebut Gunung Gigi Naga. Karena keunikan bentuk puncaknya tersebut, bahkan Gunung Daik juga dijadikan lambang daerah Kabupaten Lingga.
Di balik pesonanya, legenda Gunung Daik juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2021. Salah satu versi legenda Gunung Daik yang dipercaya masyarakat bercerita tentang tentang patahnya puncak Gunung Daik.
Menurut cerita rakyat setempat, Gunung Daik mempunyai puncak yang bercabang tiga yang masing-masing memiliki nama. Cabang yang sebelah kanan paling besar bernama Gunung Lingga, cabang di tengah yang tegak runcing disebut dengan Pejantan, dan cabang paling kiri yang pendek bernama Cindai Menangis.
Berbagai versi cerita yang mengisahkan tentang patahnya Puncak Gunung Daik. Pertarungan antara Datuk Kaya Kuning dengan Mak Yah Alkisah patahnya Gunung Daik merupakan hasil dari pertarungan antara Datuk Kaya Kuning dengan Mak Yah.
Pertarungan terjadi demi mengadu kesaktian masing-masing dengan cara mematahkan satu diantara ketiga cabang puncak Gunung Daik.
Sebelum bertarung terjadi kesepakatan antara Datuk Kaya Kuning dan Mak Yah bahwa nantinya kekuasaan akan jatuh kepada pemenang.
Dalam adu kesaktian tersebut, Mak Yah menjadi yang pertama mencoba mematahkan cabang puncak Gunung Daik. Namun sekeras apapun Mak Yah mengeluarkan kesaktian, cabang puncak Gunung Daik tidak bergeming.
Selanjutnya Datuk Kaya Kuning mendapat giliran menjajal kesaktiannya, dan berhasil mematahkan satu diantara tiga cabang puncak Gunung Daik.
Patahan Gunung Daik berguling ke bawah dan jatuh ke laut menjadi sebuah pulau yang diberi nama Pulau Pandan.
Sesuai perjanjian, Mak Yah mengaku kalah dan tunduk terhadap Datuk Kaya Kuning yang menjadi raja di seluruh Lingga. Pertapaan Raja Inderagiri Legenda yang lain tentang patahnya puncak Gunung Daik disebut terkait dengan berakhirnya pertapaan Raja Inderagiri yang ingin menambah kesaktian.
Menurut cerita rakyat, pada masa lalu Raja Inderagiri pernah mendaki Gunung Daik untuk bertapa. Ketika hampir selesai menjalani pertapaannya, Raja Inderagiri mendengar suara gemuruh.
Ia kemudian menyaksikan satu diantara tiga cabang puncak Gunung Daik patah dan berguling ke bawah yang membuatnya mengakhiri pertapaannya untuk berlari menyelamatkan diri.
Patahan puncak Gunung Daik berguling ke bawah dan jatuh ke laut dan kemudian menjadi Pulau Pandan.
Kematian Datu Kaya Montel Versi lain menyebut bahwa cerita rakyat tentang patahnya Gunung Daik juga berhubungan dengan pertanda kematian Datu Kaya Montel yang tinggal di pulau Lingga.
Datuk Kaya Montel penguasa Lingga dan juga menjadi Raja Orang Laut saat itu tengah sakit keras. Orang Laut yang mendengar Datuk Kata Montel sakit keras datang dan berkumpul di pulau Mepar.
Sebelum meninggal, Datuk Kaya Montel memberikan pesan kepada Orang Laut bahwa apabila terjadi suatu hal yang aneh dan menggemparkan di Pulau Lingga maka itulah pertanda bahwa dirinya telah meninggal dunia.
Setelah mendengar wasiat dari Datuk Kaya Montel, seluruh Orang Laut kembali ke tempat masing-masing untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
Di tengah kondisi Datuk Kaya Montel belum juga membaik, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang dahsyat dari puncak Gunung Daik.
Orang Laut yang terkejut dengan suara bergemuruh itu menemukan bahwa satu diantara puncak gunung telah patah. Sementara di tengah laut tiba-tiba muncul pulau baru yang berasal dari patahan puncak Gunung Daik.
Orang Laut yang teringat dengan wasiat Datuk Kaya Montel kemudian datang kembali beramai-ramai mengunjungi Pulau Mepar untuk menyampaikan rasa duka cita.
Legenda Gunung Daik
Sebagai lambing daerah Kabupaten Lingga, Gunung Daik juga menginspirasi Haji Ibrahim Orang Kaya Muda dan H Von de Wall, dalam menciptakan pantun khas Melayu Lingga, yang W Bruining di Batavia than 1877.
Menurut cerita rakyat, Sultan Mun, Sultan Indragiri ke-19 bertapa di Gunung Daik selama 7 hari 7 malam. Raja Inderagiri tersebut memohon kepada Allah SWT, agar rakyatnya sejahtera. Serta meminta agar diberi kekuatan atau kesaktian, untuk dapat melindungi rakyatnya.
Sesuai dengan ilmu yang dituntutnya pada masa itu, pada hari ketujuh atau pada hari terakhir, dia menjejakan kakinya ke puncak gunung tempatnya bertapa.
Namun tiba-tiba, datang hujan dan petir menyambar-nyambar dan runtuhlah puncak Gunung Daik tersebut.
Sultan Mun pun ikut terjatuh ke bawah pada malam itu. Namun berkat lindungan Allah SWT, Sultan Mun selamat tidak kurang suatu apapun. Hanya saja, dia kehilangan kerisnya yang terselip di pinggangnya.
Sejak saat itulah Gunung Daik dikenal hanya memiliki 2 puncak, yang sebelumnya terdiri dari 3 puncak karena patah salah satu puncaknya.
Patahan puncak Gunung Daik yang berguling ke bawah dan jatuh ke laut itulah, yang juga dipercaya menjadi Pulau Pandan.
Dalam pantun-pantun Seloka zaman dahulu kala, masih disebutkan kalimat ‘Gunung Daik Bercabang Tiga’, namun sekarang hanya bercabang dua.
Akhirnya, putra Raja Indragiri yang bernama Raja Bernama Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal, menjadi Sultan ke-20 menggantikan Sultan Mun.
Sumber: warisanbudaya.kemdikbud.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
Tags : Gunung Daik, Raja Indragiri, Sultan Mun, Patahnya Gunung Daik, Patahnya Puncak Gunung Daik, Pulau Lingga,