Kuniler   2023/10/22 21:14 WIB

'Pejuang Tempe Segar' di Inggris yang Pertahankan Cita Rasa Otentik Panganan Indonesia

'Pejuang Tempe Segar' di Inggris yang Pertahankan Cita Rasa Otentik Panganan Indonesia
Tempe tacos, perpaduan makanan Indonesia dan Meksiko.

DiTENGAH naiknya permintaan makanan vegan di Inggris, termasuk tempe, ada segelintir produsen yang tetap bertahan memproduksi tempe segar.

Walau masa simpan jauh lebih singkat — dibandingkan tempe yang sudah dipasteurisasi dan dibekukan — "kenangan rasa tempe segar di Indonesia" membuat sejumlah kecil produsen ini tetap bertahan.

Para "pejuang tempe segar ini" harus bersaing dengan produk massal yang sudah dipasteurisasi dan dibekukan, banyak di antaranya diekspor ke Inggris dari Belanda.

Di antara produsen yang bisa dihitung dengan jari ini, termasuk William Mitchell, Olivier Laudus dan Amalia Sudijono. serta Benedict Meade.

Bagi salah seorang di antara mereka, William, tahun ini menandai satu dekade ia membuat tempe segar di lokasi produksinya di Bedford, sekitar dua jam dari London. 

Tempe pertama kali ia coba di salah satu warteg di Jakarta ketika ia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris, dan langsung ia suka.

Setelah sempat terhenti ketika pandemi Covid, dalam hampir dua tahun terakhir, ia menyisihkan satu hari berjualan di pasar dan satu hari untuk distribusi tempe secara langsung.

Pada Kamis pagi — setiap dua minggu atau terkadang seminggu sekali — ia berkeliling membawa tempe produksinya ke para pemesan. 

Dengan masa simpan singkat, tempe segar ini "harus dikirim cepat" ke tangan konsumen menggunakan kendaraan berpendingin sewaan.

Mengantar secara langsung, menurutnya, sangat ia nikmati karena dapat berbincang dengan para juru masak, pemilik restoran, antara lain soal menu tempe.

"Saya berangkat sekitar jam lima pagi, ambil mobil sewa dan mengantar tempe ke sekitar 30 klien di seputar London, bisa sekitar 10 sampai 12 jam sebelum balik ke rumah," cerita William seperti dirilis BBC News Indonesia, Endang Nurdin, yang mengikutinya mendistribusikan tempe Juli lalu.

Pelanggannya termasuk jaringan restoran yang cukup besar, supermarket serta berbagai restoran dari Indonesia, Korea, Vietnam serta Thailand.

Ratusan potong 200 gram tempe dengan berat total 500 kilogram, ditempatkan dalam kerat-kerat plastik besar.

Yang paling banyak diturunkan, 10 kerat plastik tempe, seberat sekitar 90 kilogram untuk satu restoran. Ada pula klien individu yang hanya memesan lima sampai 10 kilogram, untuk sejumlah orang yang disebutnya pelanggan setia.

Namun, ia mengaku produksi dan distribusi tempe dengan masa simpan singkat ini, berat tapi mengklaim ia "keras kepala" dan akan terus memproduksi tempe segar seperti yang ia nikmati ketika sempat tinggal di Indonesia.

"Apa yang saya lakukan bukan sekedar bisnis."

"Tempe yang paling enak itu adalah tempe segar. Itulah sebabnya saya hanya inin membuat tempe segar. Sederhana, Alami. Saya tak mau berkompromi dengan dipasteurisasi atau digoreng dulu untuk memperpanjang masa simpan," kata William.

"Tempe sudah di hati saya, saya mau orang (Inggris) yang belum tahu, ikut mencoba tempe. Tempe segar seperti yang saya rasakan di Indonesia. Ini panggilan jiwa," tambahnya serius.

Setelah diproduksi, bila tidak dipasteurisasi atau dibekukan, distribusi tempe segar ini juga sangat menantang karena masa simpan bertahan dua minggu di kulkas sebelum dikonsumsi.

Pengiriman untuk pelanggan di kota-kota lain di luar London, kata William, ia lakukan melalui jasa ekspedisi.

Walau tetap bisa dibekukan langsung oleh konsumen, William mengatakan ia tetap akan bertahan memproduksi tempe segar, langkah yang menurutnya menjaga cita rasa otentik tempe.

William tidak sendiri. Benedict Meade, produsen tempe lain di Bristol, menyebut rasa tempe segar di Indonesia yang mendorongnya untuk memproduksi panganan ini.

"Di Indonesia, tempe segar dibeli dari pasar sementara di Inggris, saya dulu hanya bisa mendapat tempat yang sudah dipasteurisasi dengan masa simpan lebih lama. Dan perbedaannya cukup besar, tempe segar lebih lezat dengan tekstur lebih keras," kata Ben.

"Jadi, rencana saya adalah memproduksi tempe segar seperti di Indonesia yang tersedia di seluruh Inggris."

Sementara di Cambridgeshire, produsen lain, Olivier Laudus dan Amalia Sudijono juga ingin menjadi bagian dari pemasok tempe segar di Inggris. 

Namun, menurut Amalia, mereka juga memproduksi tempe yang sudah dipasteurisasi karena ada permintaan dari pelanggan yang ingin masa simpan lebih lama.

Driando Ahnan-Winarno, salah seorang pendiri Indonesian Tempe Movement menyebut mereka yang masih membuat tempe segar sebagai "pejuang yang membuka jalan untuk ketersediaan lebih besar di kanal-kanal penjualan tempe secara global."

"Menurut saya itu usaha yang sangat baik karena memang jauh dari kata mudah. Kemewahan tempe segar di Indonesia memang menjadi tantangan untuk diakses di luar negeri," kata Driando.

Ia meraih gelar doktor bidang ilmu pangan di Universitas Massachusetts Amherst, AS, dengan topik penelitian fermentasi tempe, efek kesehatan, kanker.

"Rasa dan aroma yang khas perlu diperjuangkan melalui menyelesaikan persoalan teknis seperti skala produksi, umur simpan, distribusi, dan regulasi keamanan pangan apabila sudah mencapai skala besar."

"Semoga dengan para pejuang tempe segar ini membuka jalan untuk ketersediaan yang lebih besar di kanal-kanal penjualan global di masa depan," tambah Driando, yang juga salah seorang pendiri Better Nature, produsen tempe yang tahun ini menembus jaringan supermarket Inggris, Tesco.

Menurut data dari Future Market Insights, Inggris menempati urutan ketiga untuk pangsa pasar tempe global 2022, setelah Amerika Serikat dan India, dengan presentase sebesar 6,7%.

Pangsa pasar tempe untuk tahun 2023, menurut FMI, akan mencapai sekitar US$4,2 miliar dan naik 5% dalam 10 tahun ke depan menjadi US$6,2 miliar.

Analisa FMI menyebutkan pandemi Covid-19 pada 2020 mengalihkan perhatian dunia untuk menggeser pasokan daging. Sementara cukup banyak pula penduduk dunia yang ingin mengurangi konsumsi daging atau menjadi vegan.

Akibatnya, sumber protein yang mengandung vitamin, khususnya vitamin B12, seperti tempe, semakin meningkat, menurut FMI.

Pembahasan soal vitamin juga diangkat The Washington Post, mengutip editor makanan Joe Yonan yang menyebut "fermentasi membuat tempe sangat mungkin menjadi produk kedelai yang paling bergizi dan mudah dicerna.

Tempe juga salah satu yang paling sedikit diproses, menggunakan kacang-kacangan utuh (berlawanan dengan tahu, terbuat dari susu kedelai).

Berdebat soal rasa

William dengan Tempeh Man, Benedict dengan Tempeh Meades, serta Olivier dan Amalia dengan ProTempeh, memiliki harapan yang sama untuk ikut andil dalam distribusi tempe ke seluruh bagian Britania Raya.

"Sebagai produsen kecil, kami memprioritaskan otentisitas dan kualitas…Dan produksi kami menggunakan produk premium lokal seperti biji gandum dari Somerset dan rumput laut dari daerah Cornwall," kata Ben yang belajar membuat tempe di satu desa dekat Bogor pada awal 2019.

"Setelah mencoba tempe di Indonesia dan memperhatikan kualitasnya dengan yang dijual di Inggris, saya yakin ke depannya tempe akan semakin terkenal bila diproduksi secara tepat," lanjutnya.

"Sayangnya rasa tempe yang dipasteurisasi tak enak dengan tekstur yang buruk," ujar Ben kemudian.

William berpandangan senada. Ia mengatakan memperkenalkan tempe "perlu dengan produk segar, kualitas paling tinggi untuk menarik banyak orang."

Namun bagi Amalia, sebagian besar pelanggannya lebih suka tempe yang sudah dipasteurisasi karena memiliki masa simpan lebih lama.

"Mereka juga mengatakan tidak bisa membedakan rasanya, begitu tempe (yang segar ataupun dipasteurisasi) sudah dimasak," kata Amalia.

Namun ia menambahkan masih tetap menyediakan tempe segar bagi pelanggan yang memesan.

Terkait rasa Driando Ahnan-Winarno mengatakan belum ada penelitian yang menunjukkan perbedaan rasa antara yang segar dan yang sudah dipasteurisasi (sterilisasi kuman dengan pemanasan ringan pada suhu 75 derajat Celsius selama 15 menit melalui uap).

"Tapi kalau dari pengalaman saya, rasa tidak jauh berbeda, yang berbeda tekstur.. yang tidak dipasteurisasi lebih fluffy (empuk), yang dipasteurisasi lebih padat. Di Amerika banyak tempe pasteurisasi yang lebih tidak enak dibanding tempe pasteurisasi di Eropa."

"Tempe segar juga belum tentu enak kalau fermentasinya belum optimal," tambahnya.

Tetapi bagi William, ia bertekad tetap akan memproduksi tempe segar walaupun tantangan masa simpan singkat.

Walaupun ia mengaku pelanggan bisa membekukan tempe produknya setelah dibeli.

"Kalau enggak bisa makan semua, bisa masukan freezer semua. Bisa dibumbui dulu, dan baru disimpan, Mau masak tinggal ambil," katanya.

Untuk kota di luar London, ia mengatakan telah mengontak para distributor yang memiliki mobil dengan mesin pendingin.

"Saya akan selalu produksi tempe segar karena saya pikir orang Inggris kalau coba tempe segar pasti mereka akan suka."

"Saya mau walau cuma satu, di kota kecil, ada tempe segar dijual," tutupnya. (*)

Tags : Tempe Segar, Pejuang Tempe Segar, Inggris Budidayakan Tempe Indonesia, Pertahankan Cita Rasa Otentik Panganan Tempe,