PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Jelang ajang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, terdapat beberapa pelanggaran dan penyalahgunaan jabatannya untuk menginstruksikan jajaran agar memilih salah satu caleg mengemuka.
"Pelanggaran Pemilu bisa dipidana."
"Ada 16 register (laporan) yang kita tangani sampai saat ini, lima sudah kita selesaikan. Ada juga tiga kasus yang berpotensi pidana," kata Ketua Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] Riau, Alnoprizal, Rabu (7/2).
Bawaslu Riau menemukan tiga dari 16 kasus pelanggaran Pemilu berpotensi pidana. Itu ditemukan sejak masa kampanye dimulai pada 28 November 2023 lalu.
Dari 16 kasus pelanggaran kampanye tersebut, lima kasus sudah selesai, sisanya masih diproses. Dari laporan dugaan pelanggaran yang sedang diproses tersebut tiga lagi di antaranya berpotensi diselesaikan secara pidana.
Lima kasus pelangaran Pemilu yang sudah selesai terkait netralitas ASN. Di antaranya terjadi di Kabupaten Siak dan Kuantan Singingi (Kuansing).
Untuk putusan ASN yang dinyatakan terbukti melanggar, diputuskan melalui Komite Apartur Sipil Negara (KASN).
"Sanksinya ada berupa pelanggaran disiplin. Itu yang memutuskan KASN," ujar mantan Komisioner Komisi Informasi (KI) Riau ini.
Adapun untuk tiga kasus yang berpotensi mengarah ke sanksi pidana, masih dalam tahapan penyidikan. Seperti perusakan Alat Peraga Kampanye (APK). Masalah ini diduga melibatkan kepala desa di Indragiri Hulu (Inhu) dan Rokan Hilir (Rohil)
"Jika hasil penyidikan menemukan ada tindakan pidana, maka selanjutnya akan diproses oleh penegak hukum sesuai dengan ketentuan berlaku," katanya.
Total 16 kasus yang ditangani Bawaslu tersebut, ada berasal dari laporan masyarakat. Kemudian, ada juga dari hasil pemantauan petugas pengawas Bawaslu.
"Kalau kasusnya viral, walau pun tak ada melaporkan petugas kita di lapangan akan mengumpulkan bukti. Jika sudah memenuhi unsur kecurangan maka sudah bisa diproses," tutupnya.
Sementara Pengamat Politik Pemerintahan, Dr Panca Setyo Prihatin menyebutkan, hal ini perlu dikaji dari dua sisi, adanya Kepala Pemerintahan dan di sisi lain sebagai jabatan politik terlibat mendukung caleg.
"Tergantung kita akan melihat dari perspektif yang mana. Tapi kalau pun diurai dalam prakteknya, maka kita menggunakan konsep etika sebagai tolok ukurnya, jika politik hanya dijalani sebagai proses merebut kekuasaan maka dapat dilihat realitas dari tindakan pejabat pemerintah di pusat dan daerah secara terang-terangan, misalnya dalam praktek dukung mendukung calon tertentu," kata Dr Panca.
Menyinggung etika dalam berpolitik, Akademisi Universitas Islam Riau (UIR) ini menyebutkan kekuasaan akan memberikan kewenangan dan pengaruh yang besar dalam konteks politik berlaku adigium bahwa kekuasaan pasti akan melakukan segala cara dalam meraih atau mempertahankan kekuasaannya.
"Kalau kita bicara konsep seperti ini, ya benar dari level kepala desa hingga presiden pun pasti melakukannya. Tak akan ada orang yang mau memberikan kekuasaan cuma-cuma, sehingga dalam praktek politik yang kita lihat, adigium ini berlaku jamak dan semua akan mempertaruhkan segalanya demi keberlanjutan kekuasaannya," ucapnya.
Namun, walaupun posisi sebagai kepala daerah yang identik dengan netralitas untuk berada di atas semua kepentingan akan tetapi sebagai kader partai, Panca menyebutkan, seseorang itu pasti akan loyal terhadap kepentingan partainya.
Ia akan menggunakan kekuasaan untuk melakukan kewenangannya baik dengan cara represif (memaksa) atau persuasif (mengajak).
"Jadi menurut saya yang paling penting dalam proses politik itu ya etika. Ibaratnya kalau kita makan dengan tangan kiri, pasti orang menilai 'bapak ini pasti tak beretika'. Karena dalam moralitas masyarakat melayu atau orang timur itu bukanlah hal yang baik," tuturnya.
Disinggung pada kasus Rumah Dinas (Rumdin) Bupati Rohil, Afrizal Sintong yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan logistik salah satu caleg DPR RI, Panca lagi-lagi menegaskan soal etika.
"Balik lagi soal etika, kan tidak boleh memakai fasilitas negara untuk kepentingan politik. Kalau kita berbicara soal pemerintah dan politik itu terpisah, irisannya hanya pada prosesnya saja," ungkapnya.
"Kalau dia sudah jadi kepala pemerintahan, dia tak boleh lagi bicara politik kepentingan satu kelompok atau partai tertentu. soal politik. Dia baru bisa berkampanye jika sudah mengambil cuti, selagi dia masih kepala daerah ya tak boleh, kalau memang mau pakai fasilitas negara. Itulah pentingnya etika publik dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan," pungkasnya. (*)
Tags : pemilu, pelanggaran pemilu, pelaggaran pemilu bisa dipidana, pekanbaru, pemilu 2024, pemilihan legislatif, pileg,